Mohon tunggu...
ijul35
ijul35 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia-Malaysia: Memandang Indonesia dari Seberang, Ternyata Kita Tidaklah Begitu Berbeda

3 September 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batik Indonesia misalnya. Terlepas dari kemungkinan adanya kekhawatiran bahwa ada perancang motif untuk perusahaan tekstil di Malaysia yang dapat mencuri motif dari Indonesia (namun hal ini tentu perlu pembuktian otentik dan saya tidak tahu bagaimana cara membuktikannya kecuali barangkai pakar batik sekelas alm. Iwan Tirta yang harus turun tangan), pada dasarnya batik Malaysia yang saya perhatikan memiliki ciri khas yang sangat mudah membedakannya dengan batik Indonesia. Kelantan dan Trengganu adalah dua negara yang memproduksi batik Malaysia dan motif batik di Malaysia cenderung berupa bunga dan pola daun atau tanaman, serta motif-motif besar yang agak renggang, kurang halus dan kurang detil. Warnanya pun cenderung agak datar. Bandingkan dengan batik Indonesia yang motifnya sangat kaya, sangat rapat dan sangat detil dengan warna-warna yang luar biasa. Kain Songket pun Malaysia punya, tapi tentunya bisa dibedakan dengan kain songket Indonesia. Indonesia bolehlah berbangga hati bahwa setelah melalui proses pengajuan ke UNESCO oleh pemerintah kita, akhirnya Indonesian Batik diakui sebagai World Cultural Heritage 2009. Tapi pengakuan terhadap Indonesian Batik alias Batik Indonesia juga secara tidak langsung mengakui adanya batik-batik dari negara lain, termasuklah Batik Malaysia, dan atau dengan sebutan lain di negara lain, yang tentunya tetap saling berbeda karakteristiknya.

Terlebih di negara saling berbatasan, seringkali pertukaran budaya juga terjadi melalui pernikahan dan pergaulan. Contohnya, di Negara Bagian Kedah di Malaysia yang berbatasan darat langsung dengan Thailand, banyak masyarakat di Kedah dan di Thailand yang saling bersaudara. Saya bertemu seorang kawan baru orang Malaysia yang memiliki darah campuran dari berbagai ras, termasuklah salah satu orangtuanya berasal dari wilayah Songkh La, sebuah kota pantai di Thailand selatan, yang mana kaum kerabatnya pun masih bercakap dalam bahasa Thai dan masih selalu berkunjung ke kampung asal nenek moyangnya di Thai, dan sebaliknya. Sebuah penelitian terbaru mengenai sejarah Kedah juga menyiratkan bahwa dahulunya kemungkinan Kedah adalah bagian dari Kerajaan Siam (yang berbeda dengan kerajaan Thailand). Artinya memang bangsa Malaysia benar-benar terdiri dari beraneka bangsa dan ras. Sangat mirip dengan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kalau kita mau menilik sejarah kita masing-masing pun bisa jadi banyak dari kita sebenarnya adalah perpaduan berbagai ras dan bangsa. Generasi seangkatan saya di Indonesia sering kali sudah tak mampu lagi menyatakan bahwa dirinya adalah murni dari suku X atau Y karena pernikahan yang dilakukan buyut atau kakek/nenek kami pun sudah antar-suku.

Satu lagi kesukaan rakyat Malaysia adalah sinetron Indonesia. Saya salah satu yang kurang menikmati sinetron Indonesia tapi saya tahu sangat banyak penggemarnya di Indonesia. Namun ternyata saya juga baru tahu bahwa rakyat Malaysia pun ternyata sangat gemar akan sinetron Indonesia dan bintang-bintangnya. Kakak saya menceritakan kisah kawannya, seorang perempuan pedagang, yang sangat tergila-gila akan sebuah sinetron yang dibintangi Baim Wong dan sampai memohon-mohon untuk mencarikan DVD bajakannya di Indonesia (yang terpaksa tak dapat dipenuhi oleh kakak saya, karena memang belum pernah menjumpai DVD bajakan sinetron. Mungkin ada yang tertarik untuk memulai usaha ini? Bisa jadi telah ada sebuah pangsa pasar di Malaysia yang meminati DVD bajakan sinetron. Bisa dibayangkan perlu berapa puluh keping DVD untuk satu judul sinetron saja, apalagi yang sudah diputar bertahun-tahun?). Seorang tetangga asal Pulau Pinang berusia paruh baya (baca: ibu-ibu), begitu mengetahui saya orang Indonesia langsung berapi-api menceritakan kesukaannya menonton sinetron Indonesia. Dan sinetron Indonesia diputar di sini pagi siang sore hingga malam. Saya tak punya cukup penghargaan untuk sebagian besar sinetron Indonesia tapi saya bersyukur Para Pencari Tuhan juga diputar di sini. Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh sinetron sebagai "duta bangsa dan negara"? Bukan hanya dari segi bahasa saja (seperti saya ceritakan di atas, bahasa Indonesia sudah sangat diterima di Malaysia, selain memang karena kedua bahasa ini tak berbeda jauh) tapi juga nilai-nilai dan aspek budaya lain.

Kita sebenarnya sangat mampu mempengaruhi persepsi bangsa lain, seperti Malaysia, dengan apa yang kita "ekspor" ke mereka: lagu, sinetron, artis, pekerja, produk pakaian dan jualan lainnya. Seandainya kita selalu membuat dan menyajikan yang baik, tentulah pandangan mereka juga akan baik. Seandainya kita selalu mengirim pekerja-pekerja yang terlatih, cakap dan rajin, tentulah mereka tidak akan mengganggap orang kita rendah. Seandainya kita memproduksi sinetron yang tidak sekedar menjual tangisan, airmata, sumpah serapah dan takhyul, melainkan penuh nasihat kebaikan seperti Ipin & Upin, serta rajin menyisipkan nilai-nilai budaya dan produk-produk seni budaya kita, tentulah mereka akan menganggap kita bangsa yang berbudaya tinggi. Setahu saya, para pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa (saya kurang tahu dengan yang ke luar negeri dengan biaya sendiri) ke luar negeri selalu dipesankan bahwa mereka adalah duta bangsa yang mana semua tindakannya akan membawa nama negara, mengharumkan atau merusakkannya. Mungkin ini juga perlu dipesankan kepada para pekerja yang akan kita kirim ke luar, melalui Depnaker/Deplu bekerja sama dengan para PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia)? Atau memang sudah? Memang hal semacam ini tanpa diucapkan pun seharusnya sudah dapat diketahui sendiri oleh akal sehat. Namun tak ada salahnya bagi kita untuk saling mengingatkan. Saya juga pernah membaca tulisan seseorang di Kompasiana yang mengatakan bahwa Twitter pun bisa jadi ajang diplomasi Indonesia di tingkat internasional. Ini dikarenakan trending topic di Twitter beberapa waktu terakhir hampir tiap minggunya mengandungi kata Nonton IMB dan atau artis Indonesia lainnya. Bahkan seorang artis pornografi dan keong racun juga menjadi populer ke seantero dunia berkat pengguna Twitter di Indonesia. Bayangkan jika sumber daya sebanyak itu difokuskan pada satu atau beberapa isu penting yang mengajak pada perdamaian, persatuan dan hal-hal baik lainnya? Atau untuk mempromosikan seni budaya dan hal-hal lain Indonesia ke tingkat dunia. Tentunya hal yang dipromosikan tersebut harus terpacu juga untuk mempunyai kualitas tingkat dunia atau kualitas internasional jika ingin terus eksis.

Semalam saya menonton berita di televisi Malaysia mengenai pembakaran bendera Malaysia oleh sekelompok orang di Indonesia. Hal ini membuat saya berpikir, apa kira-kira perasaan dan pemikiran orang Malaysia yang menyaksikannya? Saya nampak sekelompok orang Indonesia berwajah beringas dengan brutal membakar bendera Malaysia sambil berteriak-teriak kalap. Saya sampai merinding melihatnya. Inikah wajah bangsa kita, yang konon berbudaya adi luhung itu? Bagaimana jika sebaliknya terjadi terhadap kita? Tidakkah kita jijik? Tidakkah kita marah? Saya sampai sempat khawatir keponakan-keponakan saya yang bersekolah di sekolah negeri Malaysia (kebetulan mereka satu-satunya anak Indonesia di sekolah tersebut) mulai dicemooh kawan-kawannya, atau justru di-sweeping. Saya menjadi cemas akan keselamatan mereka. Saya menjadi cemas juga akan nasib jutaan orang Indonesia yang tengah bekerja di Malaysia ini, kaum kerabat saya termasuk di antara mereka. Tapi, ah, mungkinkah kecemasan saya akan menjadi tak beralasan, karena seperti saya nyatakan di atas, rakyat Malaysia cenderung adem ayem dan tak mudah diprovokasi? Tapi bukankah setiap kita punya batas kesabaran?

Saya tempo hari mendengar berita juga tentang Kedutaan Malaysia yang dilempari kotoran manusia oleh orang Indonesia. Sebenarnya, siapakah yang tengah menghina dirinya sendiri? Siapakah yang tengah menghina bangsanya sendiri? Mengumpulkan kotoran manusia bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, tapi itu dilakukan seseorang (beberapa orang?) saking marahnya, merendahkan dirinya sendiri. Dan bukankah marah (yang membabi buta pelampiasannya) adalah sifat setan? Kemudian saking marahnya pula melemparkannya ke Kedutaan Malaysia. Dan siapakah kira-kira yang akhirnya terpaksa membersihkan dari najis tersebut? Siapa? Bukankah satpam dan pesuruh serta petugas kebersihan di gedung itu adalah bangsa kita sendiri, orang Indonesia? Bukankah kita telah merendahkan sesama bangsa kita sendiri karena merekalah yang akhirnya harus tertunduk-tunduk menyiram atau menyapu najis tadi? Kepuasaan macam apa yang kita dapatkan kalau begitu? Kesan macam apa yang kita tunjukkan pada dunia saat kita tak mampu menyampaikan protes, ketidakpuasan, dan ketidaksetujuan dengan cara yang elegan?

Saya jadi teringat kisah seorang yang sangat dengki dan benci dengan Rasulullah Muhammad SAW. Saking dengkinya dia seringkali melempar najis manusia kepada Nabi, sampai suatu saat ia jatuh sakit dan pada hari itu tidak membaling (melempar) najis kepada Nabi sehingga Nabi justru mencari dan menjenguknya. Saking malu dan terharunya, akhirnya orang tersebut pun meminta maaf kepada Nabi. Saya tidak mencoba membanding satu pun dari kita dengan Nabi, namun kisah pelemparan najis manusia itu tiba-tiba membuat saya teringat kisah ini. Alhamdulillah orang dalam kisah tersebut diberi hidayah oleh Allah. Mudah-mudahan kita juga diberi hidayah oleh Allah di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Baiklah, mungkin saya sudah terlalu jauh melenceng dari sub topik. Mari kita kembali ke soal kecintaan masyarakat Malaysia terhadap hal-hal yang berbau Indonesia. Banyak trah sultan dan raja dan orang terpandang dan orang biasa di Malaysia sebenarnya memang keturunan Nusantara. Kalau tidak salah Najib Razak keturunan Gowa dan Sultan Johor keturunan Bugis. Sultan Johor ini kononnya penggemar lagu-lagu keroncong. Meskipun pun konon musik keroncong berasal dari Portugis, tapi yang jelas lagu-lagu keroncong yang dimainkan stasiun radio di Malaysia adalah lagu-lagu keroncong Indonesia. Jadi dugaan saya, jauh di dalam hati orang Malaysia, terutama yang ras Melayu, mereka merasa dekat dengan orang dan budaya Nusantara (sekarang Indonesia). Dan ini hal mendasar yang sangat baik jika Indonesia punya agenda untuk memperbaiki hubungan dengan Malaysia. Agenda yang saya maksudnya sebenarnya sederhana, yakni bagaimana Indonesia melalui berbagai jenis diplomasi bisa mengangkat harkat dan derajat serta martabat (hm, sebenarnya ketiga hal ini ada bezanya kah? ;-) ) bangsa Indonesia di mata internasional, termasuk Malaysia dan ASEAN.

Diplomasi Indonesia: Agak Terpuruk?

Ini membawa saya ke sub topik berikutnya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan diplomasi internasional kita? Saya membaca kemarahan terhadap sikap presiden kita menyangkut insiden terbaru dengan Malaysia. Namun saya duga, kemarahan ini adalah sekedar akumulasi kemarahan akan segala sikap tindak dan kebijakan presiden dan pemerintahannya. Kekesalan terhadap Malaysia mungkin telah ada bibitnya sejak pekikan Sukarno di masa silam terhadap Malaysia, namun sependek ingatan saya, ada kekesalan dan kekecewaan yang kemudian terus mengerucut semenjak kita kehilangan Sipadan-Ligitan. Saya mencoba melihat mulai dari titik ini, namun diskusi lebih mendalam mengenai permasalahan sengketa dan batas wilayah terlalu panjang untuk saya tuliskan di sini. Mungkin kapan-kapan akan saya tuliskan dalam suatu tulisan opini tersendirii.

Lepas dari berbagai fakta kasus Sipadan-Ligitan (yang cukup panjang untuk diungkap di sini), yang jelas kasus ini hampir selalu kita bawa-bawa saat ada insiden dengan Malaysia yang cukup membakar emosi publik, seperti kasus Manohara, kasus batik, kasus reog, kasus angklung, kasus tari bali, dan kini kasus DKP. Semua ini bermuara pada kata diplomasi. Saya bukan pakar soal diplomasi, tapi dari kacamata awam, bolehlah dikatakan ada berbagai jenis diplomasi, salah satunya diplomasi budaya, seperti sekilas telah saya ungkap di atas. Diplomasi lainnya tentulah diplomasi resmi di tingkat internasional yang dilakukan pemerintahan negara kita, yang ditengarai sebagian pihak telah memble dan penuh keraguan, sehingga mempermalukan Indonesia. Dan ini telah terjadi selama beberapa belas tahun terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun