Yah, meskipun dua kawan saya yang mendapat jatah untuk sama-sama meliput di Tanjungpinang adalah pria, namun waktu itu tak ada satu pun yang mau untuk meliput ke sana.Â
Urusan gender benar-benar tidak berlaku. Bahkan menemani saya liputan pun tidak ada yang mau.
Mungkin jika dipikir-pikir, kurang kerjaan barangkali ya, malam-malam harus ke Pulau Penyengat untuk urusan liputan.Â
Tapi karena saya kebetulan memang mendapat bagian meliput urusan budaya atau berita ringan, ditambah lagi kok rasanya kurang seru juga jika meliput budaya tapi mendapat laporan hanya cerita dari orang lain saja, saya akhirnya nekat berangkat ke sana sendirian.
Untung saja, di pelantar atau pelabuhan penyeberangan kala itu ramai para peserta yang berasal dari Tanjungpinang daratan dan berniat untuk menyeberang ke sana. Jadi, saya merasa aman-aman saja dan tidak khawatir sedikitpun.
Rupanya, seru juga berada satu pompong dengan para calon peserta acara kompang kali itu. Mereka sering bersenda gurau, atau sesekali melafalkan barzanzi atau puji-pujian yang akan mereka tunjukkan ketika lomba.Â
Namun saat sedang seru-serunya saya menikmati semilir angin laut di malam hari dengan hiruk pikuk para penumpang di pompong, saya dikejutkan oleh suara bising mesin pompong yang tiba-tiba berhenti.
"Nah lho, ada apa ya?" pikir saya waktu itu panik.Â
Saat para penumpang pompong yang lain masih belum menyadari apa yang sedang terjadi, saya sudah celingak-celinguk melihat ke sana sini, khawatir kalau-kalau ada kapal penyeberangan menuju Batam, Singapura, atau Malaysia yang tiba-tiba lewat.
Bukannya apa-apa. Satu dua kali terkadang memang ada kasus kapal penyeberangan tersebut menabrak pompong milik masyarakat yang sama sekali tentunya tidak disertai dengan lampu penerangan yang cukup terang ketika sama-sama melintas di perairan laut.
Ketika semua penumpang akhirnya tersadar akan apa yang terjadi, lalu kemudian bertanya kepada sang juru kemudi tentang apa pasal pembuat pompong menjadi tidak melaju, barulah kabar tidak mengenakkan kami ketahui.Â