Mohon tunggu...
ijul35
ijul35 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia-Malaysia: Memandang Indonesia dari Seberang, Ternyata Kita Tidaklah Begitu Berbeda

3 September 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Memenuhi janji pada diri sendiri semalam untuk menyambung tulisan saya sebelumnya http://regional.kompasiana.com/2010/09/03/indonesia-malaysia-memandang-indonesia-dari-seberang/, saya akan coba melanjutkan membagi pengamatan sederhana saya mengenai bangsa dan Negara Malaysia dan dinamika hubungannya dengan Indonesia dari kacamata seorang Indonesia yang kebetulan sedang melancong di Malaysia.

Panasnya Indonesia, Ademnya Malaysia

Dalam beberapa kali insiden dan gesekan antara Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir ini, satu fenomena yang saya amati adalah begitu (mudah) panasnya sebagian masyarakat Indonesia dalam bersikap dan berkomentar, bahkan tak jarang dengan menggunakan kata-kata sangat kasar yang sejatinya tidak menunjukkan penghargaan pada diri sendiri. Di lain pihak, sebenarnya masyarakat Malaysia cenderung tak tahu apa yang tengah terjadi sehingga tidak terlalu peduli dan terkesan adem ayem saja, karena mereka seringkali juga tidak mengetahui tingkat kemarahan (sebagian) rakyat Indonesia. Media Malaysia yang cukup steril dan budaya masyarakat yang cenderung memang cuek akan hal-ikhwal dunia luar tadi menjadi salah satu sebabnya. Jadi, di luar rasa sebal sebagian masyarakat Malaysia akan kualitas sebagian pekerja Indonesia dan tindak pidana yang dilakukan 'oknum' orang Indonesia, sejatinya masyarakat Malaysia tidak terusik emosinya dalam insiden-insiden tersebut dan tidak memandang Indonesia dengan rasa benci sebagaimana sebagian rakyat Indonesia yang telah tersulut emosinya memandang Malaysia.

Setiap kali ada insiden Indonesia - Malaysia, contohnya Manohara, tuduhan pencurian budaya, dan sebagainya, saya akan menelepon kakak dan abang saya di Selangor, kadang terselip juga kekhawatiran akan keselamatan mereka, tapi mereka akan meyakinkan saya bahwa mereka alhamdulillaah baik-baik saja dan masyarakat Malaysia pun adem-ayem saja seolah tak terjadi apa-apa, karena bagi mereka memang tidak ada apa-apa. Sementara sebagian kita di Indonesia sudah panas dingin saking marahnya pada Malaysia. Beberapa hari yang lalu, abang saya di Jakarta secara bercanda menanyakan, apakah saya tidak di-sweeping di Malaysia, yang tentu saja saya jawab tidak. Lagi pula, bagaimana aparat ataupun masyarakat Malaysia mau men-sweeping orang Indonesia? Selain ada terlalu banyak (jutaan!) orang Indonesia di Malaysia, mereka juga tengah gencar menjual pariwisatanya. Saya jadi mulai khawatir, apakah justru sweeping terhadap orang Malaysia di Indonesia tengah, atau akan terjadi? Dan jika itu berlaku, bisa dibayangkan bagaimana dampaknya? Jika kita berada di Malaysia, tampang-tampang yang kita lihat adalah tampang Melayu, China, India dan tampang eksotis lainnya. Jumlahnya hampir sama rata. Tampang-tampang yang juga lazim kita temui di Indonesia. Bagaimana kita mau men-sweeping mereka satu demi satu? Dan untuk apa? Untuk ditakut-takuti? Dibentak? Atau bahkan dikerasi secara fisik? Demi tujuan apa? Will it serve a greater good? Apakah ada tujuan mulia di sebalik tindakan semacam itu? (Sahabat saya seorang Malaysia yang mendengar cerita saya jadi agak takut untuk berkunjung ke Jakarta, sedangkan saya sudah berkali-kali mengundangnya. Saya pun mencoba meyakinkannya, bahwa dia tidak akan dikira orang Malaysia, dan jika sampai logat serta bahasanya keluar, saya bilang, "nanti kalau kamu dicurigai, bilang saja kamu baru datang dari kampung di Riau, hehehe. Tapi dalam hati saya jadi khawatir juga, sedangkan saya mendapat perlakuan dan sambutan luar biasa selama saya menjadi tamunya selama seminggu, bagaimana jika memang orang kita sudah segitu marahnya dengan Malaysia? Padahal kawan saya ini termasuk pengagum Indonesia).

Rakyat Malaysia dan Kecintaan Mereka akan Indonesia

Kembali ke soal ademnya rakyat Malaysia, ada hal-hal lain terkait dinamika hubungan antara rakyatnya dengan hal-hal yang berbau Indonesia. Terlepas dari kecenderungan mereka yang relatif cuek dengan sejarah bangsa dan negara mereka, rakyat Malaysia, terutama yang ras Melayu, secara umum sadar akan latar belakang mereka yang serumpun dengan Indonesia. Ini juga karena memang pemerintah Malaysia selalu mendengung-dengungkan masalah "serumpun" ini. Kemungkinan karena ras Melayu sekarang tinggal 40-50 persen, pemerintah Malaysia berkepentingan dengan isu 'serumpun' ini, karena selebihnya mereka adalah ras yang truly Asia tadi.

Mari kita mundur sejenak melihat komposisi pemerintahan Malaysia yang selama sekian puluh tahun dipegang oleh koalisi Barisan Nasional yang terdiri dari komponen besar Melayu (UMNO), Cina (MCA) dan India (MIC). Politik, sebagaimana lazimnya, selalu mengandungi banyak kepentingan. Dan tentu kita bisa membedakan antara pemerintahan (yang selalu bisa berganti) dengan rakyat (yang selalu tetap) di suatu negara. Pemerintah tidak selalu menyuarakan dan mewakili kepentingan rakyat, terutama jika banyak "oknum" dan "pejabat korup" di dalamnya. Pemerintahan Malaysia yang berada dalam status quo selama puluhan tahun ini sekilas bisa dibandingkan dengan pemerintahan Suharto, erat mencengkeram di segala lini. Jadi bisa dibayangkan, tentunya juga terjadi berbagai praktek gelap di dalamnya, tapi hal ini tidak akan saya bahas lebih lanjut di sini, karena semestinya sudah banyak ulasan lain mengenainya.

Malaysia pada dasarnya adalah negara Kerajaan dengan bentuk Federasi, terdiri dari 13 Negara Bagian (sebagian besarnya berupa Kesultanan) dan 1 Wilayah Persekutuan, semua dengan bendera negara bagiannya masing-masing. Dengan wilayah terbagi dua di Semenanjung Malaysia dan di Pulau Kalimantan (Borneo) dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 1/10 jumlah penduduk Indonesia, barangkali memang relatif lebih mudah bagi sebuah koalisi partai dan pemerintahan yang berkuasa untuk mengontrol segala sesuatunya. Kebijakan hak khusus bagi ras Melayu setelah berjalan sekian tahun nampak mulai keropos. Segala kemudahan yang dinikmati ras Melayu, seperti tingkat bunga cicilan yang lebih rendah dalam pembelian tanah, rumah dan mobil ketimbang yang didapat ras Cina dan India, serta prioritas pemenangan tender proyek-proyek besar terhadap perusahaan Melayu, menimbulkan ketidakpuasan di kalangan non-bumiputera, dan juga praktek korupsi. Lazim terdengar perusahaan-perusahaan Melayu (yang ditengarai adalah perusahaan milik orang-orang UMNO/Barnas yang telah mendapat tender, kemudian meng-subkontrak-kannya kembali ke pada perusahaan Cina dan atau India. Ada yang kembali menunjuk mental ras Melayu yang pemalas sebagai puncanya, dan segala hak khusus tersebut telah memanjakan ras Melayu sehingga semakin kehilangan etos kerja yang tinggi. Namun, sekali lagi, sebuah pemerintahan yang telah begitu lama berkuasa memang tak terelakkan pada akhirnya memiliki kuasa tunggal untuk meredam suara-suara yang tidak puas atau pun yang mempertanyakan berbagai kebijakan dan korupsi yang dilakukan, selain karena juga suara-suara itu jumlahnya sedikit, tidak bersatu dan gampang ditekan. Akibatnya rakyat Malaysia kembali terlena, terninabobokan dalam alunan yang selalu diperdengarkan pemerintah Malaysia, bahwa "Malaysia Boleh"!, dengan segala pencapaian dan keberhasilan yang patut dibanggakan.

Kembali ke soal cintanya masyarakat Malaysia terhadap hal-hal yang berbau Indonesia, salah satunya adalah dari segi musik. Lagu-lagu Indonesia dan band-band/para penyanyi Indonesia sangat sangat populer di sana, hingga artis-artis Malaysia pun merasa terancam eksistensinya. Dan sebagaimana halnya Ipin & Upin telah mempengaruhi gaya bertutur anak-anak Indonesia, rakyat Malaysia sudah pula menggunakan kata "banget", "deh", dan kata-kata bahasa Indonesia lainnya. Jutaan rakyat Indonesia yang membanting tulang di Malaysia pun sangat mungkin menjadi salah satu sebab semakin lazimnya penggunaan bahasa Indonesia di Malaysia. Saya mencoba bertutur dalam bahasa Malaysia (meskipun saya bisa bercakap Melayu sesuai bahasa kampung orangtua saya, namun bahasa Malaysia saya sangatlah teruk!) dan jika mendapati lawan bicara saya kebingungan, saya akan mencoba menggunakan bahasa Inggris (karena saya pikir setelah penjajahan Inggris, mestilah Bahasa Inggris menjadi semacam bahasa kedua atau bahasa resmi mereka, seperti di India, namun ternyata betapa salahnya saya. Soal bahasa ini mungkin akan saya tuangkan dalam tulisan lain) namun mereka tetap tak mengerti. Kakak saya pun selalu mengatakan pada saya, "di sini pakai bahasa Indonesia saja, semua mengerti kok."

Rakyat Malaysia yang juga hobi berbelanja sangat suka berbelanja, termasuk berbelanja di Indonesia. Mereka akan berbelanja di Bukit Tinggi, Bandung dan sebagainya, dan menjualnya lagi di Malaysia, baik secara partai besar atau kecil-kecilan. Ini kemungkinan karena mereka sendiri tidak memiliki kebudayaan mencipta atau berkreasi sebagaimana bangsa Indonesia. Saya secara bercanda kadang berpikir hal tersebut karena nenek moyang mereka yang datang dari Nusantara adalah kaum perantau, penjelajah, dan mungkin tidak sempat terpikir untuk membawa para seniman atau perupa bersama mereka. Kalau kita lihat bangsa kita, Bali memiliki jiwa seni yang seolah-olah tak habis-habisnya untuk selalu mencipta berbagai kreasi dan produksi. Jepara dengan ukirannya, dan berbagai daerah lain dengan tarian, patung, tenunan dan sebagainya. Tidak bisa dihindarkan bahwa masyarakat dari wilayah yang berdekatan dalam periode ribuan atau ratusan tahun akan saling meminjam budaya masing-masing dan membawanya bersama mereka dan setelah melewati sekian generasi maka budaya itu akan mantap menjadi budaya mereka. Bagaimana pun negara Indonesia baru terbentuk 65 tahun yang lalu meskipun mungkin cikal bakal bangsa Indonesia sudah dimaklumkan sejak tahun 1928. Sehingga berbagai budaya Nusantara yang terbawa dan tersebar sebelumnya tidak mustahil telah pula menjadi budaya di suatu negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun