Mohon tunggu...
Ika NurFitriana
Ika NurFitriana Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Mahasiswa UIN MALANG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Udah Gede Kok Masih Demen Main?

26 November 2022   21:06 Diperbarui: 26 November 2022   21:35 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: orami.co.id

"Udah gede kok yang dipikirin mainan aja" Kalimat itu seringkali dilontarkan oleh ibu pada adikku yang sedang duduk di bangku SD ketika disuruh tidur atau belajar tapi tidak mau karena masih mau main.

Perkara bermain ternyata tidak hanya dieluhkan oleh seorang ibu, namun juga dieluhkan oleh guru terhadap siswa yang tidak jarang mengabaikan penjelasan gurunya dan justru memilih bermain bersama teman-temannya sehingga membuat ramai kelas dan mengganggu beberapa anak yang fokus belajar.

Begitupun saya, saya juga pernah dibuat marah oleh segerombolan anak kecil di rumah yang tiba-tiba ramai karena bernyanyi sambil menabu kaleng di siang hari, dimana pada waktu siang hari tentunya waktu bagi orang-orang untuk istirahat dan peluang bagi saya untuk mengerjakan tugas kuliah. 

Siapa yang tidak marah jika kita sudah bertekad untuk menyelesaikan tugas namun ditengah itu semua menjadi berantakan karena idenya hilang sesudah mendengar sebuah kebisingan. Adakah teman-teman yang demikian?

Tidak bisa dipungkiri bahwa permainan tidak hanya digandrungi oleh anak-anak saja. Namun remaja dan dewasa juga menggandrungi sebuah permainan. Entah itu permainan nyata, ilusi, atau teka-teki tetap saja judulnya adalah permainan. Seperti halnya ilmuwan dengan rumusnya, wali kota dengan sistem pemerintahannya, dan pebisnis dengan iklannya. 

Yah, bahkan orang mabuk sekalipun masih bisa melakukan permainan judinya. Apakah kita masih berpikir bahwa permainan hanya dilakukan bocah saja?

Ada dua permainan yang seringkali dilakukan oleh anak-anak dan paling menonjol, yaitu bermain sendiri dan bermain bersama temannya. Mana yang lebih baik? Tentu keduanya sama-sama baik karena keduanya sama-sama dapat mengoptimalkan aspek perkembangan anak.

Bermain sendiri dapat mendukung anak untuk memainkan perannya bahkan lebih dari satu. Seperti ketika anak berimajinasi untuk membangun rumah sakit, maka anak akan berpura-pura untuk menjadi dokter, perawat, dan pasien sekaligus.

Dan ini juga membantu mengembangkan imajinasinya untuk menggunakan alat-alat rumah yang seadanya menjadi alat rumah sakit seperti anak menggunakan benda yang panjang dan runcing seperti sumpit, bolpoint, atau pensil untuk dijadikan suntik. Selain dapat mengembangkan imajinasinya, bermain sendiri juga dapat menumbuhkan sikap mandiri kepada anak.

Bermain sendiri cenderung lebih sering dilakukan oleh anak perempuan, sedangkan bermain bersama teman cenderung lebih sering dilakukan oleh anak laki-laki yang lebih suka bermain aktif seperti sepak bola dan kejar-kejaran. Interaksi dengan teman sebaya sejak dini memainkan peran positif karena dapat memungkinkan anak untuk memahami sudut pandang dari orang yang berbeda-beda. 

Adanya konflik dalam hubungan memberikan pelajaran bagi anak tentang konsekuensi dari suatu tindakan. Pengalaman inilah yang akan diingat anak sebagai objek pengamat bagi mereka sendiri.

Persahabatan biasanya didefinisikan sebagai saling menguntungkan karena adanya hubungan timbal balik dari kedua belah pihak atau lebih. Sama seperti pengasuhan yang berkualitas tinggi, persahabatan yang berkualitas tinggi juga dapat memberikan dukungan sosial untuk mengembangkan konsep keadilan, empati, dan kesetaraan.

Orang yang memiliki persahabatan berkualitas tinggi akan lebih sedikit mengalami kekerasan dalam hubungan di masa remaja, baik dalam hubungan pertemanan atau percintaan.

Anak-anak dengan kualitas pertemanan yang tinggi ditandai dengan rendahnya tingkat konflik dan tingginya tingkat permainan imajinatif bersama. Dan anak-anak yang memiliki banyak teman cenderung minim memiliki risiko korban bulliying. Yah kasus bulliying sampai saat ini masih belum menemukan titik terangnya.

Dalam beberapa kasus yang saya lihat di lingkungan yang saya jumpai, anak yang menjadi korban bulliying adalah anak yang dianggap dan terlihat aneh serta anak kurang dalam hal bersosialisasi. Sedangkan pada usia sekolah anak itu cenderung menjaga citra baiknya dan memamerkan kehebatannya. Sehingga adanya anak yang dianggap aneh akan menjadi peluang bagi pembully untuk bisa meningkatkan citranya.

Mengapa kalau punya teman lebih aman dari kasus bulliying? Karena anak sekolah cenderung akan membentuk sircle. Dan dalam kasus pertengkaran, anak akan mengajak kelompoknya untuk beradu. Jika tidak ada teman, maka itu akan menjadi peluang empuk untuk dijadikan bahan leluconan. 

Dengan begitu, istilah teman menghancurkan benar adanya. Oleh sebab itu pandai-pandailah memilih teman dan lingkungan serta kuatkan iman. Istilah tidak boleh membeda-bedakan teman memang benar adanya mengingat waga indonesia juga beragam macamya, baik dari ras, suku, agama, dan daerah. Namun sebagai teman, jika kita tidak bisa merubahnya menjadi lebih baik setidaknya jangan ikut terjerumus kedalam kehancurannya.  

Jean Piaget memandang bahwa bermain merupakan bagian lengkap dari perkembangan kecerdasan anak. Teori bermainnya berpendapat bahwa saat anak tumbuh dewasa, lingkungan dan permainan mereka harus mendorong perkembangan kognitif dan bahasanya lebih lanjut. Berikut adalah 4 tahap bermain menurut Jean Piaget:

  • Main Fungsional, Jenis permainan ini terjadi pada usia 0 -- 2 tahun dan akan berakhir pada usia sekitar 2-- 4 tahun. Anak mengeksplorasi objek di sekelilingnya menggunakan inderanya. Jenis permainan ini lazim terjadi pada tahap sensorimotor sehingga anak-anak menyukai aktivitas bermain dengan sensor motoriknya seperti, suka memasukkan benda ke mulut.
  • Main Konstruktif / Pembangunan, Jenis permainan ini terjadi pada usia 3 -- 7 tahun. Anak mulai menggunakan suatu benda untuk mencapai tujuan, seperti balok, anak tidak lagi melemparnya namun anak mulai menumpuk dan membangun balok tersebut.
  • Main Simbolik / Fantasi, Jenis permainan ini dapat dimulai sekitar usia 3 -- 4 tahun dan berlangsung hingga usia 11 / 12 tahun. Imajinasi anak pada tahap ini berkembang dengan pesat sehingga anak pandai bermain pura-pura dan memainkan perannya seperti pura-pura menjadi tukang cukur rambut dan pura-pura menggunakan tangannya untuk dijadikan gunting guna merapikan rambut bonekanya. Jenis permainan ini juga lazim terjadi pada tahap pra operasional dimana anak mulai banyak berbicara, oleh sebab itu jangan heran jika melihat anak yang suka bermain sambil mengoceh sendiri.
  • Main aturan, jenis permainan ini biasanya dimulai sekitar usia 7 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Jenis permainan yang disukai oleh anak-anak pada usia ini adalah permainan yang ada aturan, strategi, dan konsekuensinya seperti permainan petak umpet dan grobak sodor. Permainan ini mengasah pemikiran anak agar dapat bermain secara bijak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun