Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan adalah Koenci: Potret Moderasi Islam & Perkembangannya di Nusantara

8 Agustus 2024   11:23 Diperbarui: 8 Agustus 2024   11:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Moderasi beragama yang saat ini tengah hangat-hangatnya diperbincangkan sejatinya bukanlah hal baru. Semua agama mengklaim, moderasi adalah bagian yang tak terpisahkan dengan ajaran mereka. Kalaupun baru sekarang menjadi perbincangan yang cukup ramai, boleh jadi karena pemerintah telah menjadikannya sebagai salah satu isu krusial. 

Mungkin juga gegapnya isu ini karena moderasi beragama telah menjadi objek tulisan banyak akademisi, seperti halnya menjamurnya pula tulisan-tulisan soal radikalisme beragama. Singkatnya, moderasi beragama saat ini telah menjadi semacam mantra, dan di hadapannya orang-orang seakan terbius untuk merapalnya.

Moderasi dalam Islam sendiri, seperti yang akan saya ulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini, sesungguhnya tidak hanya menjadi ajaran atau nilai. Tetapi juga menjadi pengalaman historis umat Islam yang merentang panjang dari zaman Nabi Muhammad SAW, ke masa Islam di Nusantara oleh Wali Songo, dan berlanjut hingga era Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah di Indonesia.   

Dalam Islam, ada satu ayat al-Qur'an di luar versi bacaan Mushab Utsmani yang menyatakan: "Inna dina indallahil hanifiyah", agama yang benar di sisi Allah adalah agama hanif (agama yang tunduk-lurus-moderat).[1] Ayat ini dipertegas oleh hadis Nabi SAW; "Inny ursiltu bihanifiyati samha" (HR Ahmad) (Saya diutus membawa agama hanif yang toleran)  atau teks lain berbunyi Ahabbu al-diini ilaa al-llahi al-hanifiyyatu al-samhah (HR Bukhari), (Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang hanif dan toleran). 

Teks-teks tadi menjadi salah satu penanda bahwa Islam dan moderasi yang dalam bahasa agama disebut dengan wasathiyah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Istilah wasathiyah sendiri secara eksplisit digunakan dalam al-Qur'an (2:143) pada ayat: "wakazalika jaalnakun umatan wasatan" (Dan demikianlah kami telah menjadikan kalian umat yang moderat). 

Moderasi dalam Islam selain disebut washatiyah atau washat, juga kadang disebut tawashut. Wasatiyah atau moderasi dalam Islam tidak semata-mata bermakna tengah-tengah, tetapi seperti dikemukakan Fachruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir li Alquranul Karim, wasatiyah atau moderasi Islam juga bermakna keadilan, toleransi dan keseimbangan (Shihab, 2019; Hanafi dkk, 2012). 

Makna lain dari washatiyah ini adalah umat yang terbaik. Umat terbaik yang dimaksudkan di sini adalah umat yang berada dalam posisi moderat tersebut. Misalnya di antara 'kikir' dan 'boros', yang terbaik adalah yang moderat yaitu 'dermawan'. 

Dalam hemat saya,  praktik moderasi Islam yang dijalankan oleh Rasulullah terlebih dahulu dimulai dengan mempraktikkan keadilan di masyarakat Arab. Hal ini ditandai dengan kehadiran Nabi SAW membawa teologi baru yang mengajarkan penyembahan pada Tuhan tidak melalui perantaraan patung. Mengapa dimulai dari sini? Sebab sistem teologi patung inilah yang menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat Arab kala itu.

Teologi yang dibawa Rasulullah SAW pada dasarnya bukan memperkenalkan Tuhan baru. Ia tidak mengenalkan bahwa ada Tuhan yang namanya Allah yang harus disembah, sebab orang Arab pra Islam sendiri pada dasarnya telah mengenal Allah dan menyembah kepadanya (Izutsu, 1993). 

Yang disasar oleh Rasulullah adalah sistem penyembahan bangsa Arab saat itu dengan perantaraan berhala. Sistem penyembahan inilah yang sarat dengan praktik-praktik penindasan. Melalui patung-patung yang akan disembah, para elite Arab menancapkan dominasi ekonomi dengan memperjual belikan patung-patung tersebut. Perlu digarisbawahi, para pembuat patung ini adalah kelompok kelas menengah-atas kaum Quraisy (Kariem, 1997). 

Selain itu, setiap orang Arab, khususnya masyarakat bawah, mana kala datang menyembah patung, mereka dipaksa untuk mengeluarkan uang dan meletakkan pada wadah-wadah tertentu yang ada di patung tersebut. Teologi semacam ini sudah pasti akan menumbuhkan ketidakadilan sosial. Cara penyembahan ini menyebabkan ketimpangan ekonomi semakin menganga di tengah masyarakat Arab.

Rasulullah SAW datang merontokkan sistem teologi yang tidak adil ini. Kemudian Ia mengajarkan sistem penyembahan yang dilakukan tanpa membeda-bedakan antara yang kaya dan miskin. Tidak ada tuhan-tuhan yang perlu dibeli dan tidak ada penyembahan yang diembel-embeli dengan setoran duit. 

Nabi SAW lantas menegaskan misinya ini dengan menyatakan "khairul umuri awsatuha" (sebaik-baik urusan/perbuatan adalah yang moderat). Menurut al-Razi, kata awsatuha dalam pernyataan Nabi tersebut oleh banyak ulama tidak dimaknai tengah-tengah, tetapi justru adil, sehingga makna hadis tadi menjadi "sebaik-baik perbuatan adalah berbuat adil."

Setelah persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial ditangani, barulah Rasulullah mengajarkan tentang makna toleransi. Hal itu dilakukan saat Ia mendirikan kota Madinah. Di sini Rasulullah mengeluarkan satu piagam yang sangat terkenal, Sahifatul Madinah (Piagam Madinah).  

Piagam ini berisi pengakuan hak yang sama sebagai warga di kota Madinah antara umat Islam, Nasrani dan Yahudi. Kelak Piagam Madinah ini juga dianggap sebagai ajaran toleransi Islam yang dikukuhkan dalam satu konstitusi. Ajaran toleransi tersebut dapat dicek, misalnya, dalam pasal 25 dari piagam ini yang berbunyi: "Kaum Yahudi dari Bani 'Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga."

Praktik moderasi beragama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dengan demikian, tidak hanya menitik beratkan pada toleransi ataupun anti kekerasan, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan serta kesenjangan ekonomi dan sosial. Ketiga hal tersebut; keadilan, toleransi dan keseimbangan, berjalan beriringan. 

Bahkan, bisa dikatakan toleransi justru dibangun di atas fondasi keadilan. Karena itu sering kali Rasulullah SAW tidak memilih posisi di tengah-tengah dalam konteks moderasi ini karena pertimbangan keadilan. Ia misalnya tegas menyatakan bahwa ia ada di antara orang miskin dan anak yatim, dibangkitkan bersama mereka dan di tempatkan di akhirat kelak bersama mereka. Rasulullah dalam hal ini memilih berpihak, justru karena adanya ketimpangan dalam struktur sosial. 

Praktik moderasi beragama yang menyeimbangkan keadilan sosial, penguatan ekonomi dan toleransi dapat pula kita lihat wujudnya saat Wali Songo mengembangkan Islam di Nusantara. 

Saat Wali Songo ingin mendirikan pesantren dengan melakukan babat alas, yang pertama-tama dipertimbangkan adalah bagaimana terlebih dahulu mempersiapkan lahan pertanian, perdagangan, pengairan dan pasar. Hal itu disiapkan tidak hanya untuk para calon santri, tetapi juga bagi para warga yang akan bermukim di tempat itu, muslim maupun yang non-muslim. 

Dalam naskah Babad Sasak yang menceritakan proses Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali, disebutkan, pertimbangan para Wali ketika datang ke masyarakat adalah soal kesejahteraan warga, keadilan sosial dan juga saling hidup rukun antara satu dengan lainnya.  Dalam Babad Sasak lempir 137 b-138-a, proses ini disebut dengan 'Hamukti Tanah Jawi', menjadikan tanah Nusantara  bertuah atau sakti. Karena itu bagi Wali Songo, misi pertama mereka adalah bagaimana membentuk angajawi, membangun identitas kenusantaraan dengan membangun sistem sosial-ekonomi berkeadilan/kekeluargaan.  

Dalam naskah Babad Demak, salah satu isu penting yang menjadi penekanan Kesultanan Demak adalah anggelar adil pratama, mewujudkan keadilan ekonomi dan keadilan hukum. Selain itu, ditekankan pula persatuan masyarakat, hidup guyub dalam perbedaan dan menghargai satu sama lain. Nilai-nilai ini diintergrasikan ke dalam sistem pemerintahan (Baso,2022).

Setelah membangun keadilan sosial-ekonomi, Wali Songo kemudian mengajarkan hidup guyub, rukun dan bertoleransi antara sesama warga (dalam naskah disebut wargi/kawula). Kaum Muslim diajarkan tidak boleh memaksakan orang lain untuk memeluk Islam. Keyakinan warga yang menganut agama lain harus dihormati. 

Secara eksplisit hal ini tergambar dalam Serat Sejarah Demak (Kodes BL Add 12313) yang bunyinya sebagai berikut: "Sang Wiku angandika: Aja Mangkono sira ki bayi, rumanira, apa Nora nyegah, wong kang masuk agamane.....(Kamu jangan bersikap demikian kepada ayahandamu sendiri, apakah dia pernah mencegah orang masuk Islam....?)." Ucapan ini disampaikan oleh Sunan Ampel kepada Raden Fatah yang dianggap ingin memaksa Raja Brawijaya, Raja Majapahit kala itu, memeluk Islam.

Nilai-nilai inilah yang diserap oleh warga, meskipun tidak harus secara formal memeluk Islam. Makanya dalam berbagai naskah, baik Babad Sasak-Bali, maupun naskah Babad Demak, Wali Songo dianggap mawahi iman (membawa nilai). Tidak disebut mawahi (I)slam. 

Dalam kenyataannya, seperti tercermin dalam naskah Bali-Sasak, masyarakat nusantara menerima nilai-nilai tersebut meskipun mereka tetap pada agamanya masing-masing. Masyarakat Bali, misalnya, mereka tetap Hindu, tetapi menjaga nilai-nilai angajawi (kenusantaraan) tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja dengan mendialogkan dengan tradisinya.

Cara Wali Songo dalam mengembangkan Islam ini dengan menyeimbangkan antara keadilan, pemerataan ekonomi, gotong royong, kekeluargaan dan bertoleransi satu sama lain disebut oleh para peneliti naskah Wali Songo sebagai Dakwah Wasatiyah (dakwah moderasi).  Para peneliti tersebut sampai pada kesimpulan, praktik dakwah Wali Songo tersebut adalah contoh model moderasi beragama untuk membentuk "Hamukti Tanah Jawi" (Sunyoto;Mufrodli; Baso; Irawan; Halim; Prihananto, 2021).

Model moderasi beragama semacam inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah.  NU, misalnya, meletakkan moderasi beragama sebagai bagian dari Khittah NU dalam prinsip tawasuth (moderat), I'tidal (adil), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang) (Ridwan, 2020).  

Keempatnya merupakan nilai dasar yang harus dijalankan secara seimbang. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat.  Di sini kembali terlihat bahwa moderasi beragama yang dijalankan NU, tidak hanya semata-mata soal tasamuh (toleransi) atau tawazun (tengah-tengah/seimbang), tetapi juga I'tidal (adil). Keadilan ini tentu saja termasuk keadilan dalam berbagai sektor, termasuk keadilan ekonomi umat.

Gus Dur dalam mengimplementasikan moderasi beragama ini (tawasuth) sangat memperhatikan prinsip keadilan ekonomi. Itulah sebabnya Gus Dur mendorong dan mengajak kerja sama para pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan juga mengelola Bank Summa. 

Dalam pandangan Kiai Jadul Maula, Gus Dur sangat memahami bahwa tidak mungkin tercipta toleransi, khususnya kepada kalangan Tionghoa jika masih terjadi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Karena itulah, demikian Jadul, moderasi beragama Gus Dur dibarengi dengan program moderasi/keseimbangan (tawazun) di bidang ekonomi.

Moderasi beragama saat ini, khususnya yang menjadi program pemerintah, tampaknya cenderung hanya berbicara soal anti radikalisme (kekerasan) dan toleransi. Sementara aspek keadilan sosial-ekonomi tidak menjadi perhatian serius. Organisasi keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah  hanya diajak bekerja sama dalam melawan radikalisme beragama dan penguatan toleransi.

Tetapi mana kala NU dan Muhammadiyah mulai mengutak-atik persoalan kedaulatan rakyat atas tanah, pengelolaan sumber daya alam dan ketimpangan ekonomi, pemerintah malah berbalik punggung. Dan saya kira kita sama-sama bisa melihat contoh kongkretnya dalam UU Cipta Kerja. Usulan-usulan perbaikan dari NU maupun Muhammadiyah terhadap UU ini sepertinya hanya dianggap angin lalu belaka.      

            

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun