Mohon tunggu...
Ika Rubby
Ika Rubby Mohon Tunggu... Penulis peneliti -

sejarawan muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Film Jenderal Soedirman, Film Sejarah atau Propaganda Anti KomunisTerbaru

11 September 2015   04:05 Diperbarui: 11 September 2015   04:13 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kembali kepada si Badu, tentunya ia paham betul apa yang terjadi pada dirinya sekarang adalah konsekuensi politik dari apa yang ia lakukan dan ingin ia capai. Cap akan kenakalan akan mungkin selamanya ada padanya, mungkin sampai akhir hayatnya dan anak turunnya. Bahkan mungkin berimbas pada keluarganya yang lain, yang menyebabkan berbagai tali silahturahmi menjadi rengang atau bahkan putus, bahkan mungkin ia disalahkan juga oleh kalangan terdekatnya sendiri karena begitu lancang beraninya ia melawan teman sepermainannya yang ternyata adalah jagoan kampung itu dalam pemilihan lurah di desanya. Sedikit kemudian kenakalan masa kecil yang kemudian diasosikan dengan berbagai “dosa” lain atau kemudian mengali aspek kekerasan dan kekejaman yang muncul pada peristiwa kecilnya dengan peristiwa besar lainnya. Bagaimana jika diketahui tiba-tiba ternyata salah satu kerabat Badu kecil tersebut adalah dulu seorang anggota perkumpulan terlarang, seperti PKI atau afiliasinya…. Sudah pasti tamat nasib si Badu di kampungnya. Berawal dari narasi kenakalan untuk tujuan tingkat kampung menjadi sebuah polemik yang mengharuskan semua orang memusuhi si Badu dan keluarganya. Bermula ketika olokan yang menarasikan sebuah pilihan rokok, dan bermain di sungai menjadi sebuah tujuan untuk menyemaikan ingatan tentang gambaran abstrak dari kenakalan anak kecil dan kekejaman tingkat wahid. Itulah kebesaran dari olok-olok, cukup bermodal kreatifitas dan seni bernarasi fakta bisa dicari dan diterimakan secara luas melalui media ringan untuk berkampanye di tingkat kelurahan. Bahkan si pembuat olok-olok sendiripun tak akan mampu membendung batasan olok-olok yang kemudian muncul tak berkesudahan setelah ia mempunyai kekuasaan, katakanlah setelah ia menjadi lurah, tentu ia tidak akan menarik kembali olok-olokannya karena dengan demikian ia mengakui bahwa apa yang diolokan terhadap teman dekatnya dulu merupakan bohong semata. Cukuplah ia bersimpati dengan memasukkan si Badu dan keluarganya pada program bantuan raskin atau keluarga miskin, tanpa ia sadari, pastilah cap olokan komunis atau kenakalan itu dengan sendirinya tidak akan memudahkan Negara membantu Badu yang sekarang hidupnya menjadi susah karena olok-olok yang berkepanjangan. Dan sialnya lagi apa yang hendak diperbantahkan oleh Badu? Bukankah itu hanya olok-olokan kecil kata mereka para pengolok, tetapi apa lancur jika olok-olokan itu sekarang terlanjur menjadi sebuah kebenaran bagi sejarah masyarakat. Marilah kita cukup berandai-andai dan kembali ke topik tentang film.

Selain fakta sejarah yang saling bertentangan dengan apa yang digambarkan dalam film Jenderal Soedirman tentang sosok kepahlawanan dan kepemimpinan beliau dan berbagai hubungan antara kelompok patron politik pada masa revolusi. Lebih lanjut tentunya sosok Jenderal Soedirman bukanlah sosok yang akan berkepentingan dengan narasi ulang dari perjalananya, karena beliau tokoh yang sudah wafat, dan orang bebas melakukan intepretasi ulang secara subjektif dengan narasumber sekunder, di luar beliau. Sayang sekali hal ini juga berlaku untuk pelaku lain dari kejadian sejarah tersebut, seperti Tan Malaka, atau Soekarno. Maka tokoh-tokoh tersebut dengan bebas bisa diintepretasikan tanpa konfirmasi pula pada yang bersangkutan. Dan wajib dipahami bahwa tokoh-tokoh tersebut merupakan patron politik yang kuat dengan kumpulan pendukungnya tersendiri. Sebagian orang akan menganggap film sejarah bebas intepretasi dalam artian ini versi tersendiri dari kelompok sejarawan atau masyarakat politis tertentu. Dan yang menjadi garis besar adalah bahwa ingatan akan peristiwa tersebut adalah sudut pandang tertentu dari salah satu pihak saja. Dan wajib pula dipahami sebaliknya jikalau pihak penutur ulang atau narasi ulang menyatakan kebenaran adalah subjektif dari mereka, maka sejalan dengan itu kebenaran bukan mutlak dengan versi mereka. Dengan sedikit bercanda selama mereka belum memenangkan kekuasaan dan sejarah menjadi sejarah pemenangan dan kemenangan dari kelompok penguasa itu. Maka secara alamiah selama mereka belum berkuasa maka sejarah bisa kembali diperdebatkan dan ditulis ulang kapanpun, dan sejarah menjadi mahluk yang selayaknya mahluk hidup tumbuh berkembang dari kenakalan dan asupan gizi dari berbagai sumber menjadi sejarah yang 4 sehat 5 sempurna. Karena sempurna hanya menjadi milik sejarah Tuhan. Tidak diperdebatkan dan tidak didefinisi ulang. Seperti halnya dalam agama yang bisa diintepretasikan hanyalah hukum idiologi dan adat istiadat yang terpengaruh oleh ingatan yang telah mengakar kuat tak terbantahkan itu. Maka sebelum sejarah akan masa lampau yang berusaha untuk dinarasikan ulang kembali tentang tokoh pahlawan bangsa yang digambarkan saling bertentangan dan saling berkhianat menjadi kebenaran mutlak layaknya Tuhan. Mari kita kembali ke masa lalu seperti halnya Badu kecil. Mari kita rekonstruksi kembali kenakalan si Badu kecil dan kelompok bermainnya, siapa saja yang terlibat, dan kenapa ketika si Badu kecil dijewer dan hukum, kenapa teman teman lainnya tidak terkena atau tidak dinarasikan, bukankah mereka juga ikut bermain dan memancing di air sungai yang keruh itu, atau mereka sudah sadar dan kabur duluan sebelum hujan dan para penjewer tiba.

Pesan moral: Jadilah anak baik dalam Sejarah, supaya bapak ibu ikut senang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun