Mohon tunggu...
ijul35
ijul35 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia-Malaysia: Memandang Indonesia dari Seberang, Ternyata Kita Tidaklah Begitu Berbeda

3 September 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu kita punya Mochtar Kusumaatmadja, kita punya Ali Alatas, kita punya orang-orang lain yang betul-betul berjuang di forum-forum internasional. Sekarang, hampir tak terdengar kabar-kabar semacam itu. Bahkan di tingkat ASEAN pun seolah kita tak lagi didengarkan, sedangkan dahulu kita adalah termasuk yang memimpin. Seorang atase di salah satu kedutaan Indonesia di Eropa yang saya sempat kenal dicemooh orang di belakangnya dan belakangan saya dengar tersangkut kasus korupsi. Seorang kawan yang sedang magang di markas PBB di Wina bercerita bahwa pada saat ada kunjungan rombongan menteri yang juga membawa wakil parlemen di rapat tingkat dunia di PBB, mereka malah asik pelesir dan berbelanja dan terpaksa teman saya ini yang mengerjakan segala sesuatunya, sedangkan orang-orang yang datang ke sana dengan uang rakyat dan harusnya bekerja justru tak paham substansi. Dan masih banyak kasus-kasus serupa yang saya dengar. Saya yakin, sangat banyak diplomat kita yang mumpuni, namun ternyata banyak juga diplomat kita (dan non diplomat yang namun karena tuntutan pekerjaan harus mampu berbicara di forum internasional) yang kurang berkualitas dan, yang terparah, tidak memahami substansi permasalahan yang sedang dibahas.

Kebetulan saya sempat bertemu dengan sekelompok mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dari sebuah universitas swasta terpandang di Jakarta. Sebagian dari mereka membuat saya kagum dan penuh harap akan masa depan diplomasi Indonesia. Tapi sebagian lainnya, bisa dikatakan, menyedihkan. Satu hal saja, soal kendala bahasa. Baiklah, memang tidak ada yang mewajibkan bahwa dalam hidup kita ini kita harus mampu berbahasa Inggris. Tapi hadapi kenyataan, bahwa jika Anda berminat menjadi diplomat, setidak-tidaknya salah satu bahasa internasional atau bahasa resmi PBB haruslah Anda kuasai. Bagaimana Anda mampu berkomunikasi di tingkat internasional tanpa menguasai sebuah bahasa internasional secara baik? Hal lainnya, soal wawasan yang sangat sempit. Satu hal tentang menjadi mahasiswa, dari jurusan apapun, adalah: buka wawasan Anda seluas-luasnya. Banyaklah membaca, berdiskusi dan (sebaiknya) juga menulis. Nah, bagaimana mereka mampu menulis dengan baik jika bahasa Indonesia dan ejaan mereka saja masih amburadul? (Saya tidak mengatakan bahasa Indonesia saya sudah paling baik, tapi paling tidak saya berusaha) Ditambah, mahasiswa jaman sekarang banyak yang sangat malas menulis karya asli. Berbahasa alay boleh saja, karena toh setiap generasi punya bahasanya sendiri, namun jangan lupakan bahasa Indonesia.

Ini membuat saya sekilas teringat masa Suharto (saya belum lahir pada masa Sukarno). Terlepas dari segala dosa dan kesalahan yang dilakukannya terutama sistem korup yang ditanamkannya (yang bisa dibaca dalam berbagai tulisan dan buku), saya pikir persatuan dan kesatuan Indonesia semakin dikukuhkan dalam masa pemerintahannya. Dari Sabang sampai Merauke kita bisa menemukan orang berbahasa Indonesia, dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri. Tapi, baiklah, cukup mengenai Suharto. Yang saya ingin tekankan adalah bahwa kita punya satu bahasa yang memang terbukti telah mempersatukan kita, alangkah sayangnya jika generasi sekarang kurang memahami dan kurang menggunakannya dengan baik. Tapi, lagi-lagi saya melenceng dari sub topik semula.

Kembali soal diplomasi, kita memang perlu lebih tegas dalam sikap kita menyuarakan aspirasi rakyat dan bangsa ini di forum Internasional. Kalau memang ada kemarahan rakyat kepada pemerintahan negara lain, ungkapkanlah dengan penuh ketegasan, dengan bahasa yang baik, dengan cara yang elegan. Pemerintah Malaysia saja mampu mengeluarkan pernyataan "mengutuk tindakan pelemparan najis di kedutaan besar Malaysia di Jakarta", mengapa pemerintah kita tidak mampu mengeluarkan pernyataan "mengutuk (condemning)" atas berbagai penganiayaaan terhadap pekerja kita di Malaysia, atau keberatan terhadap perlakuan Malaysia terhadap staf dari DKP, misalnya? Tentunya jika memang telah jelas dan benar terdapat bukti-bukti yang melecehkan harga diri kita tanpa alasan yang sepatutnya. Atau memang kita tidak punya kemampuan untuk itu, dari segi mental dan kecakapan? Bagaimana dengan sengketa perbatasan lainnya? Setahu saya titik-titik perbatasan dengan Timor Leste sudah ada beberapa ratus yang disepakati. Sebagian lain masih dibahas. Baiklah perbatasan darat dan laut Indonesia dengan Timor Leste memang tidak sepanjang perbatasan darat dan laut Indonesia dengan Malaysia. Tapi Timor Leste baru terbentuk sekitar 10 tahun yang lalu sedangkan Malaysia sudah 53 tahun yang lalu. Mengapa pemerintahan kita selama 53 tahun terakhir tidak memfokuskan diri pada kesepakatan batas wilayah dengan Malaysia, terutama yang berpotensi konflik? Saya pernah mendengar selentingan dari kawan di Kalimantan bahwa tiap tahun patok-patok perbatasan kita mundur ke dalam, artinya wilayah kita semakin kecil dan wilayah Malaysia semakin luas. Saya yakin semestinya sudah ada bagian di Kemenlu yang khusus bekerja menangani masalah perbatasan ini, tapi saya belum sempat mendapat informasi lebih jauh.

Tapi mengapa pula selalu Malaysia?

Mengapa kita seolah selalu berseteru dengan Malaysia? Padahal kita seharusnya menjadi kawan yang sangat erat dengan Malaysia? Dengan berbagai potensi yang dimiliki kedua negara, semestinya kita dapat bersekutu dengan Malaysia untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan sama-sama bisa memimpin di tingkat Internasional. Kita menuduh Malaysia ini dan itu dan melampiaskan kemarahan dengan cara-cara yang melelahkan kita sendiri. Tidakkah lebih bermanfaat jika energi kita yang banyak itu kita salurkan dengan cara-cara yang efektif untuk mencapai aspirasi kita yang sejati? Dan apa sebenarnya aspirasi kita sebagai manusia? Hidup berbahagia dengan kaum kerabat saudara mara dan hidup damai dengan tetangga. Dapat mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga dengan tenang dan aman. Dapat mengaktualisasikan diri dalam cara-cara yang baik. Lantas, kenapa kita selalu membiarkan diri kita diobrak-abrik di dalam negeri? Dan dikucar-kacirkan dalam hubungan luar negeri?

Lantas, bagaimana dengan Singapura, misalnya? Kerap terdengar selentingan Singapura mengambil pasir dari Indonesia. Apakah memang masalah perbatasan kita dengan Singapura sudah beres? Dengan bertambahnya luas daratan Singapura, bertambah juga luas perairan wilayahnya. Seandainya saja Singapura menambah luas pulaunya, dan seandainya jarak dari titik terluar Singapura dan titik terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura saat ini tidak mencapai 24 mil laut, maka luas perairan teritorial kita semakin berkurang, dan batas wilayah kita semakin mundur. Siapa yang akan memastikan hal ini? Siapa yang dapat memastikan mana titik-titik wilayah Indonesia sebenarnya? Dan jika saat ini DKP tidak bisa memastikan lokasi petugasnya saat itu, bagaimanakah di masa depan? Terlebih jika memang ternyata batas itu belum pernah disepakati? Sedangkan perbatasan laut kita bukan hanya dengan Singapura dan Malaysia, tapi juga dengan negara lain. Pencurian ikan di wilayah teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia saya yakin bukan hanya terjadi di perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia atau dengan Singapura. Justru ZEE kita yang batasnya hingga 200 mil laut itu lebih mungkin diterobos dan dicuri hasil lautnya di wilayah selatan Pulau Jawa-Bali atau barat Pulau Sumatera, atau utara Papua. Tapi siapa yang mau menjaga laut kita di sana? Mungkin berjaga-jaga di selat Malaka lebih besar kemungkinannya untuk menangkap nelayan negara lain yang kemudian kita tuduh mencuri.

Tapi bagaimana mau memastikan dan membuktikan bahwa mereka mencuri? Kalau yang ditangkap adalah nelayan kelas kakap (seperti kita lihat di film Perfect Storm) dengan kapal dan peralatan navigasi lengkap, mungkin bisa dibuktikan bahwa mereka masuk wilayah Indonesia (asal peralatan kita pun sama canggihnya). Kalau yang ditangkap hanya nelayan tradisional yang hasil tangkapannya hanya cukup untuk sehari-hari? Bagaimana membuktikan dia telah masuk wilayah laut Indonesia dengan sengaja dan mengambil ikan Indonesia? Apakah di tengah laut luas ada titik-titik atau pagar yang bisa jadi patokan? Apakah ikan Indonesia jenisnya berbeda dengan ikan Malaysia? Salah seorang sepupu saya adalah seorang nelayan tradisional yang bertiga dengan kawannya menangkap ikan dengan satu perahu tradisional. Bagaimana mereka bisa memastikan wilayah mereka jika sudah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus ke sana-ke mari? Mereka pernah terombang-ambing di Selat Malaka selama tiga hari sebelum akhirnya ditolong sebuah kapal yang lewat yang kebetulan punya peralatan teknologi canggih sehingga bisa mengirim pesan kepada nelayan Indonesia lainnya yang kemudian menolong mereka. Apakah kapal tersebut kapal Malaysia? Wallahualam. Seandainya nelayan seperti sepupu saya yang ditangkap pihak Malaysia karena dituduh mencuri, terus terang saya tak rela. Wong hasil melaut itu tidak pasti, kadang dapat kadang tidak. Kadang hujan atau ombak besar atau badai terpaksa pulang atau tidak berangkat. Hasil, kalaupun ada cukup untuk sekedar menyambung hidup. Namun, apakah nelayan tradisional semacam ini yang ditangkap petugas DKP atau PolAir atau TNI kita? Ataukah nelayan-nelayan yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan ikan besar dengan kapal-kapal ikan besar berpendingin? Pada kenyataannya, insiden DKP tadi berkisar pada ketidakjelasan soal perbatasan, yang artinya berkaitan dengan diplomasi dan perundingan kesepakatan batas wilayah.

Di lain pihak, yang ingin saya garisbawahi di sini adalah sebenarnya Indonesia tidaklah banyak berbeda dengan Malaysia. Kita yang geram dengan kinerja Kepolisian, ternyata di Malaysia pun rakyatnya kurang percaya dengan Polisi mereka. Sehingga ketika kita katakan pada mereka bahwa Polisi mereka menangkap dan kemudian mempermalukan petugas pemerintahan Indonesia dengan memakaikan baju tahanan pada dan memborgol mereka, orang Malaysia yang mendengarnya berseru "but they do the same to us, Malaysian!" (Yang artinya, lha mereka juga gitu kok ama kami, orang Malaysia sendiri!) Waktu saya bilang, "iya, tapi ini kan petugas resmi negara!" Bagaimana pun, perasaan saya tersinggung juga orang pemerintahan kita digituin, tapi ya, oknum ada di mana-mana kan? Termasuk di kepolisian Malaysia. Terus, yang saya heran petugas DKP (omong-omong, statusnya apa ya, saya kok belum dapat info soal ini, apakah PNS, atau CPNS, atau honorer?) kok sama sekali tidak berusaha melawan atau protes? Seorang perempuan aktifis dari Indonesia di atas kapal Mavi Marmara saja mampu memprotes keras petugas imigrasi/polisi Israel saat diminta membubuhkan sidik jarinya untuk pencatatan(meski akhirnya terpaksa menuruti karena lelah dan faktor lain).

Saat kita geram dengan kinerja pemerintahan kita, banyak orang Malaysia pun kecewa dengan bagaimana pemerintahan berjalan. Saat kita sakit hati dengan tingkah laku pejabat kita yang korup, di Malaysia sama saja. Saat kita muak dengan sistem peradilan di Indonesia (mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) di Malaysia pun sama saja. Saat kita bicara korupsi di pemerintahan, mungkin terjadi juga di mana-mana. Tapi, ingat, sekali lagi, suatu pemerintahan cepat atau lambat akan berganti, sedangkan rakyat akan selalu tetap. Dan ternyata rakyat Indonesia dan rakyat Malaysia tidaklah banyak berbeda, bila tidak bisa dibilang persis sama. Terlebih jutaan warga negara Indonesia yang membanting tulang di Malaysia telah pula menjadi bagian dari sekitar 28 juta penduduk Malaysia (data terbaru penduduk Malaysia dapat dilihat di http://www.statistics.gov.my/portal/index.php?option=com_content&view=article&id=54%3Apopulation-updated-31072009&catid=35%3Akey-statistics&Itemid=53&lang=en). Saat kita menghadapi berbagai masalah sosial, rakyat Malaysia pun mengalami berbagai masalah sosial. (Dalam beberapa bulan terakhir yang sedang heboh adalah masalah pembuangan bayi. Begitu banyak bayi-bayi di Malaysia ini yang dibunuh dan dibuang. Sehingga Malaysia pun membuat kampanye untuk menyayangi bayi, di mana Siti Nurhaliza ikut bernyanyi untuk lagu kampanyenya yang sering diputar di televisi. Namun, semalam saya dengar berita, salah seorang pelaku yang tertangkap dan diadili karena membuang dan membunuh seorang bayi di Seremban adalah warga negara Indonesia. :-( ) Saat kita khawatir negara kita menuju kebangkrutan, mereka di Malaysia pun mulai mengkhawatirkan hal yang sama. Ternyata Indonesia dan Malaysia memang tidak banyak berbeda.

Jika pun pemerintah belum mampu melakukan semaksimal yang kita inginkan, di tingkat rakyat kita bisa melakukan sesuatu untuk Indonesia. Jika memang kita ingin mengharumkan nama bangsa dan negara dan meletakkan harkat dan derajat kira di tempat yang dihormati oleh negara dan bangsa lain, mari kita mulai dengan mendidik diri sendiri dan anak-anak kita. Mari mulai dengan menciptakan keluarga yang anti korupsi, mari jadikan keluarga sebagai benteng anti korupsi (families as bastions against corruption). Seandainya setiap keluarga kita sebagai unit terkecil dalam masyarakat mampu menanamkan nilai-nilai anti korupsi, bisa dibayangkan dalam 20-30 tahun ke depan insya Allah korupsi di Indonesia jauh berkurang. Mari didik anak-anak kita dengan kelembutan dan kasih sayang, maka wajah-wajah beringas yang sering kita lihat di layar kaca insya Allah akan berkurang. Mari buat sinetron, film dan lagu yang mendidik (sekedar intermezo, saya rekomendasikan film layar lebar Malaysia berjudul "Duyung" bergenre fantasi dengan paduan komedi dan pesan cinta lingkungannya yang kental) sehingga saat kita ekspor, karya seni kita bisa benar-benar menunjukkan budaya kita yang adi luhung. Marilah kita mulai cek dan ricek atas segala yang kita dengar dan baca, sehingga tidak mudah marah atas sesuatu yang fakta sebenarnya belum utuh kita dapatkan. Mari mulai berteman dengan segala jenis suku dan bangsa, tak kisah apa agama atau pekerjaan (asal bukan penjahat!) mereka, tak kisah apakah mereka kaya atau miskin, tak kisah apa latar belakang mereka, dan mungkin, mungkin kita bisa belajar sesuatu dari mereka, bisa saling mengenal sebenar-benar, sehingga berkurang rasa curiga dan kebencian di muka bumi ini, dan lebih mudah untuk bekerja sama menuju kemajuan dan kegemilangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun