Ternyata, rantai penggerak dari pompong itu putus!
Alamak, paniklah saya waktu itu. Bagaimana bila ada kapal feri yang menabrak pompong kami? Bisa jadi, sayalah saksi hidup yang akan meliput sekaligus diliput dalam kejadian tersebut.Â
Namun bagaimana saya bisa bertahan nantinya jika ada apa-apa? Wong saya sendiri saja tidak bisa berenang!
Kepanikan saya ternyata seirama dengan para calon peserta lomba kompang. Tapi jika saya panik akan sesuatu yang sifatnya konyol, para calon peserta ini panik karena khawatir terdiskualifikasi dari lomba.Â
Sebetulnya ada sih satu solusi, yaitu mendayung pompong. Tapi jika cara tersebut ditempuh, tetap pertanyaannya, kapan pompong yang kami naiki bisa sampai? Apa iya tetap tidak terlambat waktu lomba?
Tiba-tiba datanglah secercah harapan ketika ada sebuah pompong yang melintas di dekat kami. Pompong tersebut akhirnya bersedia menyeret pompong yang kami naiki dengan tali sehingga masalah berhenti di tengah laut bisa teratasi.
Hampir sampai di pelantar pelabuhan Pulau Penyengat, masalah baru kembali datang.Â
Rupanya saat itu, air sedang surut sehingga pompong kami sulit untuk merapat. Mau tak mau, cara kedua alias mendayung dengan kayu panjang harus dilakukan sedikit demi sedikit hingga pompong kami merapat.
Pada akhirnya, lega sekali rasanya saat bisa selamat dari cerita konyol yang ada dalam otak saya sendiri.Â
Saat jalan melintas pelantar, dari kejauhan, kami mendengar sebauh nama tim yang diminta untuk tampil. Rupanya, itu tim yang satu pompong dengan saya sebelumnya.Â
Rasanya leganya jadi bertambah. Untung ya mereka tidak terlambat sampai didsikualifikasi dari lomba.Â