Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Kritis Moderasi (Beragama) di Indonesia

7 Agustus 2024   18:02 Diperbarui: 7 Agustus 2024   18:07 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pmt.ftk.uin-alauddin.ac.id

Dalam lima tahun terakhir, moderasi beragama menjadi salah satu diskursus yang paling sering diperbincangkan di Indonesia. Tulisan tentang moderasi beragama ini bermunculan bak cendawan di  musim hujan seiring dengan menjamurnya pula tulisan-tulisan tentang radikalisme beragama.  

Quraish Shihab (2019), misalnya, menulis tentang "Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama", lalu ada pula "Wasathiyyah Islam: Anatomi, Narasi dan Kontestasi Gerakan Islam" yang didedahkan oleh Kholid Syeirazi (2020).  Tentu  masih banyak lagi tulisan yang mengulik moderasi beragama di Indonesia, terutama di berbagai jurnal.

Namun rupanya yang tertarik dengan moderasi ini tidak hanya kalangan akademisi,  pemerintah pun tidak mau ketinggalan.  Pemerintah, melalui beberapa kementerian, secara terang-terangan telah mengambil bagian dan terlibat aktif dalam perbincangan mengenai wacana tersebut.  

Moderasi beragama bahkan telah menjadi rancangan strategis dalam RPJMN 2020-2024. Sementara itu beberapa kementerian telah memasukkan moderasi beragama sebagai bagian dari kebijakan dan rancangan programnya.

Kementerian Agama, misalnya, sejak lahirnya Risalah Jakarta pada 29 Desember 2018, nyaris seluruh programnya memiliki semangat moderasi beragama. Tidak mengherankan jika saat ini di seluruh Satuan Kerja Kementerian Agama terdapat program moderasi beragama baik berupa pelatihan maupun sosialisasi. 

Saking intensnya negara mengambil bagian dalam moderasi beragama ini sehingga ruang-ruang yang tadinya digarap oleh masyarakat civil, misalnya dialog antara komunitas yang berbeda atau membangun  perjumpaan antara komunitas agama, kini juga mulai dikelola oleh pemerintah. 

Keterlibatan pemerintah dalam soal keagamaan di Indonesia, sebenarnya bukanlah kasus yang aneh dan bukan pula baru terjadi dalam isu moderasi beragama. Sejak terbentuknya republik ini, agama telah menjadi urusan negara.  Seperti disebutkan  oleh Hefner (2020) agama bukanlah persoalan individu belaka, tetapi juga sudah menjadi persoalan publik. Orang Indonesia, demikian Hefner, menolak pendekatan liberal sekuler terhadap agama. 

Pendekatan liberal-sekuler dalam melihat agama  seturut dengan Ahmed Kurru (2009) adalah pengasingan secara tegas  agama dari kehidupan masyarakat. Pendekatan semacam itulah yang ditolak oleh mayoritas orang Indonesia yang menganggap bahwa agama adalah barang publik yang vital.  Karena dianggap barang publik yang vital,  maka pemerintah merasa perlu terlibat dalam persoalan agama.  

Namun keterlibatan pemerintah dalam mengurus agama, seperti kali ini dalam "keseriusannya" menangani isu moderasi beragama, sering kali menyisakan persoalan atau paling tidak ambiguitas.  

Dalam kasus moderasi beragama, misalnya, pemerintah tampak serius mendorong wacana ini menjadi kebijakan negara, menguatkan pemahaman moderasi beragama Aparat Sipil hingga satuan kerja di tingkat bawah, tetapi sama sekali tidak pernah mengevaluasi kembali berbagai regulasi yang oleh banyak kalangan dianggap justru memicu sikap-sikap intoleransi.  

Salah satunya aturan tentang blasphemy dalam PNPS No.1/1965.  Demikian halnya, lembaga-lembaga pemerintah  mewajibkan satuan kerja di bawahnya untuk memasang poster dan spanduk ucapan selamat hari raya bagi setiap agama yang memperingati hari besarnya, tetapi di saat yang sama belum memiliki sikap yang jelas terhadap kelompok minoritas semacam Ahmadiah, Syiah ataupun Baha'i.

Dalam beberapa hal keterlibatan pemerintah dalam program moderasi beragama justru menempatkannya tidak lagi sebagai fasilitator atau wasit yang menjamin hak dan kebebasan setiap pemeluk agama untuk menghayati dan menjalankan agamanya. Pada titik tertentu pemerintah malah menunjukkan pemihakan. 

Dalam menyikapi pemahaman keagamaan yang konservatif, misalnya, pemerintah terkesan tidak memberikan tempat. Padahal paham keagamaan semacam itu adalah sesuatu yang juga hidup dan berkembang di Indonesia sejak lama. Ambillah contoh kasus ucapan selamat hari raya pada penganut agama yang berbeda.

Dalam kasus ini, pemerintah tidak harus berdiri di satu pihak, misalnya dengan ikut menganjurkan mengucapkan selamat hari raya pada agama lain. Posisi pemerintah dalam kasus ini seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan kepada kedua pemahaman ini. Baik yang mengucapkan selamat hari raya maupun yang menolak, sama-sama diberi tempat. Pemerintah baru bertindak, jika satu pihak menghalang-halangi pihak lain untuk mengekspresikan pandangannya. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan kekerasan.

Moderasi beragama yang diusung oleh pemerintah, sebagaimana yang disebutkan dalam buku putih Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Balai Litbang Kementerian Agama, setidaknya menekankan pada empat aspek; anti kekerasan, toleransi, kepatuhan pada konsensus bersama dan sikap akomodatif pada tradisi lokal.  

Dalam aspek toleransi yang menjadi salah satu bagian penting moderasi beragama tersebut, rupanya yang berkembang adalah apa yang disebut oleh Rainer Forst (2013) sebagai permission toleration atau conditional acceptance. Dalam program-program moderasi beragama, aspek toleransi yang disebut conditional acceptance tampaknya cukup mewarnai. Pertama-tama hal ini terjadi karena memang konstitusi negara kita menganut toleransi yang bersyarat ini, yakni menoleransi kebebasan beragama sejauh tidak mengganggu nilai moral, keamanan dan stabilitas negara. 

Toleransi dengan demikian, seperti yang diamati Hefner (2020) melalui pasal 28 J (2) UUD 1945 tidaklah mutlak, ia dapat diringkas atau dikurangi oleh negara demi kepentingan publik lainnya. Hal ini sejatinya, sebagaimana diakui oleh Jonathan Fox (2012), lazim pula terjadi di negara-negara demokratis-liberal lainnya. Tetapi masalahnya bagaimana menentukan nilai-nilai moral itu? Yang mana dimaksud dengan nilai-nilai moral? 

Dalam praktiknya, nilai moral ini biasanya mengacu pada nilai-nilai yang dianut oleh kelompok mayoritas. Dengan demikian, dalam sistem toleransi semacam ini, maka nyaris sulit menoleransi pemahaman dan tindakan kelompok sempalan, termasuk kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah, Baha'i, Syiah dan seterusnya.

Selain itu dalam moderasi beragama, khususnya yang diusung oleh pemerintah, masih terfokus pada anti kekerasan (radikalisme) dan toleransi. Kelompok konservatisme Islam melihat moderasi beragama hanyalah wacana yang digunakan untuk melawan radikalisme. Pandangan ini tidak terlalu berlebihan, setidaknya demikianlah jika kita geledah konsep moderasi beragama dari  pemerintah yang biasanya memang dimulai dengan mendudukkan isu ini sebagai counter radikalisme. Dalam Risalah Jakarta yang menjadi titik tolak muncul program moderasi beragama Kementerian Agama, misalnya, disebutkan; 'ekstremisme dan eksklusivisme yang memiliki motif politik adalah salah satu hal yang berbahaya dan perlu ditangkal.'  Beberapa ulasan perihal moderasi beragama pun masih terperangkap mendudukkannya, semata-mata, sebagai anti tesa dari radikalisme. Hal ini dapat dilihat, misalnya,  pada "Wasatiyyah Islam-nya" Syairazi (2020) maupun "Islam Radikal dan Moderat-nya," Jamil Wahab (2019).

Moderasi beragama dengan memilah kelompok beragama, khususnya umat Islam dalam dua kategori, yaitu Good Moslem dan Bad Moslem, seturut Margaretha et al (2021) adalah kelanjutan dari kebijakan dengan pendekatan keamanan dari negara-negara Barat dan Amerika. Pasca  pengoboman di WTC atau dikenal dengan peristiwa  9/11. Pemerintah negara Amerika dan Eropa, seperti tercermin dalam berbagai pidato George Bush maupun Tony Blair, memastikan bahwa agama menjadi persoalan utama kekerasan. Mereka lantas menyebut-nyebut adanya Muslim yang baik dan ada Muslim yang buruk. Muslim yang baik adalah mereka yang dianggap moderat, modern dan toleran. Sebaliknya, jika bersikap ekstrem dan fundamental apalagi menolak demokrasi, dianggap sebagai muslim yang buruk. Pendekatan ini tidak berubah setelah pendekatan keamanan mulai diganti dengan pendekatan yang lebih soft. Term Radical vs moderat masih menjadi kata kunci dalam program toleransi dan moderasi beragama. Selain itu ditambah lagi satu masalah, yakni politik identitas.  Beberapa program kebijakan moderasi beragama di Indonesia, sadar atau tidak, masih berangkat dari paradigma semacam ini.   

Pada titik yang lain, moderasi beragama ini bahkan dianggap sebagai alat pemerintah untuk mengawasi masyarakat. Semacam panopticon, demikian istilahnya jika kita ingin meminjam  teori Bentham bersaudara. Moderasi beragama menjadi semacam alat normalizing judgment. 

Istilah itu seturut yang dikatakan Michel Foucault (1975), adalah satu cara untuk mendisiplinkan masyarakat yang dalam kasus ini  dengan terlebih dahulu mengidentifikasi siapa yang radikal dan siapa yang moderat. Dalam posisi semacam itu, moderasi beragama seakan-akan mengembalikan ingatan kita pada istilah subversif yang sering digunakan oleh rezim orde baru pada masa lalu . 

Radikalisme agama sendiri dipandang tumbuh subur dan menyebar dengan cepat di masyarakat karena terjadi semacam, meminjam istilah Syafii Maarif, misguided arabism, yakni semacam kesilappahaman tentang arabisme dalam memahami ajaran Islam. Dengan kata lain radikalisme agama terjadi karena adanya pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam.  

Pandangan ini tentu saja tidak bisa dianggap keliru, karena dalam beberapa riset memang menunjukkan seseorang yang terjebak dalam radikalisme  karena pengaruh paham keagamaan tertentu. 

Beberapa kalangan yang berasal dari keluarga kaya, misalnya Abdul Subhan Qureshi, seseorang teroris yang menyerang dan meledakkan kereta api di Mumbai pada 11 Juli 2006  adalah anak muda kaya, pemegang proyek Wipro sejak 1999.  Dia tidak bermasalah secara ekonomi, tetapi karena terpapar pemahaman Islam yang keliru, akhirnya ia terjatuh menjadi seorang teroris.

Kendati harus diakui adanya pengaruh pemahaman keagamaan yang keliru, tetapi penyebab semacam itu tidak bisa ditarik ke horizon yang lebih luas. 

Mungkin dalam kasus tertentu bisa tepat, tetapi dalam kasus yang lain perlu pula melihat penyebab lainnya, misalnya malaise ekonomi, kegagalan modernisme sekularisme dan ketimpangan ekonomi. Demikianlah, menurut hemat saya dalam melihat berkembangnya radikalisme di Indonesia. 

Dan tepat dalam titik inilah, sependek pengamatan saya,  faktor-faktor lain semacam ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi tidak menjadi salah satu agenda penting dalam moderasi beragama yang diusung oleh pemerintah.  Berangkat dari sini, maka saya tertarik untuk selanjutnya dalam tulisan lain  ingin menulis bagaimana aspek keadilan dalam moderasi Islam sebagai satu hal yang sangat penting, sekaligus mencoba melihat sejarahnya dalam Islam dan bagaimana para penganjur Islam mengembangkannya di nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun