Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Lainnya - Communicating Life

pelayan masyarakat selama lebih dari 20 tahun and keep counting, belajar ilmu komunikasi sejak lahir.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Dua Puluh Tiga Tahun Lalu, Bayar Berapa Jadi PNS?

22 Oktober 2024   11:26 Diperbarui: 24 Oktober 2024   18:17 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PNS (Kompas.id/SUPRIYANTO)

Telah 23 (dua puluh tiga) tahun berlalu, entah tulisan ini masih relevan atau tidak untuk dituliskan lagi hari ini. Akibat terpapar konten dari akun media sosial Badan Kepegawaian Negara (BKN) tempo hari, maka sontak pikiran saya mundur ke masa kurang lebih 20 (dua puluh)-an tahun lalu.

Saat itu dengan perasaan 'sangat biasa', saya melakukan pemberkasan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) di salah satu pemerintah provinsi yang baru saja terbentuk. Saat saya dinyatakan diterima pun, perasaan saya 'sangat biasa'. 

Saat itu, bagi saya, bukan hal istimewa dapat lolos menjadi CPNSD. Mengapa?. Karena saat mengerjakan tes tahap 1 (satu) saya merasa sangat bisa mengerjakannya. 

Bagi saya yang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) saja lolos, maka soal-soal pada tes tahap I CPNSD tidak sampai 50% saja tingkat kesulitannya.

In Syaa Allah bukan sombong, dan bukan merasa pintar, karena untuk lolos UMPTN, saya bahkan perlu mengulang di tahun ke-2 dan belajar hingga dini hari setiap harinya.

Begitupun saat akan tes CPNSD, saya yang saat itu sebetulnya enggan jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetap belajar untuk mempersiapkannya. Bagi saya, pada setiap 'pertempuran' maka wajib dipersiapkan.

 Saya baca peraturan perundangan terutama yang terkait dengan pembentukan provinsi baru ini. Saya lalap semua bacaan tentang pemerintahan. Saya sikat lagi semua latihan soal UMPTN karena tidak pernah tahu ternyata ada juga buku Kumpulan Soal Tes CPNS.

Teringat saat itu di dalam bis yang membawa saya ke Kota Serang (saat itu masih Kabupaten Serang), di keremangan lampu bis karena hari telah beranjak malam, saya tekun mempelajari pasal demi pasal undang-undang pembentukan provinsi tersebut, karena bagian itulah yang tersulit bagi saya.

Oya, saya lupa sebutkan apa sih konten pada media sosial BKN yang bikin saya jadi pengen menulis ini?. Kurang lebih isinya begini: Capek-capek lolos ADM, SKD dan SKB ehh pas lulus CPNS malah ditanyain "bayar berapa?".

Belakangan saya baru tahu ternyata jadi PNS adalah idaman banyak orang. Saya yang punya bapak PNS tak pernah terpapar informasi tersebut. Bahkan tak pernah sekalipun saat di rumah, orang tua saya menyarankan saya untuk jadi PNS selepas lulus kuliah.

Ide menjadi PNS datang dari calon suami saya saat itu. Dia yang asli orang Serang kasih kabar bahwa provinsi baru telah terbentuk dan jika memang kita akan serius ke jenjang berikutnya maka dia yang telah lebih dulu bekerja di Serang berharap saya bisa bekerja di sana juga.

Saat itu, saya sudah bekerja di sebuah perusahaan Bandung, dan boss saya orang Australia. Sambil nyolong-nyolong cuti, saya juga melakukan rangkaian proses rekrutmen di salah satu perusahaan media ternama di ibukota, idaman para lulusan ilmu komunikasi se Indonesia.

Sungguh, tak pernah saya bayangkan menjadi PNS. Yang ada di benak saya adalah menjadi wanita karir di Jakarta, bekerja di perusahaan media, bahkan menjadi wartawan di sana.

Takdir berkata lain, saya menjadi PNS di daerah lalu menikah, dan tak terasa telah 23 (dua puluh tiga) tahun karir ini saya jalani.

Di awal-awal jadi PNS, memang tak ada yang secara eksplisit menanyai saya; "Bayar berapa?".

Entah sungkan, entah tak yakin juga saya punya uang untuk bayar atau malah bingung siapa kira-kira pejabat yang menitipkan karena saya relatif tak punya kerabat di sana. 

Lebih sering saya mendengar dalam obrolan-obrolan warung kopi, atau tulisan-tulisan di koran lokal yang menyatakan proses rekrutmen CPNSD penuh dengan tipu muslihat. Semua yang lolos adalah titipan pejabat.

Darah muda saya yang masih mendidih, ditambah hobi saya menulis, membuat saya tak tinggal diam atas tulisan-tulisan di media lokal tersebut. 

Pada suatu kolom 'Surat Pembaca' di salah satu media lokal ternama, dengan lugas seorang pembaca menulis bahwa 99,99% CPNSD yang lolos rekrutmen tahun itu adalah orang-orang titipan.

Hari itu juga, saya tulis tanggapan atas surat pembaca tersebut, kurang lebih isinya: "Jika Saudara dapat membuktikan bahwa 99.99% CPNSD yang lolos rekrutmen Adalah orang-orang titipan, maka saya bersedia saat ini juga melepaskan status CPNS saya".

Teringat saat itu suami dengan mengendarai sepeda motor honda win andalannya saya tugasi mengantarkan surat dimaksud ke kantor pos di daerah Alun-Alun Kota Serang, agar bisa segera sampai di redaksi koran tersebut.

Besoknya tanggapan saya dimuat di rubrik Surat Pembaca. Tak dinyana, esok harinya lagi, si penulis surat kembali membalas tanggapan saya. Isinya kurang lebih "Jika Anda lolos murni, berarti Anda beruntung menjadi 0.01% tersebut". 

Tak terima dianggap sekedar 'beruntung', saya balas lagi pernyataannya, begitu seterusnya hingga kurang lebih 3 kali berbalas statement di Rubrik Surat Pembaca.

Saya harus menghentikan meladeni saat pimpinan saya di kantor mengingatkan saya untuk berhenti. Teringat saat itu ucapannya: "Sudah Ik. Jangan buang-buang energi Kamu". Akhirnya saya menurut.

Tes pada masa itu mungkin memang tidak sesulit sekarang. Soal-soalnya mungkin memang tidak serumit saat ini, dan tahapannya pun mungkin tak semelelahkan itu. Namun, pada masanya, saya kira tes tulis pada tahap I dan tes psikologi pada tahap II (seharusnya) lumayan cukup mampu menjaring orang-orang terbaik.

Dan saya, saat itu, merasa layak menjadi yang terbaik.

Namun, dalam perjalanannya... Ah tapi sudahlah, saya berusaha tetap jadi baik. Saya tak pernah bertemu dengan yang namanya calo jabatan, saya selesaikan pekerjaan sesuai norma, saya jalani karir PNS seprofesional yang saya bisa. 

Apalagi jika ingat bahwa kami diamanahi untuk mengurus rakyat. Dibayar dari pajak rakyat. Dan kelak dimintai pertanggungan jawab. Wallahualam Bissawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun