Adanya konflik dalam hubungan memberikan pelajaran bagi anak tentang konsekuensi dari suatu tindakan. Pengalaman inilah yang akan diingat anak sebagai objek pengamat bagi mereka sendiri.
Persahabatan biasanya didefinisikan sebagai saling menguntungkan karena adanya hubungan timbal balik dari kedua belah pihak atau lebih. Sama seperti pengasuhan yang berkualitas tinggi, persahabatan yang berkualitas tinggi juga dapat memberikan dukungan sosial untuk mengembangkan konsep keadilan, empati, dan kesetaraan.
Orang yang memiliki persahabatan berkualitas tinggi akan lebih sedikit mengalami kekerasan dalam hubungan di masa remaja, baik dalam hubungan pertemanan atau percintaan.
Anak-anak dengan kualitas pertemanan yang tinggi ditandai dengan rendahnya tingkat konflik dan tingginya tingkat permainan imajinatif bersama. Dan anak-anak yang memiliki banyak teman cenderung minim memiliki risiko korban bulliying. Yah kasus bulliying sampai saat ini masih belum menemukan titik terangnya.
Dalam beberapa kasus yang saya lihat di lingkungan yang saya jumpai, anak yang menjadi korban bulliying adalah anak yang dianggap dan terlihat aneh serta anak kurang dalam hal bersosialisasi. Sedangkan pada usia sekolah anak itu cenderung menjaga citra baiknya dan memamerkan kehebatannya. Sehingga adanya anak yang dianggap aneh akan menjadi peluang bagi pembully untuk bisa meningkatkan citranya.
Mengapa kalau punya teman lebih aman dari kasus bulliying? Karena anak sekolah cenderung akan membentuk sircle. Dan dalam kasus pertengkaran, anak akan mengajak kelompoknya untuk beradu. Jika tidak ada teman, maka itu akan menjadi peluang empuk untuk dijadikan bahan leluconan.Â
Dengan begitu, istilah teman menghancurkan benar adanya. Oleh sebab itu pandai-pandailah memilih teman dan lingkungan serta kuatkan iman. Istilah tidak boleh membeda-bedakan teman memang benar adanya mengingat waga indonesia juga beragam macamya, baik dari ras, suku, agama, dan daerah. Namun sebagai teman, jika kita tidak bisa merubahnya menjadi lebih baik setidaknya jangan ikut terjerumus kedalam kehancurannya. Â
Jean Piaget memandang bahwa bermain merupakan bagian lengkap dari perkembangan kecerdasan anak. Teori bermainnya berpendapat bahwa saat anak tumbuh dewasa, lingkungan dan permainan mereka harus mendorong perkembangan kognitif dan bahasanya lebih lanjut. Berikut adalah 4Â tahap bermain menurut Jean Piaget:
- Main Fungsional, Jenis permainan ini terjadi pada usia 0 -- 2 tahun dan akan berakhir pada usia sekitar 2-- 4 tahun. Anak mengeksplorasi objek di sekelilingnya menggunakan inderanya. Jenis permainan ini lazim terjadi pada tahap sensorimotor sehingga anak-anak menyukai aktivitas bermain dengan sensor motoriknya seperti, suka memasukkan benda ke mulut.
- Main Konstruktif / Pembangunan, Jenis permainan ini terjadi pada usia 3 -- 7 tahun. Anak mulai menggunakan suatu benda untuk mencapai tujuan, seperti balok, anak tidak lagi melemparnya namun anak mulai menumpuk dan membangun balok tersebut.
- Main Simbolik / Fantasi, Jenis permainan ini dapat dimulai sekitar usia 3 -- 4 tahun dan berlangsung hingga usia 11 / 12 tahun. Imajinasi anak pada tahap ini berkembang dengan pesat sehingga anak pandai bermain pura-pura dan memainkan perannya seperti pura-pura menjadi tukang cukur rambut dan pura-pura menggunakan tangannya untuk dijadikan gunting guna merapikan rambut bonekanya. Jenis permainan ini juga lazim terjadi pada tahap pra operasional dimana anak mulai banyak berbicara, oleh sebab itu jangan heran jika melihat anak yang suka bermain sambil mengoceh sendiri.
- Main aturan, jenis permainan ini biasanya dimulai sekitar usia 7 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Jenis permainan yang disukai oleh anak-anak pada usia ini adalah permainan yang ada aturan, strategi, dan konsekuensinya seperti permainan petak umpet dan grobak sodor. Permainan ini mengasah pemikiran anak agar dapat bermain secara bijak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H