Sewaktu di hari-hari akhir puasa yang makin dekat dengan lebaran, berbagai instansi yang kerap kami liput tiba-tiba berbondong-bondong memberikan kami bingkisan yang kebanyakan berupa uang.
Masih dengan kedodolan saya, waktu itu saya terima-terima saja karena menganggap itu tidaklah sesuai dengan peraturan dari kantor. "Kan ampop itu kami terima ketika kami tidak sedang meliput," begitu dalih saya dan Budi waktu itu.
Untungnya, Mbak Indy, teman reporter yang ada di Batam dan dulunya pernah menjadi reporter di media lain di Tanjungpinang, mengirimkan sms kepada saya untuk mengingatkan masalah amplop.
Akhirnya ketika saya sadar akan apa yang sudah saya lakukan, saya langsung pusing tujuh keliling!
Parahnya, uang yang berasal dari amplop-amplop itu beberapa di antaranya sudah ada yang kami gunakan untuk mengirim sanak saudara.
Beruntungnya, waktu itu kami masih mendapatkan uang Dinas Luar Kota atau DLK yang berlimpah sehingga semua uang hasil amplop itu bisa kami kembalikan ke kantor untuk dibuatkan surat pengantar pengembalian ke masing-masing pemberi.
Giliran waktu berkunjung saat lebaran, ternyata ada juga narasumber saya bernama Bang Hoesnizar dan istrinya Kak Peppy yang memberikan amplop untuk saya dan Budi waktu itu.
Narasumber kami tersebut memang orang yang sering kami liput aktivitas sanggar keseniannya.
Meski sudah menolak mati-matian, Bang Hoesnizar dan Kak Peppy pun tak kehilangan akal untuk membuat kami menerimanya.
"Ini bukan amplop apa-apa... Di adat Melayu, kalau ada yang berkunjung itu belum menikah, jatahnya dikasih angpau sama tuan rumahnya. Udah deh... ayo... diterima..." jelas Kak Peppy yang makin membuat saya dan Budi kebingungan meski tetap terus untuk menolaknya.
Namun setelah mendapat ancaman tidak bisa meliput ke sana lagi, kami akhirnya menerima masing-masing sebuah amplop berukuran kecil mungil bergambar dan bertuliskan kartun berbahasa melayu yang bahkan hingga kini masih saya simpan amplopnya.