Dalam sebuah adegan digambarkan seorang pejuang yang memakai emblem ala pasukan merah China dengan entengnya melengang kangkung tanpa membayar sepeserpun pada seorang pedagang. Masihkah teringat sebuah lagu aksi lama?.... siapa yang mau diganti dengan menwa, gara-gara makan di warung tegal nda pernah bayar, atau naik bis kota tak pernah bayar?
Tentu tidak susah kita mengingat lirik lagu jenaka itu, yang intinya adalah olok-olok, yang tentu pada waktu itu sering dinyayikan kalangan aktivis kampus saat bangsa ini menghadapi rezim militer yang berkuasa dengan kekerasannya. Tentu itu sudah menjadi sejarah, koter atau komando teritorial, dwi fungsi ABRI adalah cerita lama. Apa yang menarik dari cerita lama adalah ketika cerita nostalgia itu menjadi olok-olok bagi para pelaku sejarahnya dan hanya mereka yang paham akan kelucuan olok-olok itu sendiri. Mengenai olok-olok, di sejarah bangsa ini banyak sekali kiasan dan olok-olok yang sering dilontarkan masyarakat pada teman, tetangga bahkan pemimpinnya sendiri. Mungkin dari bahasa yang berupa kiasan menunjukan cara yang cerdas bagi masyarakat untuk menunjukan kritik dan perlawanan pada penindasan atau ketidakadilan pada dirinya tanpa menyinggung atau berat sebelah. Karena olok-olok diutarakan sebagai percakapan yang saling mengakrabkan dan jauh dari kesan formal. Bisa terjadi di angkringan pingir jalan, tempat nongkrong di pemancingan hingga sampai di lobi-lobi hotel mewah atau di senayan. Tetapi justru dari forum yang tidak resmi, santai dan lain sebagainya inilah kadang muncul ide, pesan dan pertukaran informasi yang jauh lebih dalam dibandingkan ketika orang duduk mengantuk di bangku kuliah mendengarkan bapak ibu dosen yang mengajar. Mungkin sudah menjadi kebiasaan bangsa ini untuk lebih santai dan tidak menyukai hal yang bersifat formal, sehingga kegiatan politispun selalu diselingi dengan lagu dangdut. Atau hiburan seni rakyat lainnya, kita harus banyak berterima kasih pada pengenal metode kampanye ampuh ini, walau kemudian si empunya sudah tiada lagi di bumi Indonesia ini. Dan pembelajaran idiologi yang begitu cerdas sehingga banyak ditiru oleh kelompok politik lainnya dengan berbagai warna. Sebuah kenyataan bahwa media seni seringkali menjadi media ampuh untuk menyampaikan sesuatu karena dengan mudah orang akan datang berkumpul karena faktor hiburan dan masyarakat akan dengan mudah mengingat apa yang disampaikan oleh pemeran atau tokoh utama pada hiburan tersebut apalagi disampaikan dengan banyolan.
Kemasan artistik dalam hal ini pendidikan apakah itu idiologi atau pendidikan lainnya seperti halnya KB, atau pemberantasan sarang nyamuk, mempunyai inti yang sama mengedukasi dan membuat masyarakat berperilaku sama sesuai dengan apa yang ingin disampaikan melalui media hiburan atau seni tersebut. Di luar apa yang diperdebatkan oleh para seniman atau pengiatnya dengan istilah Turba dan Manikebu. Seni sudah digunakan sebagai media penyampaian pesan sejak awal semula kelahirannya, jika itu adalah film bergerak, tentu kita sudah paham tentang berbagai film propaganda ala lawakan Charlie Chaplin tentang Nazi, atau bahkan Donal bebek yang berusaha membantu pemerintah Amerika mendapatkan dana untuk perang dengan menjual surat pinjaman Negara (US Bond). Sejauh pembelajaran tentang memahami dan memanfaatkan film sebagai media narasi sejarah di luar buku yang selama ini penulis berusaha pahami, memunculkan sedikit pengalaman atau nuansa unik ketika film memasuki berbagai fase untuk menjadi dan diluncurkan. Pengalaman tentang memperdebatkan bagaimana narasi skrip film yang baik antara produk dramatisasi dan akurasi dari film yang harus dikompromikan. Kadang rekonstruksi dari film yang akan memakan waktu yang lama, dan harus matang membuat budget film dan waktu pengerjaan yang makin molor perlu disiasati dengan berbagai pemotongan dan tidak semua gambaran yang terangkum tervisualisasikan. Sehingga banyak dari hasil visualisasi sedikit berubah untuk memenuhi syarat atau ide artistik dan gambaran dramatis dari sebuah peristiwa sejarah, karena sebagian besar film dengan genre sejarah atau dokudrama sejarah mengangkat bagian yang dramatis sebagai gambaran yang paling menjual atau disukai oleh penonton (mungkin hanya pendapat saya saja film sejarah harus ada tembak-tembakan dan teriakan perang baru afdol, maklum dalam sejarah sisi dramatis atau tidak sama saja). Mau pakai lepas baju teriak-teriak sampai urat pedot atau apapun kalau fakta sejarahnya kalah, mau sedramatis apapun kalau digambarkan menang, berarti sudah salah, dan menyalahi sejarah. Dan itulah pentingnya sejarawan, bukan hanya bagian akurasi data saja, seperti bagian penata baju yang tepat pada jamannya seting waktu film, logat obrolan yang sesuai, atau seting sejarah. Akan tetapi terpenting ikut dalam Skrip writing, sekali skrip salah berarti film tersebut gagal menjadi film sejarah yang akurat. Cuma kebetulan saja setingnya menjadi sesuai dengan peristiwa sejarah masa lampau yang pernah terjadi.
Mengenai olok olok dan skrip writing, tidak perlu sampai dengan mandi kembang tengah malam untuk mempelajari tehnik ini, tentu sejarawan dituntut untuk sedikit kreatif dalam genre penulisannya yang selama ini datar dalam merangkum dan menarasikan sebuah sejarah. Aspek seni seperti halnya yang diajarkan dalam metodologi penulisan yang semester awal langsung dilupakan itu, tentu saja sangat bermanfaat bagi sejarawan untuk bekerja di perfilman, bukan hanya tidak penting tapi sama pentingnya bahkan lebih penting daripada sejarawan untuk belajar bisa mengunakan dan mengoperasikan DSLR kamera atau video shooting kalau tidak ingin karier sejarawan hanya kelak menjadi sebatas pemegang kabel stroom atau lighting saja. Pemahaman film sebagai salah satu bentuk narasi sejarah harus dipahami sejak awal, karena kelak orang akan lebih tertarik melihat film atau gambar bergerak atau peraga lainnya daripada membeli buku yang harganya makin mahal dan turunnya motivasi penulis sejarah menulis buku.
Sedikit gambaran tentang penarasian tokoh, contohlah seorang tokoh yang bukan siapa-siapa yang berada di sekitar kita, dan sering terjadi hal dan peristiwa serupa di lingkungan kita. Sebagai awal tokoh Badu dalam narasi ini adalah fiktif dan tidak menyinggung pada sosok manapun dan jikalau ada kesamaan dan kemiripan dari peristiwa dalam cerita, hal ini merupakan kebetulan semata dan tidak disengaja oleh penulis.
Awal cerita : Badu seorang anak kecil yang sering mandi dikali karena hari sudah sore dan mulai mendung sang ibu datang ke kali dan mencarinya, ketika melihat si Badu kecil yang masih mandi asyik bermain air, maka dijewernya si badu kecil. Sambil menangis si Badu kecil merengek untuk dilepas, tapi apa daya si Ibu yang sebal dengan perilaku anaknya yang bandel terus menjewer dan membawa si Badu kecil sampai ke rumah sambil mengomel. Dan kejadian itu ditingkahi dengan gelak tawa dan ejekan dan olokan dari teman-temannya sepermainan, yang tidak sadar sebentar lagi rombongan ibu-ibu mereka juga akan sampai di sungai dan menjewer mereka jika mereka tidak segera buru-buru kabur.
Moment seperti ini akan terus melekat dengan para pelaku dan orang yang melihat kejadian atau insiden sungai tersebut. Bisa kelak suatu saat nostalgia ini akan muncul lagi entah dalam sekedar minum kopi bersama atau ketika ada moment yang berasosiasi dengan anak nakal dan mandi di sungai. Entah sebagai ingatan yang lucu atau sebagai sindiran buat seseorang yang mengingatkan stigma nakal kenakalan yang entah ujungnya sampai kemana (bisa jadi genosida), stigma jewer, atau sterotipe ibu yang galak. Ada yang menjadi moment trauma, ada yang menjadikannya moment paling berbahagia, macam-macam persepsi dan penerimaan.
Apa yang menjadi olok-olok permainan masa kecil bisa jadi bervariasi bentuknya kalau kita mengamati, meniru dan memodifikasi moment-moment tersebut pada peristiwa lain yang terjadi di masa lampau kemudian dipolemikkan kembali di masa sekarang. Apa yang dicapture atau ditangkap dari sebuah cerita tidak seperti halnya sebuah hiburan yang menuntut sebuah dramatisasi atau unsur heroik, eksotik, atau erotis. Karena semuannya tersebut adalah tambahan atau kemasan subjektif dari penutur ulang. Kadang justru kemasan inilah yang lebih berkembang dan ditonjolkan oleh penutur ulang baik sebagai teks atau sebagai narasi ulang tambahan. Tentu semua tidak bebas makna dan nilai, selain untuk klise hiburan atau tujuan praktis lainnya, tentu ada maksud lain kenapa kemudian nada keputusan atau inisiatif untuk kembali mengangkat cerita atau topik itu kembali ke permukaan. Dan tentunya ada moment yang begitu pas dan tepat untuk kembali menganggkat ingatan yang tentu saja merupakan ingatan yang ingin disebarkan karena tujuan tertentu. Yang berasosiasi dengan moment pada waktu sekarang dan ingatan lampau tersebut.
Misal sebagai contoh badu kecil yang beranjak dewasa kemudian menginginkan dirinya mencalonkan diri menjadi lurah di kelurahan tempatnya tinggal. Tentu stigma atau steriotipe akan banyak bermunculan dengan situasi yang dihadapinya kini. Tentu semua menjadi politis, bahkan untuk beli rokok dengan merk yang sama dengan kesukaan badu akan menjadi masalah bagi kandidat lainnya yang bersaing dengan si Badu. Intinya adalah membentuk brand image bagi diri masing-masing entah dengan produk atau kampanye apapun di lingkungannya. Bagaimana supaya apa yang ingin ia sampaikan terlaksana dan sampai pada khalayak maka, diperlukan sebuah situasi atau sebuah keadaan konflik kecil yang mungkin bisa direkayasa di tingkatan kelurahan bisa jadi mungkin memunculkan isu baru atau narasi baru di masyarakat tentang dirinya sendiri. Atau dengan sedikit keberanian dan dukungan bisa mengunakan sejenis sindiran atau penjatuhan (genosida karakter… atau yang lainnya) pada lawan politik atau kelompok masyarakat atau individu yang bisa dimanfaatkan dalam situasi ini.
Anggaplah kemudian moment sungai dimana badu kecil melakukan kesalahan dan kena jewer di masa lampau, masih menjadi ingatan komunal di masyarakat kelurahan tersebut. Karena teman-teman sebaya dan anak-anak keluarga dari teman sepermainan badu masih berdomisili di situ dan memudahkan ingatan kenakalan tersebut untuk diangkat kembali oleh lawan politik si Badu tadi. Maksud dan tujuan narasi ulang dari sejarah kenakalan dan kealpaan ini mempunyai maksud bukan untuk sekedar berbagi cerita kecil atau cerita kebersamaan. Tetapi bersamaan dengan tujuan dan nilai politis seperti halnya penekanan bahwa si Badu kecil adalah anak nakal, seperti kancil, bandel dst, disesuaikan dengan kemampuan lawan politik Badu kecil bernarasi. Tentu akan ada nilai penambahan dan penekanan subjektif dari pe-narasi jika tentunya ia ingin cukup punya pengaruh dan terpandang, tentu cerita tersebut akan dibuat dengan seapik mungkin dan sedramatis mungkin. Hampir menyamai plot sinetron orang yang heroik teraniaya atau bahasa metafora lainnya, atau bahasa tanda dengan tujuan supaya lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Simbol nakal, jewer, merk rokok, atau bahkan ukuran baju dan celana, atau detail kecil apapun yang menyangkut si Badu akan dengan sendirinya menjadi barang yang diharamkan oleh kumpulan masyarakat politis yang berusaha digalang oleh lawan politik si Badu. Dengan sendirinya jalan menuju tujuan politik dari si lawan yang kawan lama dari si Badu menjadi lebih terbuka.
Kembali kepada si Badu, tentunya ia paham betul apa yang terjadi pada dirinya sekarang adalah konsekuensi politik dari apa yang ia lakukan dan ingin ia capai. Cap akan kenakalan akan mungkin selamanya ada padanya, mungkin sampai akhir hayatnya dan anak turunnya. Bahkan mungkin berimbas pada keluarganya yang lain, yang menyebabkan berbagai tali silahturahmi menjadi rengang atau bahkan putus, bahkan mungkin ia disalahkan juga oleh kalangan terdekatnya sendiri karena begitu lancang beraninya ia melawan teman sepermainannya yang ternyata adalah jagoan kampung itu dalam pemilihan lurah di desanya. Sedikit kemudian kenakalan masa kecil yang kemudian diasosikan dengan berbagai “dosa” lain atau kemudian mengali aspek kekerasan dan kekejaman yang muncul pada peristiwa kecilnya dengan peristiwa besar lainnya. Bagaimana jika diketahui tiba-tiba ternyata salah satu kerabat Badu kecil tersebut adalah dulu seorang anggota perkumpulan terlarang, seperti PKI atau afiliasinya…. Sudah pasti tamat nasib si Badu di kampungnya. Berawal dari narasi kenakalan untuk tujuan tingkat kampung menjadi sebuah polemik yang mengharuskan semua orang memusuhi si Badu dan keluarganya. Bermula ketika olokan yang menarasikan sebuah pilihan rokok, dan bermain di sungai menjadi sebuah tujuan untuk menyemaikan ingatan tentang gambaran abstrak dari kenakalan anak kecil dan kekejaman tingkat wahid. Itulah kebesaran dari olok-olok, cukup bermodal kreatifitas dan seni bernarasi fakta bisa dicari dan diterimakan secara luas melalui media ringan untuk berkampanye di tingkat kelurahan. Bahkan si pembuat olok-olok sendiripun tak akan mampu membendung batasan olok-olok yang kemudian muncul tak berkesudahan setelah ia mempunyai kekuasaan, katakanlah setelah ia menjadi lurah, tentu ia tidak akan menarik kembali olok-olokannya karena dengan demikian ia mengakui bahwa apa yang diolokan terhadap teman dekatnya dulu merupakan bohong semata. Cukuplah ia bersimpati dengan memasukkan si Badu dan keluarganya pada program bantuan raskin atau keluarga miskin, tanpa ia sadari, pastilah cap olokan komunis atau kenakalan itu dengan sendirinya tidak akan memudahkan Negara membantu Badu yang sekarang hidupnya menjadi susah karena olok-olok yang berkepanjangan. Dan sialnya lagi apa yang hendak diperbantahkan oleh Badu? Bukankah itu hanya olok-olokan kecil kata mereka para pengolok, tetapi apa lancur jika olok-olokan itu sekarang terlanjur menjadi sebuah kebenaran bagi sejarah masyarakat. Marilah kita cukup berandai-andai dan kembali ke topik tentang film.
Selain fakta sejarah yang saling bertentangan dengan apa yang digambarkan dalam film Jenderal Soedirman tentang sosok kepahlawanan dan kepemimpinan beliau dan berbagai hubungan antara kelompok patron politik pada masa revolusi. Lebih lanjut tentunya sosok Jenderal Soedirman bukanlah sosok yang akan berkepentingan dengan narasi ulang dari perjalananya, karena beliau tokoh yang sudah wafat, dan orang bebas melakukan intepretasi ulang secara subjektif dengan narasumber sekunder, di luar beliau. Sayang sekali hal ini juga berlaku untuk pelaku lain dari kejadian sejarah tersebut, seperti Tan Malaka, atau Soekarno. Maka tokoh-tokoh tersebut dengan bebas bisa diintepretasikan tanpa konfirmasi pula pada yang bersangkutan. Dan wajib dipahami bahwa tokoh-tokoh tersebut merupakan patron politik yang kuat dengan kumpulan pendukungnya tersendiri. Sebagian orang akan menganggap film sejarah bebas intepretasi dalam artian ini versi tersendiri dari kelompok sejarawan atau masyarakat politis tertentu. Dan yang menjadi garis besar adalah bahwa ingatan akan peristiwa tersebut adalah sudut pandang tertentu dari salah satu pihak saja. Dan wajib pula dipahami sebaliknya jikalau pihak penutur ulang atau narasi ulang menyatakan kebenaran adalah subjektif dari mereka, maka sejalan dengan itu kebenaran bukan mutlak dengan versi mereka. Dengan sedikit bercanda selama mereka belum memenangkan kekuasaan dan sejarah menjadi sejarah pemenangan dan kemenangan dari kelompok penguasa itu. Maka secara alamiah selama mereka belum berkuasa maka sejarah bisa kembali diperdebatkan dan ditulis ulang kapanpun, dan sejarah menjadi mahluk yang selayaknya mahluk hidup tumbuh berkembang dari kenakalan dan asupan gizi dari berbagai sumber menjadi sejarah yang 4 sehat 5 sempurna. Karena sempurna hanya menjadi milik sejarah Tuhan. Tidak diperdebatkan dan tidak didefinisi ulang. Seperti halnya dalam agama yang bisa diintepretasikan hanyalah hukum idiologi dan adat istiadat yang terpengaruh oleh ingatan yang telah mengakar kuat tak terbantahkan itu. Maka sebelum sejarah akan masa lampau yang berusaha untuk dinarasikan ulang kembali tentang tokoh pahlawan bangsa yang digambarkan saling bertentangan dan saling berkhianat menjadi kebenaran mutlak layaknya Tuhan. Mari kita kembali ke masa lalu seperti halnya Badu kecil. Mari kita rekonstruksi kembali kenakalan si Badu kecil dan kelompok bermainnya, siapa saja yang terlibat, dan kenapa ketika si Badu kecil dijewer dan hukum, kenapa teman teman lainnya tidak terkena atau tidak dinarasikan, bukankah mereka juga ikut bermain dan memancing di air sungai yang keruh itu, atau mereka sudah sadar dan kabur duluan sebelum hujan dan para penjewer tiba.
Pesan moral: Jadilah anak baik dalam Sejarah, supaya bapak ibu ikut senang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H