Dulu saat menjadi reporter, ada masanya saya banyak bersentuhan dengan budaya Tionghoa. Penyebabnya karena saya mendapat bagian mengisi halaman Nagoya Jodoh yang mengangkat tema budaya etnis tersebut.Â
Waktu itu banyak hal baru dan menarik saya alami. Satu di antaranya adalah urusan ramal-meramal.
Pernah sebanyak tiga kali saya diramal dengan cara yang berbeda.Â
Cara yang pertama adalah ketika saya meliput ke sebuah Tua Pek Kong di daerah Pulang Rempang.Â
Selain sebagai tempat ibadah, di kelenteng itu juga terdapat alat untuk pua pue dan ciam si.Â
Pua pue berbentuk lingkaran yang dibelah menjadi dua bagian sehingga masing-masing menyerupai bilahan bulan sabit. Alat ini digunakan sebagai petunjuk apakah sesuatu yang akan dilakukan bagus atau tidak apabila dikerjakan kemudian.
Sedangkan cim si bentuknya berupa batangan-batangan kayu, diletakkan dalam sebuah wadah, yang setiap batangnya terdapat nomor hingga berjumlah 72. Seseorang yang ingin meminta petunjuk terhadap masalah yang sedang dihadapinya, bisa melakukan cara ciam si.
Apabila seseorang ingin meminta petunjuk, ia bisa mengocok wadah tersebut hingga satu batang keluar.Â
Nomor yang terbaca dari batang tersebut kemudian dicocokkan dengan isi dari laci cim si. Setiap laci memiliki nomor yang berisikan kertas panjang dengan isi berbeda-beda.Â
Misalnya ada seseorang punya masalah, kemudian dia bisa datang ke sini untuk minta petunjuk masalahnya.Â
Kalau dia bisa baca tulisannya, dia bisa lakukan ciam si sendiri.Â
Tapi kalau tidak bisa dan di kelenteng tersebut ada yang menunggu, bisa minta dibacakan isi dari tulisan di kertas tersebut.
Uniknya, kebiasaan pua pue ini digunakan orang-orang untuk bertanya tentang nomor judi.Â
Mereka yang melakukan judi, sengaja membuat nomor-nomor di dalam gulungan kertas. Nanti nomor yang keluar dipua pue.
Nah sewaktu mencoba melakukan pua pue dan ciam si saat itu, saya diramal dengan kata-kata, yang intinya harus bersabar pada kondisi yang ada sekarang.Â
Maksudnya, kondisi saya saat itu yang tidak punya pasangan alias masih single! Jika dipaksakan, akibatnya justru tidaklah bagus.Â
Hasil kertas ciam si itu sampai saya tanyakan ke pada tiga orang berbeda yang paham akan tulisan dan bahasa Tionghoa.Â
Ada yang mengibaratkan seperti kerang yang harus menunggu mutiara di dalamnya mengeras dan berkualitas, sampai mengibaratkan dengan pohon yang aslinya bisa berdaun dan berbuah lebat namun sekarang semua itu masihlah belum terlihat.
Pengalaman ke dua diramal orang adalah justru ketika saya sedang meliput ilmu bela diri khas Tionghoa.Â
Oleh sang suhu, saya dibaca nasib saya secara sekilas dan garis besarnya saja.Â
Rupanya ketika sang suhu ini membaca garis hidup saya, ia barulah menyadari mengapa ia klop ketika saya sering menemuinya untuk urusan liputan.Â
Rupanya, saya memiliki sifat dan watak sama seperti anak kebanggaannya yang bekerja sebagai pengawal kepresidenan di Singapura.
"Kamu mirip dengan anak saya. Watakmu keras tapi pada hal yang benar," tutur sang suhu dalam bahasa Inggris bercampur Melayu yang membuat saya jadi senyum-senyum kege-eran.
Kali ke tiga saya diramal adalah ketika sedang meliput ramalan feng shui untuk edisi awal tahun 2007. Tugas ini membuat saya bertemu dengan seorang wanita ahli feng shui yang kemudian justru menawarkan diri untuk membaca garis hidup saya.
Setelah menghitung-hitung angka tanggal bulan tahun kelahiran hingga jam lahir saya, ketemulah sebuah nasib yang membuat saya senang bukan kepalang saat mendengarnya.Â
"Nanti suamimu itu sayang banget sama kamu. Hidup kamu mulia. Apalagi kalau nanti kamu punya anak perempuan, dia hoki lah buat kamu! Masa tuamu enak. Kamu bisa sering jalan-jalan ke mana-mana," ujarnya.
Namun ketika saya tanya kapan saya bisa menikah, justru jawaban yang keluar membuat saya jadi meringis waktu itu.Â
Betapa tidak, wanita tersebut mengatakan jika saya kelak akan bisa menikah di atas umur kepala tiga!Â
Padahal ketika diramal saat itu, umur saya baru saja dua bulan melewati angka 25. Waduh, masih lama lagi dong, batin saya.
"Tapi Bu, masa saya harus menikah di umur segitu Bu? Kalau misal kurang dari usia itu bagaimana?" protes saya tidak terima.Â
"Yah sekarang kamu pilih mana, nikah cepat tapi kamu kawin cerai?!" jawab wanita tersebut yang membuat saya jadi tersenyum masam!
Catatan:
Tulisan ini aslinya saya buat jauh hari saat usia saya waktu itu belum menginjak angka 30.Â
Selama masa di mana saya belum menikah saat sebelum dan sesudah melewati usia 30 tahun, saya kerap teringat ramalan itu dan ingin sekali membuktikan jika ramalan itu hanya ucapan manusia belaka.
Akhirnya saat saya menikah di usia 32 tahun, saya lebih meyakini bahwa apa yang dikatakan peramal fngshui tersebut hanyalah kebetulan.
Alhamdulillah, Allah memang memberi saya seorang suami yang sayang pada keluarganya. Anak pertama saya pun ndilalah juga seorang perempuan.
Sekali lagi, saya sih meyakini jika apapun itu, tetap Allah yang punya kuasa dan nasib manusia juga bisa tergantung usaha dan doanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H