Sebagai contoh, pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi karyawan di Indonesia pada lapisan maksimalnya hanya sebesar 35%, sementara di negara-negara Nordik seperti Denmark dan Swedia dapat melampaui 50%.
Sementara itu, kemampuan negara untuk memungut pajak dari potensi Produk Domestik Bruto (PDB) atau dikenal dengan rasio pajak (tax ratio) di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan sejumlah negara ASEAN. Pada tahun 2023, PDB Indonesia mencapai Rp20.892,4 triliun (BPS, 2024) sedangkan rasio pajak hanya berkisar 10,31%. Negara Vietnam misalnya, memiliki rasio pajak mencapai 18,2% pada tahun 2021 (OECD, 2023).
Ditilik dari aspek Indeks Modal Manusia (Human Capital Index), Indonesia memperoleh skor 54%. Angka ini masih berada di bawah rata-rata Asia Timur dan Pasifik sebesar 59% dan negara berpenghasilan menengah ke atas 56% (Bank Dunia, 2023). Artinya, produktivitas anak Indonesia masih relatif rendah dari kapasitas idealnya, juga di bawah benchmark dunia.
Padahal, salah satu indikator HCI adalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Komponen ini berpengaruh pada pergerakan roda ekonomi yang pada akhirnya berkorelasi erat dengan pemajakan. Dengan kata lain, pendidikan menjadi variabel integral dalam konteks optimalisasi rasio pajak. Bak siklus yang saling terkait.
Studi Balsera, Kless, dan Archer (2017) menganalisis bagaimana mobilisasi sumber daya dalam negeri melalui perpajakan yang progresif menjadi solusi pemenuhan kesenjangan pembiayaan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) nomor 4: pendidikan berkualitas. Hasilnya adalah perlunya perluasan basis pemajakan dengan menekan prevalensi insentif pajak yang merugikan dan mengatasi penghindaran pajak.
Pajak sebagai panasea
Setidaknya, berikut 3 strategi dari sisi pajak guna menjawab teka-teki optimalisasi pemerataan pendidikan melalui peningkatan tax ratio.
Pertama, pengembangan program inklusi kesadaran pajak secara ekspansif. Integrasi kurikulum kesadaran pajak pada seluruh jenjang pendidikan menjadi agenda utama. Silabus pembelajaran bermuatan sadar pajak diajarkan oleh para guru dan pendidik, tidak terbatas pada tingkat pendidikan tinggi.
Urgensi ini dipandang perlu dalam rangka mempersiapkan generasi sadar pajak saat era bonus demografi tercipta. Menanamkan kepatuhan pajak secara sukarela sedini mungkin, agar kelak tidak memunculkan efek kejut yang membuat mereka lari dari pajak saat kewajiban tersebut menghampiri.
Kedua, memaksimalkan peran sistem inti perpajakan (core tax system) sebagai manajemen pengetahuan bagi wajib pajak terdaftar maupun calon wajib pajak masa depan. Selain itu, menciptakan peluang ekstensifikasi basis pajak melalui pemanfaatan teknologi dan Artificial Intelligence (AI).
Aksesibilitas pengetahuan perpajakan yang praktis dan terjangkau akan meningkatkan partisipasi digital pada aplikasi perpajakan dan mengeliminasi mispersepsi akan dinamika kebijakan pajak yang terus berkembang.