Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membandingkan Singapura dan Indonesia untuk Urusan Budaya Bersih dan Senyum

9 Oktober 2016   04:01 Diperbarui: 9 Oktober 2016   13:23 1670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagi di Little India Singapura

Pagi di Little India Singapura, di 2006. Lengang, seperti kebanyakan pagi di mana saja. Saya memilih duduk di tepi jendela hotel sambil mengedarkan pandangan dan sesekali membidikkan kamera. Sengaja saya tak memilih melanjutkan tidur meski malamnya mata kurang istirahat. Rasanya sayang melewatkan sebuah pagi yang entah kapan lagi saya bisa kembali menjumpainya.

Saat gelap berangsur remang menuju terang, sebuah suara memecah keheningan. Ada sebuah mobil besar yang seumur-umur baru itu saya menjumpai bentuknya. Bagian belakang mobil lalu terbuka, dan akhirnya saya tahu kegunaan mobil tersebut.

Mobil yang bagian belakangnya bisa terbuka dan tertutup itu ternyata mobil pengangkut sampah. Di kemudian hari saat melihat tayangan Ipin Upin, saya baru tahu jika mobil serupa juga dipakai di Malaysia. Kelebihannya, sampah tidak akan tercecer di jalan jika dibandingkan mobil pengangkut sampah di Indonesia. Pun menjaga aroma tak sedap yang bisa menguar sepanjang perjalanan.

Seorang kakek tua menyapa ramah petugas pengangkut sampah. Ia melayangkan pandangan ke segala penjuru, dan menemukan wajah saya yang tersembul dari balik jendela lantai dua hotel.

Senyumnya merekah ke arah saya, sembari menunjukkan gigi-giginya yang tak lagi utuh. Namun saya kikuk dan tak membalas senyum tulusnya. Seketika saya memundurkan tubuh. Lalu sesekali mengintip dari balik jendela untuk melihat apakah kakek itu sudah tak ada lagi di sana.

Sebuah momen yang membekas di benak saya hingga sekarang. Bayangan tentang Singapura yang angkuh menjadi pudar. Pun sedikit kekecewaan saya karena harus menginap di Little India ikut menguap. Malamnya, sebetulnya saya agak enggan saat Tari, teman perjalanan saya memilih Little India sebagai tempat bermalam. Bayangan bau tak sedap, lingkungan tak bersih, sempat membayang di kepala karena teringat gambaran India yang kerap saya lihat di tv.

“Sungguh beda ya dengan di Indonesia. Kayaknya saya jarang bertemu orang dan mau tersenyum tulus seperti itu,” pikir saya yang juga masih terkesan dengan mobil pengangkut sampah a la Singapura yang baru itu saya jumpa.

Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan nampak.

Mungkin itu peribahasa yang mirip dengan apa yang ada dalam benak saya. Sebegitunya saya terkesan dengan budaya bersih dan senyum yang ada di Singapura. Tapi budaya serupa yang sesungguhnya masih ada di Indonesia tidak terjangkau dalam kepala.

Beberapa tahun kembali tinggal di Lamongan membuat mata saya terbuka. Daerah yang terkenal dengan program Lamongan Green and Clean ini berangsur-angsur telah membudaya gerakan bersih lingkungan. Lomba yang telah berjalan beberapa tahun itu mampu membuat masyarakat Lamongan jadi terpacu untuk berlomba-lomba menciptakan lingkungan tempat tinggal yang bersih dan juga cantik.

Bersih dan penuh tanaman di sekitar tempat tinggal saya di Lamongan. RT tempat saya tinggal ini pun kerap mendapat nominasi pemenang di lomba Lamongan Green and Clean yang kini sudah sampai di tingkat kategori kencana atau tingkat paling tinggi di lomba tersebut.
Bersih dan penuh tanaman di sekitar tempat tinggal saya di Lamongan. RT tempat saya tinggal ini pun kerap mendapat nominasi pemenang di lomba Lamongan Green and Clean yang kini sudah sampai di tingkat kategori kencana atau tingkat paling tinggi di lomba tersebut.
Budaya ini melengkapi sebuah budaya yang sebelumnya tidak saya sadari masih berakar di Indonesia. Budaya senyum. Kesadaran tergugah saat menikah dengan seorang pria yang tinggal di desa.

“Kalau di sini, kenal nggak kenal, senyum aja. Paling kalau mereka nggak biasa tahu, mereka tetap senyum,” pesan suami yang tahu saya kikuk menyapa orang karena tidak lancar berbahasa Jawa halus.

Benar saja. Saat berjalan dengan atau tanpa suami, orang-orang yang berpapasan di jalan kerap spontan melemparkan senyum. Sekali dua kali ada yang sambil menyapa dengan bertanya dari mana atau mau ke mana. Padahal aslinya, mereka tidak kenal saya sebelumnya.

Membandingkan Singapura dan Indonesia

Sebetulnya mungkin terlihat tidak pantas jika saya yang baru dua kali ke Singapura itu lalu membanding-bandingkan dengan Indonesia. Tapi dari beberapa kali cerita teman yang asli Indonesia dan sekarang tinggal di sana, saya bisa menyimpulkan beberapa hal tentang budaya senyum dan bersih:

  • Budaya senyum

Senyum wajah Singapura sebetulnya mirip dengan wajah kota-kota besar di Indonesia. Budaya itu hanya ada pada segelintir orang saja. Sementara di Indonesia, budaya senyum akan begitu banyak dijumpai pada daerah-daerah pedesaan. Beberapa kali saya mengunjungi daerah-daerah ada yang ada di Indonesia, masih begitu banyak orang yang serta merta mengedarkan senyum saat berpapasan dengan orang lain. Jika tak menemukannya, tersenyumlah terlebih dahulu. Maka satu dua orang saja yang tak membalasnya atau memilih membuang muka.

Anak-anak yang sedang berlatih kompang di sebuah desa nelayan di daerah Rempang Cate, Batam. Meski saya berada di kejauhan, mereka tetap tersenyum ke arah saya.
Anak-anak yang sedang berlatih kompang di sebuah desa nelayan di daerah Rempang Cate, Batam. Meski saya berada di kejauhan, mereka tetap tersenyum ke arah saya.
  • Budaya bersih

Jika yang satu ini , uniknya malah berbalik. Masyarakat Singapura begitu sangat sadar akan budaya bersih. Budaya bersih ini hampir mirip dengan ujaran, jika kamu seenaknya buang sampah, maka kamu terlihat tidak berpendidikan. Pun kesadaran akan pentingnya hidup bersih berikut konsekuensinya jika tidak dilakukan menjadi dasar kebiasaan warga Singapura untuk hidup bersih.

Di Indonesia? Sejujurnya dari hasil pengamatan saya, meski dimotivasi dengan lomba dan penghargaan, atau undang-undang sekalipun, rasanya kebiasaan sadar kebersihan ini begitu lambat prosesnya menjadi sebentuk budaya.

Perbandingan data kunjungan wisatawan ke Indonesia dengan Singapura menurut http://data.worldbank.org/ tahun 2014. Beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan ke Indonesia melonjak drastis grafiknya jika dibandingkan grafik negara Singapura.
Perbandingan data kunjungan wisatawan ke Indonesia dengan Singapura menurut http://data.worldbank.org/ tahun 2014. Beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan ke Indonesia melonjak drastis grafiknya jika dibandingkan grafik negara Singapura.
Karena Senyum dan Bersih adalah Kunci Kenyamanan

Bayangkan tinggal di tempat yang bersih seperti Singapura, dengan orang-orang yang ramah menebar senyum seperti masyarakat di pedesaan Indonesia. Siapa yang tak akan betah? Saya rasa jika itu mewujud, akan makin banyak turis asal luar negeri yang memilih berlama-lama tinggal di Indonesia. Wong terkenal budaya ramahnya saja bisa sebegitu memikat, apalagi jika ditambah dengan budaya bersih?

Sepertinya, itu yang menjadi alasan Kementerian Maritim mencanangkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) pada 19 September 2015 lalu. Sebetulnya gerakan ini diutamakan bagi daerah yang terkenal akan potensi wisatanya. Karena dengan lingkungan yang bersih dan masyarakat yang ramah serta murah senyum, akan menjadi magnet terutama bagi wisatawan asing.

Seorang wanita yang sedang menjemur kayu manis di depan rumah adat Malaris, Desa Loklahung, Loksado, Kalimantan Selatan, tersenyum ramah ke saya sembari menjelaskan tentang apa yang sedang ia lakukan. Selain terkenal dengan wisata bamboo rafting, Loksado juga terkenal dengan desa wisatanya yang kaya akan budaya.
Seorang wanita yang sedang menjemur kayu manis di depan rumah adat Malaris, Desa Loklahung, Loksado, Kalimantan Selatan, tersenyum ramah ke saya sembari menjelaskan tentang apa yang sedang ia lakukan. Selain terkenal dengan wisata bamboo rafting, Loksado juga terkenal dengan desa wisatanya yang kaya akan budaya.
Lalu, andai saja jika di setiap jengkal daerah di Indonesia, setiap orang begitu mudahnya menjumpai budaya bersih dan senyum. Mungkin bukan hanya daerah wisata saja yang akan dilirik para wisatawan manca, melainkan di mana saja daerah di Indonesia akan memikat wisatawan untuk mengunjunginya. Atau malah bisa jadi, akan banyak daerah yang bisa menjadi daerah wisata.

Tentunya, negara yang memiliki budaya bersih dan senyum bisa membuat masyarakat yang tinggal di negara tersebut menjadi nyaman. Siapapun akan senang tinggal di negara yang bersih, tertata dengan baik, dan bersahabat. Budaya ini akan bisa menjadi lambang masyarakat yang berbudaya luhur dan menjaga kelestarian sumber daya alamnya.

Pastinya semua itu tidak hanya bisa sekedar keinginan yang begitu saja ada. Harus ada upaya dari masyarakat Indonesia sendiri untuk meraihnya melalui sikap mental dalam kehidupan sehari-hari.



Menerapkan GBBS dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Sebuah gerakan tidak akan bisa dilihat hasilnya secara instan. Bukan dalam hitungan tahun. Sebetulnya, GBBS akan lebih mengena bila diterapkan sejak anak usia dini dalam lingkungan keluarga atau pendidikan anak usia dini di lembaga formal. 

Seperti yang telah saya sebutkan, untuk urusan budaya senyum, sebetulnya bukanlah menjadi masalah yang begitu berarti di Indonesia? Namun untuk budaya bersih dan peduli lingkungan, rupanya banyak masyarakat Indonesia sendiri yang apatis terhadap hal ini.

"Membandingkan kok sama Singapura? Ya jauh..."

"Saya sudah coba menerapkan pada anak-anak saya di sekolah. Eh, tapi orangtuanya yang malah buang sampah seenaknya."

Itulah komentar beberapa orang menanggapi budaya bersih yang ada di Indonesia. Banyak orang pesimis tentang gerakan ini jika diterapkan pada orang dewasa. 

Akan tetapi harapan tidak bisa pupus begitu saja. Menurut saya, GBBS perlu ditekankan dalam PAUD selain dalam peraturan berikut konsekuensi, hingga berbagai lomba yang memunculkan motivasi. Toh SIngapura yang hanya berjarak selemparan batu dari Indonesia saja bisa membudayakan gerakan bersih, mengapa bangsa kita tidak? Meski itu membutuhkan proses hingga melewati beberapa generasi.

Semoga kelak budaya senyum dan bersih itu bisa mewujud di Indonesia.

Data media sosial penulis:

Facebook: http://facebook.com/imsusanti

Twitter: http://twitter.com/IkaMayaSusanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun