"Kami dulu terbiasa tinggal ya di kajang," demikian si ibu menyebut istilah untuk sampan beratap rumbai yang digunakan sebagai 'rumah' bagi para suku laut untuk tinggal.
"Waktu dibuatkan rumah, kami tak ada yang mau tinggal. Tinggal mungkin sebentar lah, tapi kami balik lagi tinggal di kajang. Rasa tak enak lah, biasa tinggal di atas air, kena ombak laut, terus tinggal di rumah. Mungkin seperti adek-adek inilah, lama di laut bisa pusing rasa tak enak. Kami pun dulu bila lama ada di darat, rasa tak enak betul..."
Saat diceritakan bagaimana dulunya orang suku laut itu berkehidupan di atas laut, saya dan Menik sampai terheran-heran. Mulai dari lahir, tinggal, menikah, semua dilakukan di atas kajang yang tentu saja berada di atas laut.
Ibu yang saya inapi kala itu saja bertutur, jika dari sembilan anaknya, hanya beberapa anaknya yang terakhir saja yang lahir di darat, demikian mereka mengistilahkan untuk kondisi mereka yang kini tinggal menetap di dalam rumah panggung yang ada di tepi laut.
Ketika meliput di sana, saya dan Menik akhirnya juga turut merasakan bagaimana pertama kalinya tinggal dan tidur dalam rumah panggung dengan debur air laut yang terasa di bawah kami. Termasuk, ehem, untuk urusan toiletnya, tentu saja, kotorannya langsung terjun bebas terbuang ke laut.
Kamar mandi dari rumah suku laut memang bisa dibilang unik, jika itu adalah istilah dari kita-kita yang terbiasa tinggal di rumah. Yang disebut kamar mandi itu adalah sebuah ruangan kosong, tentu saja masih beralaskan bilah papan-papan kayu, dan memiliki sebidang kecil lubang berbentuk kotak dengan dasar air laut di bawahnya.Â
Jika kita ingin buang air kecil atau besar, maaf, kotoran yang ada akan langsung terbuang ke laut.Â
Ketika kami harus tidur langsung beralaskan bilah papan-papan kayu, saya dan Menik waktu itu masih merasa baik-baik saja. Tapi giliran panggilan alam di pagi hari mengharuskan kami pergi ke toilet untuk buang air besar, Menik langsung belingsatan kebingungan.
"Aduh Ka, nanti di Ngenang saja deh. Aku tak bisa kalau seperti begini ini," tutur Menik dengan muka masam sambil menahan rasa tak enak di perutnya. Jika Menik tidak bisa cuek, saya sih masih bisa ndablek-ndablek saja. Hehehe... ya habis mau bagaimana lagi, jika ditahan, kan sakit!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H