Besoknya tanggapan saya dimuat di rubrik Surat Pembaca. Tak dinyana, esok harinya lagi, si penulis surat kembali membalas tanggapan saya. Isinya kurang lebih "Jika Anda lolos murni, berarti Anda beruntung menjadi 0.01% tersebut".Â
Tak terima dianggap sekedar 'beruntung', saya balas lagi pernyataannya, begitu seterusnya hingga kurang lebih 3 kali berbalas statement di Rubrik Surat Pembaca.
Saya harus menghentikan meladeni saat pimpinan saya di kantor mengingatkan saya untuk berhenti. Teringat saat itu ucapannya: "Sudah Ik. Jangan buang-buang energi Kamu". Akhirnya saya menurut.
Tes pada masa itu mungkin memang tidak sesulit sekarang. Soal-soalnya mungkin memang tidak serumit saat ini, dan tahapannya pun mungkin tak semelelahkan itu. Namun, pada masanya, saya kira tes tulis pada tahap I dan tes psikologi pada tahap II (seharusnya) lumayan cukup mampu menjaring orang-orang terbaik.
Dan saya, saat itu, merasa layak menjadi yang terbaik.
Namun, dalam perjalanannya... Ah tapi sudahlah, saya berusaha tetap jadi baik. Saya tak pernah bertemu dengan yang namanya calo jabatan, saya selesaikan pekerjaan sesuai norma, saya jalani karir PNS seprofesional yang saya bisa.Â
Apalagi jika ingat bahwa kami diamanahi untuk mengurus rakyat. Dibayar dari pajak rakyat. Dan kelak dimintai pertanggungan jawab. Wallahualam Bissawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H