Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan adalah Koenci: Potret Moderasi Islam & Perkembangannya di Nusantara

8 Agustus 2024   11:23 Diperbarui: 8 Agustus 2024   11:27 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, setiap orang Arab, khususnya masyarakat bawah, mana kala datang menyembah patung, mereka dipaksa untuk mengeluarkan uang dan meletakkan pada wadah-wadah tertentu yang ada di patung tersebut. Teologi semacam ini sudah pasti akan menumbuhkan ketidakadilan sosial. Cara penyembahan ini menyebabkan ketimpangan ekonomi semakin menganga di tengah masyarakat Arab.

Rasulullah SAW datang merontokkan sistem teologi yang tidak adil ini. Kemudian Ia mengajarkan sistem penyembahan yang dilakukan tanpa membeda-bedakan antara yang kaya dan miskin. Tidak ada tuhan-tuhan yang perlu dibeli dan tidak ada penyembahan yang diembel-embeli dengan setoran duit. 

Nabi SAW lantas menegaskan misinya ini dengan menyatakan "khairul umuri awsatuha" (sebaik-baik urusan/perbuatan adalah yang moderat). Menurut al-Razi, kata awsatuha dalam pernyataan Nabi tersebut oleh banyak ulama tidak dimaknai tengah-tengah, tetapi justru adil, sehingga makna hadis tadi menjadi "sebaik-baik perbuatan adalah berbuat adil."

Setelah persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial ditangani, barulah Rasulullah mengajarkan tentang makna toleransi. Hal itu dilakukan saat Ia mendirikan kota Madinah. Di sini Rasulullah mengeluarkan satu piagam yang sangat terkenal, Sahifatul Madinah (Piagam Madinah).  

Piagam ini berisi pengakuan hak yang sama sebagai warga di kota Madinah antara umat Islam, Nasrani dan Yahudi. Kelak Piagam Madinah ini juga dianggap sebagai ajaran toleransi Islam yang dikukuhkan dalam satu konstitusi. Ajaran toleransi tersebut dapat dicek, misalnya, dalam pasal 25 dari piagam ini yang berbunyi: "Kaum Yahudi dari Bani 'Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga."

Praktik moderasi beragama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dengan demikian, tidak hanya menitik beratkan pada toleransi ataupun anti kekerasan, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan serta kesenjangan ekonomi dan sosial. Ketiga hal tersebut; keadilan, toleransi dan keseimbangan, berjalan beriringan. 

Bahkan, bisa dikatakan toleransi justru dibangun di atas fondasi keadilan. Karena itu sering kali Rasulullah SAW tidak memilih posisi di tengah-tengah dalam konteks moderasi ini karena pertimbangan keadilan. Ia misalnya tegas menyatakan bahwa ia ada di antara orang miskin dan anak yatim, dibangkitkan bersama mereka dan di tempatkan di akhirat kelak bersama mereka. Rasulullah dalam hal ini memilih berpihak, justru karena adanya ketimpangan dalam struktur sosial. 

Praktik moderasi beragama yang menyeimbangkan keadilan sosial, penguatan ekonomi dan toleransi dapat pula kita lihat wujudnya saat Wali Songo mengembangkan Islam di Nusantara. 

Saat Wali Songo ingin mendirikan pesantren dengan melakukan babat alas, yang pertama-tama dipertimbangkan adalah bagaimana terlebih dahulu mempersiapkan lahan pertanian, perdagangan, pengairan dan pasar. Hal itu disiapkan tidak hanya untuk para calon santri, tetapi juga bagi para warga yang akan bermukim di tempat itu, muslim maupun yang non-muslim. 

Dalam naskah Babad Sasak yang menceritakan proses Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali, disebutkan, pertimbangan para Wali ketika datang ke masyarakat adalah soal kesejahteraan warga, keadilan sosial dan juga saling hidup rukun antara satu dengan lainnya.  Dalam Babad Sasak lempir 137 b-138-a, proses ini disebut dengan 'Hamukti Tanah Jawi', menjadikan tanah Nusantara  bertuah atau sakti. Karena itu bagi Wali Songo, misi pertama mereka adalah bagaimana membentuk angajawi, membangun identitas kenusantaraan dengan membangun sistem sosial-ekonomi berkeadilan/kekeluargaan.  

Dalam naskah Babad Demak, salah satu isu penting yang menjadi penekanan Kesultanan Demak adalah anggelar adil pratama, mewujudkan keadilan ekonomi dan keadilan hukum. Selain itu, ditekankan pula persatuan masyarakat, hidup guyub dalam perbedaan dan menghargai satu sama lain. Nilai-nilai ini diintergrasikan ke dalam sistem pemerintahan (Baso,2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun