Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Pengalaman Liputan Jelajah Pulau: Cerita Reporter yang Ditagih Bayaran Foto Ayam

28 Mei 2022   09:00 Diperbarui: 28 Mei 2022   17:46 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjalanan liputan dari Pulau Ngenang ke Pulau Subang Mas, Kepri. Sumber foto: dokumen pribadi

"Kalau ingin ambil foto sambil jalan, tak apa-apa. Cuma harus hati-hati ya!" 

"Memangnya kenapa Bu?" saya penasaran.

"Soalnya penah dulu ada wartawan juga datang ke sini. Ya, mungkin seperti adek-adek inilah, buat berita ya istilahnya? Tapi waktu sudah selesai, mereka minta bayar. Termasuk ayam yang ikut terfoto."

Saya dan Menik kawan meliput saya yang waktu itu mendengar hal itu pun langsung mendelik terkejut. "Kok bisa Bu?"

"Iya, jadi kan orang itu pegang alat seperti yang adek pegang ini. Ambiklah itu foto-foto. Pas waktunya minta dibayar, mereka cakap, lho, ini kan ayam kami ikut difoto, ikut dibayar jugalah seharusnya."

Mendengar itu kami berdua yang sedang meliput di Pulau Air Mas tempat para suku laut tinggal menjadi kaget namun juga jadi tertawa geli.

Tidak pernah terbayang oleh saya kala itu jika harus meliput suku laut yang ada di Pulau Air Mas. Padahal, niat awal saya dan Menik adalah meliput kehidupan masyarakat melayu biasa yang ada di Pulau Ngenang. 

Eh, ternyata justru saya dan Menik malah jadi tertarik untuk meliput kehidupan suku laut yang ada di Pulau Air Mas ketika kami berdua mendengar keberadaan suku tersebut oleh masyarakat sekitar di Pulau Ngenang yang berada di seberangnya. 

Rumah masyarakat suku laut sendiri bukanlah seperti rumah nelayan melayu biasa. Tetapi, sudah dibuat uhm, mungkin seperti perumahan panggung di tepi laut barangkali ya! Semua rumahnya berbentuk sama, karena merupakan hasil bantuan dari pemerintah.

Lucu juga jika awalnya saya dan Menik berpikir-pikir, namanya suku laut, tapi tinggalnya tidak lagi di laut. Jika terkait tentang itu, ibu asal suku laut yang kami tinggali memang mengatakan jika dulu orang-orang sebelumnya juga tidak mau untuk tinggal dalam rumah.

"Kami dulu terbiasa tinggal ya di kajang," demikian si ibu menyebut istilah untuk sampan beratap rumbai yang digunakan sebagai 'rumah' bagi para suku laut untuk tinggal.

"Waktu dibuatkan rumah, kami tak ada yang mau tinggal. Tinggal mungkin sebentar lah, tapi kami balik lagi tinggal di kajang. Rasa tak enak lah, biasa tinggal di atas air, kena ombak laut, terus tinggal di rumah. Mungkin seperti adek-adek inilah, lama di laut bisa pusing rasa tak enak. Kami pun dulu bila lama ada di darat, rasa tak enak betul..."

Saat diceritakan bagaimana dulunya orang suku laut itu berkehidupan di atas laut, saya dan Menik sampai terheran-heran. Mulai dari lahir, tinggal, menikah, semua dilakukan di atas kajang yang tentu saja berada di atas laut.

Ibu yang saya inapi kala itu saja bertutur, jika dari sembilan anaknya, hanya beberapa anaknya yang terakhir saja yang lahir di darat, demikian mereka mengistilahkan untuk kondisi mereka yang kini tinggal menetap di dalam rumah panggung yang ada di tepi laut.

Ketika meliput di sana, saya dan Menik akhirnya juga turut merasakan bagaimana pertama kalinya tinggal dan tidur dalam rumah panggung dengan debur air laut yang terasa di bawah kami. Termasuk, ehem, untuk urusan toiletnya, tentu saja, kotorannya langsung terjun bebas terbuang ke laut.

Kamar mandi dari rumah suku laut memang bisa dibilang unik, jika itu adalah istilah dari kita-kita yang terbiasa tinggal di rumah. Yang disebut kamar mandi itu adalah sebuah ruangan kosong, tentu saja masih beralaskan bilah papan-papan kayu, dan memiliki sebidang kecil lubang berbentuk kotak dengan dasar air laut di bawahnya. 

Jika kita ingin buang air kecil atau besar, maaf, kotoran yang ada akan langsung terbuang ke laut. 

Ketika kami harus tidur langsung beralaskan bilah papan-papan kayu, saya dan Menik waktu itu masih merasa baik-baik saja. Tapi giliran panggilan alam di pagi hari mengharuskan kami pergi ke toilet untuk buang air besar, Menik langsung belingsatan kebingungan.

"Aduh Ka, nanti di Ngenang saja deh. Aku tak bisa kalau seperti begini ini," tutur Menik dengan muka masam sambil menahan rasa tak enak di perutnya. Jika Menik tidak bisa cuek, saya sih masih bisa ndablek-ndablek saja. Hehehe... ya habis mau bagaimana lagi, jika ditahan, kan sakit!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun