Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan adalah Koenci: Potret Moderasi Islam & Perkembangannya di Nusantara

8 Agustus 2024   11:23 Diperbarui: 8 Agustus 2024   11:27 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membangun keadilan sosial-ekonomi, Wali Songo kemudian mengajarkan hidup guyub, rukun dan bertoleransi antara sesama warga (dalam naskah disebut wargi/kawula). Kaum Muslim diajarkan tidak boleh memaksakan orang lain untuk memeluk Islam. Keyakinan warga yang menganut agama lain harus dihormati. 

Secara eksplisit hal ini tergambar dalam Serat Sejarah Demak (Kodes BL Add 12313) yang bunyinya sebagai berikut: "Sang Wiku angandika: Aja Mangkono sira ki bayi, rumanira, apa Nora nyegah, wong kang masuk agamane.....(Kamu jangan bersikap demikian kepada ayahandamu sendiri, apakah dia pernah mencegah orang masuk Islam....?)." Ucapan ini disampaikan oleh Sunan Ampel kepada Raden Fatah yang dianggap ingin memaksa Raja Brawijaya, Raja Majapahit kala itu, memeluk Islam.

Nilai-nilai inilah yang diserap oleh warga, meskipun tidak harus secara formal memeluk Islam. Makanya dalam berbagai naskah, baik Babad Sasak-Bali, maupun naskah Babad Demak, Wali Songo dianggap mawahi iman (membawa nilai). Tidak disebut mawahi (I)slam. 

Dalam kenyataannya, seperti tercermin dalam naskah Bali-Sasak, masyarakat nusantara menerima nilai-nilai tersebut meskipun mereka tetap pada agamanya masing-masing. Masyarakat Bali, misalnya, mereka tetap Hindu, tetapi menjaga nilai-nilai angajawi (kenusantaraan) tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja dengan mendialogkan dengan tradisinya.

Cara Wali Songo dalam mengembangkan Islam ini dengan menyeimbangkan antara keadilan, pemerataan ekonomi, gotong royong, kekeluargaan dan bertoleransi satu sama lain disebut oleh para peneliti naskah Wali Songo sebagai Dakwah Wasatiyah (dakwah moderasi).  Para peneliti tersebut sampai pada kesimpulan, praktik dakwah Wali Songo tersebut adalah contoh model moderasi beragama untuk membentuk "Hamukti Tanah Jawi" (Sunyoto;Mufrodli; Baso; Irawan; Halim; Prihananto, 2021).

Model moderasi beragama semacam inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah.  NU, misalnya, meletakkan moderasi beragama sebagai bagian dari Khittah NU dalam prinsip tawasuth (moderat), I'tidal (adil), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang) (Ridwan, 2020).  

Keempatnya merupakan nilai dasar yang harus dijalankan secara seimbang. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat.  Di sini kembali terlihat bahwa moderasi beragama yang dijalankan NU, tidak hanya semata-mata soal tasamuh (toleransi) atau tawazun (tengah-tengah/seimbang), tetapi juga I'tidal (adil). Keadilan ini tentu saja termasuk keadilan dalam berbagai sektor, termasuk keadilan ekonomi umat.

Gus Dur dalam mengimplementasikan moderasi beragama ini (tawasuth) sangat memperhatikan prinsip keadilan ekonomi. Itulah sebabnya Gus Dur mendorong dan mengajak kerja sama para pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan juga mengelola Bank Summa. 

Dalam pandangan Kiai Jadul Maula, Gus Dur sangat memahami bahwa tidak mungkin tercipta toleransi, khususnya kepada kalangan Tionghoa jika masih terjadi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Karena itulah, demikian Jadul, moderasi beragama Gus Dur dibarengi dengan program moderasi/keseimbangan (tawazun) di bidang ekonomi.

Moderasi beragama saat ini, khususnya yang menjadi program pemerintah, tampaknya cenderung hanya berbicara soal anti radikalisme (kekerasan) dan toleransi. Sementara aspek keadilan sosial-ekonomi tidak menjadi perhatian serius. Organisasi keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah  hanya diajak bekerja sama dalam melawan radikalisme beragama dan penguatan toleransi.

Tetapi mana kala NU dan Muhammadiyah mulai mengutak-atik persoalan kedaulatan rakyat atas tanah, pengelolaan sumber daya alam dan ketimpangan ekonomi, pemerintah malah berbalik punggung. Dan saya kira kita sama-sama bisa melihat contoh kongkretnya dalam UU Cipta Kerja. Usulan-usulan perbaikan dari NU maupun Muhammadiyah terhadap UU ini sepertinya hanya dianggap angin lalu belaka.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun