Saya mungkin orang terakhir yang pada akhirnya percaya bahwa TBC merupakan penyakit menular paling mematikan kedua setelah COVID-19 berdasarkan pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022.
Teringat saat masih usia SD, setiap hari raya saya dibawa orang tua mudik ke kampung halaman bapak saya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat sana. Kami biasanya menginap di rumah salah seorang kerabat bapak, secara bergilir setiap tahunnya.Â
Misal lebaran tahun ini yang ingin ditempati rumah uwak anu, tahun kemarin bibik anu, tahun depan biasanya sudah disiapkan dari awal tahun bahwa kami akan diterima di rumah sepupu bapak, begitu seterusnya, hingga seluruh kerabat harus kebagian. Â Namun ada 1 (satu) rumah yang tidak pernah jadi tempat menginap kami selama di kampung.
Saat itu alasannya karena uwak laki-lakinya mengidap TBC. Dikhawatirkan akan menularkan pada tamu, maka tak ada seorangpun yang diperkenankan menginap di sana. Sehari-hari uwak ditemani istrinya dan kebetulan tidak dikaruniai keturunan.Â
Bapak saya sering bilang bahwa kakaknya (istri dari uwak yang mengidap TBC) adalah perempuan terkuat yang pernah ada karena bisa bertahan mendampingi suaminya yang mengidap TBC tanpa tertular.
Pada usia 70 (tujuh puluh) tahun, uwak laki-laki meninggal dunia, namun istrinya, uwak perempuan saya, bertahan hingga 10 (sepuluh) tahun kemudian dan meninggal tanpa pernah terdeteksi TBC.
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam paru-paru dan mengakibatkan pengidapnya mengalami sesak napas disertai batuk kronis.
Banyak yang keliru karena mengatakan batuk dan TBC adalah penyakit yang sama. Meski sama-sama penyakit batuk, keduanya memiliki perbedaan jauh. TBC (tuberkulosis) adalah penyakit menular dan mematikan dengan tingkat pasien tinggi dan merupakan salah satu penyakit infeksi pada paru yang penularannya disebabkan oleh droplet atau percikan ludah.Â
Walau paling sering menyerang paru-paru, penyakit ini juga dapat menyerang kelenjar getah bening, talang belakang, rahim, jantung, sistem saraf pusat dan otak.
Penularannya yang cepat melalui udara membuat kita harus waspada karena penyakit ini termasuk mematikan apabila tidak ada pengobatan yang tepat dan cepat. Masa pengobatannya pun lumayan lama dan harus konsisten.
Siapakah  yang paling berisiko terkena penyakit TBC?. Mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh rendah akibat kondisi medis tertentu menjadi salah satu kelompok yang paling berisiko mengidap TBC. Contohnya seperti pengidap diabetes, gangguan ginjal, pengidap kanker, HIV, hingga orang-orang yang mengalami malnutrisi.
Apakah pengidap TBC bisa sembuh?. Berdasarkan data, angka keberhasilan pengobatan TBC pada tahun 2022 baru mencapai 74% sedangkan targetnya adalah 90%. Angka keberhasilan atau success rate adalah jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan. Namun demikian TBC dapat disembuhkan dengan menjalani pengobatan yang tepat dan sesuai aturan yang diberikan dokter. Masa pengobatan penyakit ini berlangsung selama 6-12 bulan dan harus rutin mengkonsumsi obat TBC serta tidak boleh berhenti walau seharipun.
Berdasarkan Global TB Report Tahun 2023, Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah beban kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh Cina. Hal ini lah yang membuat warga dunia merasa perlu menaruh perhatian lebih pada Indonesia sehingga melalui The Global Fund to fight AIDS, Tuberculosis (TBC), & Malaria (GFATM), Â Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima dukungan GFATM untuk mencapai target pada 2030.
GFATM telah menyepakati dukungan dana hibah kepada Indonesia dengan total dana hibah  309 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 4,6 triliun untuk periode anggaran 2024-2026. Kegiatan peluncuran dana hibah tersebut dilaksanakan di Auditorium dr. Herman Susilo Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan, Hang Jebat, Jakarta pada Bulan Januari lalu. Secara terperinci, komponen TBC sebesar USD 126 juta setara 2,3 triliun rupiah.
Indonesia sendiri telah menetapkan 6 (enam) strategi pencegahan tuberkulosis di Indonesia tahun 2020-2024 untuk mencapai eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030. Namun, pandemi COVID-19 telah menghambat penerapan strategi tersebut. Oleh karena itu, untuk terus mengejar pencapaian target eliminasi penurunan insiden tuberkulosis hingga 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030, diperlukan strategi percepatan.
Sementara enam strategi masih relevan, ada kebutuhan untuk intervensi dan kegiatan utama yang ditekankan untuk meningkatkan implementasi strategi tersebut dengan merevisi strategi nasional penanggulangan tuberkulosis 2020-2024 dan mengembangkan rencana interim untuk 2025-2026, dengan melakukan intervensi.
Intervensi tersebut antara lain: Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis tahun 2030, Peningkatan akses terhadap layanan tuberkulosis bermutu dan berpihak pada pasien, Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan tuberculosis serta pengendalian infeksi, Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan tatalaksana tuberkulosis dan Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisector lainnya dalam eliminasi tuberkulosis serta yang terakhir adalah Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.
Di daerah, pemerintahnya didorong untuk segera melakukan langkah-langkah strategis antara lain dengan membentuk Tim Percepatan Eliminasi Tuberkolosis.Â
Hal ini biasanya tertuang dalam keputusan kepala daerah yang memuat tugas dan kewajiban masing-masing perangkat daerah ataupun stakeholder lengkap dengan target yang harus dicapainya.
Selanjutnya tim tersebut wajib menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) berdasarkan Strategi Nasional yang dibreakdown lebih rinci sehingga terpetakan siapa berperan sebagai apa.
Bagi perangkat daerah yang memiliki fungsi mengelola informasi dan komunikasi publik, peran pada RAD penanggulangan TBC ini lebih banyak berkutat pada promosi pencegahan.
 Misal pada Strategi 1 yakni Penguatan Komitmen dan Kepemimpinan Pemerintah Provinsi untuk Mendukung Percepatan Eliminasi Tuberkulosis 2030, aktivitasnya antara lain memperkuat koordinasi dan kolaborasi di daerah dan pemerintah desa, komunitas, stakeholder dan multi sektor untuk penanggulangan tuberkulosis. Dengan sub aktivitas menyebarluaskan informasi terkait pencegahan dan penanggulangan tuberkulosis.
Hal ini dilakukan dengan cara menayangkan advertorial yang dikemas menarik baik di media radio dan media online yang bekerjasama dengan dinas, Â memproduksi, mengemas ulang, dan menyebarluaskan konten-konten terkait TBC melalui media sosial, juga dengan memproduksi talkshow yang disebarluaskan melalui berbagai media sosial.
Sedangkan materi konten tentu saja harus berasal dari dinas terkait atau stakeholders yang memang menangani TBC secara teknis.
Selain itu aktivitas yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan teknologi baru dalam pemantauan pengobatan Tuberkulosis dengan cara melakukan sosialisasi aplikasi pemantauan kepatuhan pengobatan seperti menggunakan video call, rekaman video. dan menyebarluaskan layanan tersebut melalui media sosial
Pada Strategi 5 yakni Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan Tuberkulosis, dapat dilakukan melalui keterlibatan media massa untuk advokasi, mobilisasi sumber daya lokal untuk pengendalian tuberkulosis. Aksi nyatanya yaitu melakukan inisiasi kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) untuk imbauan penyebarluasan informasi terkait TB ke media penyiaran (Televisi dan Radio).
Peran Komunitas Informasi Masyarakat (KIM) di seluruh kabupaten dan kota juga dapat dioptimalkan dengan menyebarluaskan informasi tentang TB melalui pertemuan-pertemuan yang digelar berkala tentunya berkoordinasi dengan  dinas terkait di kabupaten dan kota. Harapannya para aktivis KIM ini dapat menyebarluaskannya kembali ke masyarakat binaannya.
Berbagai upaya yang tersusun dalam Strategi Nasional maupun RAD memang sangat rinci dan terukur, dengan melibatkan banyak stakeholders karena memang TBC tidak dapat ditangani seorang diri.
Dari sini saya makin sadar bahwa mengurus masyarakat harus serius, penuh komitmen, dan tentunya dengan kesadaran penuh bahwa segala yang dilakukan ini selain akan dipertanggungjawabkan di dunia melalui surat pertanggungjawaban (SPJ) ini itu, juga akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Wallahualam Bissawab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI