“Kalau di sini, kenal nggak kenal, senyum aja. Paling kalau mereka nggak biasa tahu, mereka tetap senyum,” pesan suami yang tahu saya kikuk menyapa orang karena tidak lancar berbahasa Jawa halus.
Benar saja. Saat berjalan dengan atau tanpa suami, orang-orang yang berpapasan di jalan kerap spontan melemparkan senyum. Sekali dua kali ada yang sambil menyapa dengan bertanya dari mana atau mau ke mana. Padahal aslinya, mereka tidak kenal saya sebelumnya.
Membandingkan Singapura dan Indonesia
Sebetulnya mungkin terlihat tidak pantas jika saya yang baru dua kali ke Singapura itu lalu membanding-bandingkan dengan Indonesia. Tapi dari beberapa kali cerita teman yang asli Indonesia dan sekarang tinggal di sana, saya bisa menyimpulkan beberapa hal tentang budaya senyum dan bersih:
- Budaya senyum
Senyum wajah Singapura sebetulnya mirip dengan wajah kota-kota besar di Indonesia. Budaya itu hanya ada pada segelintir orang saja. Sementara di Indonesia, budaya senyum akan begitu banyak dijumpai pada daerah-daerah pedesaan. Beberapa kali saya mengunjungi daerah-daerah ada yang ada di Indonesia, masih begitu banyak orang yang serta merta mengedarkan senyum saat berpapasan dengan orang lain. Jika tak menemukannya, tersenyumlah terlebih dahulu. Maka satu dua orang saja yang tak membalasnya atau memilih membuang muka.
![Anak-anak yang sedang berlatih kompang di sebuah desa nelayan di daerah Rempang Cate, Batam. Meski saya berada di kejauhan, mereka tetap tersenyum ke arah saya.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/10/09/503183840-7b0bf1bad8-b-57f95e0124afbdf12cb41b3d.jpg?t=o&v=555)
- Budaya bersih
Jika yang satu ini , uniknya malah berbalik. Masyarakat Singapura begitu sangat sadar akan budaya bersih. Budaya bersih ini hampir mirip dengan ujaran, jika kamu seenaknya buang sampah, maka kamu terlihat tidak berpendidikan. Pun kesadaran akan pentingnya hidup bersih berikut konsekuensinya jika tidak dilakukan menjadi dasar kebiasaan warga Singapura untuk hidup bersih.
Di Indonesia? Sejujurnya dari hasil pengamatan saya, meski dimotivasi dengan lomba dan penghargaan, atau undang-undang sekalipun, rasanya kebiasaan sadar kebersihan ini begitu lambat prosesnya menjadi sebentuk budaya.
![Perbandingan data kunjungan wisatawan ke Indonesia dengan Singapura menurut http://data.worldbank.org/ tahun 2014. Beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan ke Indonesia melonjak drastis grafiknya jika dibandingkan grafik negara Singapura.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/10/09/data-world-bank-57f95f5a6123bdef2b09ab5f.jpg?t=o&v=555)
Bayangkan tinggal di tempat yang bersih seperti Singapura, dengan orang-orang yang ramah menebar senyum seperti masyarakat di pedesaan Indonesia. Siapa yang tak akan betah? Saya rasa jika itu mewujud, akan makin banyak turis asal luar negeri yang memilih berlama-lama tinggal di Indonesia. Wong terkenal budaya ramahnya saja bisa sebegitu memikat, apalagi jika ditambah dengan budaya bersih?
Sepertinya, itu yang menjadi alasan Kementerian Maritim mencanangkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) pada 19 September 2015 lalu. Sebetulnya gerakan ini diutamakan bagi daerah yang terkenal akan potensi wisatanya. Karena dengan lingkungan yang bersih dan masyarakat yang ramah serta murah senyum, akan menjadi magnet terutama bagi wisatawan asing.