Bagi idealisme seorang jurnalis, amplop itu ibarat barang haram yang tidak boleh disentuh.
Karena biasanya, amplop jadi simbol maksud dari narasumber agar reporter membuat berita sesuai dengan keinginannya. Ujung-ujungnya, berita berpihak ke narasumber yang memberikan amplop tersebut.
Amplop yang mana sih? Ya, tentu lah maksudnya amplop yang ada isinya uang.
Tapi kalau amplop itu isinya undangan pernikahan, tentu jadinya kitanya yang harus mengeluarkan uang. *eh!
Lepas dari itu, saya sendiri ketika menjadi reporter, sangat mengamini jika amplop memang tidak baik untuk kesehatan tubuh, jiwa, dan raga, apalagi menurut keyakinan agama saya! Hehehe...
Nah, saya pernah tuh punya pengalaman perdana dapat amplop dari narasumber, lalu saya menerimanya!
Uniknya, perkenalan saya dengan amplop pertama kali terjadi dengan versi yang benar-benar lugu! Ceritanya terjadi ketika saya masih menempuh masa pelatihan.
Waktu itu, saya dan rekan saya Zuhri meliput ke seorang narasumber, lalu pulang dengan masing-masing membawa sebuah amplop berwarna putih hasil pemberian sang narasumber.
Naifnya kami waktu itu, kami terima saja karena berpikir pastilah amplop itu berisi undangan untuk acara yang diadakan si narasumber.
Saya dan Zuhri sampai memuji si bapak narasumber. Baik banget ya orangnya, itu yang ada di pikiran kami.
Soalnya baru kenal, baru wawancara, eh, kita dapat undangan untuk meliput acara lain lagi.
Padahal, posisi media kami waktu itu belum terbit. Jadi bisa dibilang, saya dan teman saat itu masih berstatus reporter tanpa surat kabar.
Namun sesampainya di taksi dalam perjalanan menuju kantor, entah kenapa, tiba-tiba saya dan Zuhri sepakat untuk langsung menyelutuk, "Amplop ini isinya apa ya?"
Karena tidak berani membuka takut telah lancang membaca undangan yang seharusnya kami sampaikan dulu ke atasan, kami lalu memutuskan untuk menerawang kedua amplop yang kami terima.
Tadaaa... tampaklah selembar kertas berwarna biru yang langsung kami yakini sebagai selembar uang!
Dasar masih polos dan belum punya pengalaman sama sekali, kami berdua langsung gemetaran. Asli panik!
Lha orang sejak awal sudah diwanti-wanti sejak awal pelatihan reporter kalau kita tidak boleh menerima amplop, eh, kita berdua kok malah menerimanya.
Begitu pula sesampainya di kantor, bukannya malah menjelaskan, kami berdua malah sibuk minta maaf yang tentu saja membuat redaktur kami jadi kebingungan.
Untungnya setelah kami diminta menjelaskan dengan tenang, redaktur lantas tidak memarahi dan langsung membuatkan surat pengantar untuk mengembalikan amplop tersebut.
Zuhri waktu itu yang bertugas untuk kembali ke narasumber dan mengembalikan kedua amplop kami.
Lain lagi ceritanya ketika saya bertugas di Tanjungpinang.Â
Sewaktu di hari-hari akhir puasa yang makin dekat dengan lebaran, berbagai instansi yang kerap kami liput tiba-tiba berbondong-bondong memberikan kami bingkisan yang kebanyakan berupa uang.
Masih dengan kedodolan saya, waktu itu saya terima-terima saja karena menganggap itu tidaklah sesuai dengan peraturan dari kantor. "Kan ampop itu kami terima ketika kami tidak sedang meliput," begitu dalih saya dan Budi waktu itu.
Untungnya, Mbak Indy, teman reporter yang ada di Batam dan dulunya pernah menjadi reporter di media lain di Tanjungpinang, mengirimkan sms kepada saya untuk mengingatkan masalah amplop.
Akhirnya ketika saya sadar akan apa yang sudah saya lakukan, saya langsung pusing tujuh keliling!
Parahnya, uang yang berasal dari amplop-amplop itu beberapa di antaranya sudah ada yang kami gunakan untuk mengirim sanak saudara.
Beruntungnya, waktu itu kami masih mendapatkan uang Dinas Luar Kota atau DLK yang berlimpah sehingga semua uang hasil amplop itu bisa kami kembalikan ke kantor untuk dibuatkan surat pengantar pengembalian ke masing-masing pemberi.
Giliran waktu berkunjung saat lebaran, ternyata ada juga narasumber saya bernama Bang Hoesnizar dan istrinya Kak Peppy yang memberikan amplop untuk saya dan Budi waktu itu.
Narasumber kami tersebut memang orang yang sering kami liput aktivitas sanggar keseniannya.
Meski sudah menolak mati-matian, Bang Hoesnizar dan Kak Peppy pun tak kehilangan akal untuk membuat kami menerimanya.
"Ini bukan amplop apa-apa... Di adat Melayu, kalau ada yang berkunjung itu belum menikah, jatahnya dikasih angpau sama tuan rumahnya. Udah deh... ayo... diterima..." jelas Kak Peppy yang makin membuat saya dan Budi kebingungan meski tetap terus untuk menolaknya.
Namun setelah mendapat ancaman tidak bisa meliput ke sana lagi, kami akhirnya menerima masing-masing sebuah amplop berukuran kecil mungil bergambar dan bertuliskan kartun berbahasa melayu yang bahkan hingga kini masih saya simpan amplopnya.
Yah, habis bagaimana lagi. Saya dan Budi memang ngefans dengan sanggar kesenian melayu milik mereka berdua.
Eit, mau tahu berapa nominal isi amplop yang kami terima saat itu? Uhm... pokoknya ratusan ribu deh nilanya untuk masing-masing amplop!
Walah... kalau yang itu benar-benar rezeki deh! Bahkan, rasanya waktu itu, kami berdua jadi orang yang bersyukur karena masih menjadi orang lajang dan belum diberi rezeki menikah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H