“Sebetulnya, saya nggak pernah mencari cangkir itu”
“Maksud kamu?” tanya Siti heran. Ekspresi wajah Mahpud benar-benar berbeda sekarang.
“Karena cangkir kamu nggak pernah hilang Siti. Saya yang menyembunyikannya. Supaya saya punya alasan buat deket sama kamu. Saya cinta sama kamu Siti. Saya nggak mau kehilangan kamu” jelas Mahpud parau
Siti terkesiap. Mungkin bila ia tahu tentang ini dulu, ia akan marah besar pada Mahpud. Namun, sekarang siapa yang peduli dengan hal sepele begitu?. Karena itu pastilah salah satu trik takdir untuk mempertemukan, dan menyatukan mereka.
“Saya juga cinta sama kamu. Sangat cinta” Siti tersenyum bahagia. Tidak ada lagi yang salah dengan perasaannya sekarang. Yang ada dibenaknya hanyalah Mahpud seorang.
“Kalau begitu... boleh saya menemui orangtua kamu untuk melamar?” tanya Mahpud dengan senyum datar.
Siti mengangguk antusias. Jangankan bicara untuk melamar, Mahpud ingin menikahinya saat ini pun Siti pasti akan mengangguk. Mahpud lantas menggandeng tangan Siti. Namun ternyata ia melupakan sesuatu.
“Oh ya, saya mau beli nasi rames dulu, tadi disuruh sama ibu. Yuk”
“Kalau gitu saya kerumah kamu duluan aja deh, nunggu di sana”
“Oh. Ya udah. Saya ke warung dulu ya”
Baru kali ini Mahpud berani menemui orangtuanya. Sendirian pula. Mungkin itu bukti keseriusan Mahpud padanya. Gadis itu pun hanya bisa tersenyum sendiri. Namun, ada yang terasa janggal pada perasaannya. Sesuatu yang sepertinya terlalu salah. Yang begitu mengganggu ketenangannya.