Mohon tunggu...
Ika Hapsari
Ika Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Pajak Direktorat Jenderal Pajak | Duta Transformasi Kemenkeu RI Terbaik 2018-2022

Berprofesi sebagai Penyuluh Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI. Telah banyak menulis artikel opini perpajakan yang dimuat pada laman pajak.go.id maupun media massa nasional. Menjuarai sejumlah kompetisi menulis opini tingkat nasional. Terpilih sebagai Liaison Officer G20 Presidensi Indonesia 2022 bagi Wakil Perdana Menteri Canada, H.E Chrystia Freeland. Berhasil meraih predikat sebagai Duta Transformasi Kementerian Keuangan RI Terbaik pada 2018, 2020, 2021, dan 2022. Saat ini tengah menekuni passion sebagai kreator konten yang berfokus pada topik edukasi perpajakan, pengembangan karir, dan wisata lokal.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjawab Enigma Pendidikan dari Perspektif Pajak

30 Juni 2024   19:58 Diperbarui: 30 Juni 2024   19:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Setiawan Kusumo

Untuk keluar dari jebakan penghasilan menengah dan menjelma menjadi negara maju, Indonesia harus mampu mencetak lokomotif-lokomotif perubahan. Menempa para game changer guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Generasi yang mengelaborasi gerbong-gerbong dibelakangnya untuk melaju bersama.

Tak ayal, pendidikan layak dan setara menjadi kunci utama.

Kendati demikian, jelas tidak ada makan siang yang gratis. Tentu biaya pengorbanan untuk meraih asa tersebut tidak sedikit.

APBN tahun 2024 mengalokasikan Rp665 triliun pada pos pendidikan. Nilai ini sesuai dengan mandat konstitusi yang mewajibkan proporsi 20% dari APBN. Implementasinya beragam, salah satu diantaranya dikelola sebagai dana abadi yang disalurkan kepada penerima beasiswa. Para insan brilian yang digadang-gadang menjadi lokomotif transformasi dalam berbagai bidang yang digelutinya.

Faktanya, bujet pendidikan terus meningkat setiap tahunnya. Kendati demikian, realisasi penyerapannya belum sepenuhnya diimbangi dengan eskalasi kualitas pendidikan di seluruh pelosok nusantara.

Terlebih, belakangan ini diskursus ihwal pendidikan ramai mengudara. Dimulai dengan para penerima beasiswa yang enggan kembali mengabdi ke Indonesia sesuai janji awal untuk berkontribusi bagi negeri, lonjakan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), kasus perundungan siswa didik hingga menelan korban jiwa, rendahnya tingkat kesejahteraan guru honorer, serta infrastruktur yang tidak memadai.

Tak dapat dimungkiri, kompleksitas problematika pendidikan di tanah air disumbangkan oleh kesenjangan demografi, kondisi geografis, dan besarnya populasi manusia. Hal ini memicu disparitas kesempatan bagi anak-anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan secara adil dan merata. Bersekolah seolah menjadi privilese bagi sebagian peserta didik, di saat angka putus sekolah masih tergolong tinggi.

Dialektika pajak dalam pendidikan 

Pajak masih menjadi tulang punggung penerimaan negara dalam APBN, persentasenya mencapai lebih dari 70%. Oleh karenanya, secara implisit, pajak berperan krusial dalam pendanaan pendidikan.

Sayangnya, keinginan mewujudkan pendidikan yang gratis dan inklusif layaknya bangsa Scandinavia laksana jauh panggang dari api. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa mustahil Indonesia dapat menihilkan biaya pendidikan seperti di negara maju. Bukan tanpa sebab, hal ini lantaran mencoloknya perbedaan tarif pemungutan pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun