Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Kritis Moderasi (Beragama) di Indonesia

7 Agustus 2024   18:02 Diperbarui: 7 Agustus 2024   18:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satunya aturan tentang blasphemy dalam PNPS No.1/1965.  Demikian halnya, lembaga-lembaga pemerintah  mewajibkan satuan kerja di bawahnya untuk memasang poster dan spanduk ucapan selamat hari raya bagi setiap agama yang memperingati hari besarnya, tetapi di saat yang sama belum memiliki sikap yang jelas terhadap kelompok minoritas semacam Ahmadiah, Syiah ataupun Baha'i.

Dalam beberapa hal keterlibatan pemerintah dalam program moderasi beragama justru menempatkannya tidak lagi sebagai fasilitator atau wasit yang menjamin hak dan kebebasan setiap pemeluk agama untuk menghayati dan menjalankan agamanya. Pada titik tertentu pemerintah malah menunjukkan pemihakan. 

Dalam menyikapi pemahaman keagamaan yang konservatif, misalnya, pemerintah terkesan tidak memberikan tempat. Padahal paham keagamaan semacam itu adalah sesuatu yang juga hidup dan berkembang di Indonesia sejak lama. Ambillah contoh kasus ucapan selamat hari raya pada penganut agama yang berbeda.

Dalam kasus ini, pemerintah tidak harus berdiri di satu pihak, misalnya dengan ikut menganjurkan mengucapkan selamat hari raya pada agama lain. Posisi pemerintah dalam kasus ini seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan kepada kedua pemahaman ini. Baik yang mengucapkan selamat hari raya maupun yang menolak, sama-sama diberi tempat. Pemerintah baru bertindak, jika satu pihak menghalang-halangi pihak lain untuk mengekspresikan pandangannya. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan kekerasan.

Moderasi beragama yang diusung oleh pemerintah, sebagaimana yang disebutkan dalam buku putih Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Balai Litbang Kementerian Agama, setidaknya menekankan pada empat aspek; anti kekerasan, toleransi, kepatuhan pada konsensus bersama dan sikap akomodatif pada tradisi lokal.  

Dalam aspek toleransi yang menjadi salah satu bagian penting moderasi beragama tersebut, rupanya yang berkembang adalah apa yang disebut oleh Rainer Forst (2013) sebagai permission toleration atau conditional acceptance. Dalam program-program moderasi beragama, aspek toleransi yang disebut conditional acceptance tampaknya cukup mewarnai. Pertama-tama hal ini terjadi karena memang konstitusi negara kita menganut toleransi yang bersyarat ini, yakni menoleransi kebebasan beragama sejauh tidak mengganggu nilai moral, keamanan dan stabilitas negara. 

Toleransi dengan demikian, seperti yang diamati Hefner (2020) melalui pasal 28 J (2) UUD 1945 tidaklah mutlak, ia dapat diringkas atau dikurangi oleh negara demi kepentingan publik lainnya. Hal ini sejatinya, sebagaimana diakui oleh Jonathan Fox (2012), lazim pula terjadi di negara-negara demokratis-liberal lainnya. Tetapi masalahnya bagaimana menentukan nilai-nilai moral itu? Yang mana dimaksud dengan nilai-nilai moral? 

Dalam praktiknya, nilai moral ini biasanya mengacu pada nilai-nilai yang dianut oleh kelompok mayoritas. Dengan demikian, dalam sistem toleransi semacam ini, maka nyaris sulit menoleransi pemahaman dan tindakan kelompok sempalan, termasuk kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah, Baha'i, Syiah dan seterusnya.

Selain itu dalam moderasi beragama, khususnya yang diusung oleh pemerintah, masih terfokus pada anti kekerasan (radikalisme) dan toleransi. Kelompok konservatisme Islam melihat moderasi beragama hanyalah wacana yang digunakan untuk melawan radikalisme. Pandangan ini tidak terlalu berlebihan, setidaknya demikianlah jika kita geledah konsep moderasi beragama dari  pemerintah yang biasanya memang dimulai dengan mendudukkan isu ini sebagai counter radikalisme. Dalam Risalah Jakarta yang menjadi titik tolak muncul program moderasi beragama Kementerian Agama, misalnya, disebutkan; 'ekstremisme dan eksklusivisme yang memiliki motif politik adalah salah satu hal yang berbahaya dan perlu ditangkal.'  Beberapa ulasan perihal moderasi beragama pun masih terperangkap mendudukkannya, semata-mata, sebagai anti tesa dari radikalisme. Hal ini dapat dilihat, misalnya,  pada "Wasatiyyah Islam-nya" Syairazi (2020) maupun "Islam Radikal dan Moderat-nya," Jamil Wahab (2019).

Moderasi beragama dengan memilah kelompok beragama, khususnya umat Islam dalam dua kategori, yaitu Good Moslem dan Bad Moslem, seturut Margaretha et al (2021) adalah kelanjutan dari kebijakan dengan pendekatan keamanan dari negara-negara Barat dan Amerika. Pasca  pengoboman di WTC atau dikenal dengan peristiwa  9/11. Pemerintah negara Amerika dan Eropa, seperti tercermin dalam berbagai pidato George Bush maupun Tony Blair, memastikan bahwa agama menjadi persoalan utama kekerasan. Mereka lantas menyebut-nyebut adanya Muslim yang baik dan ada Muslim yang buruk. Muslim yang baik adalah mereka yang dianggap moderat, modern dan toleran. Sebaliknya, jika bersikap ekstrem dan fundamental apalagi menolak demokrasi, dianggap sebagai muslim yang buruk. Pendekatan ini tidak berubah setelah pendekatan keamanan mulai diganti dengan pendekatan yang lebih soft. Term Radical vs moderat masih menjadi kata kunci dalam program toleransi dan moderasi beragama. Selain itu ditambah lagi satu masalah, yakni politik identitas.  Beberapa program kebijakan moderasi beragama di Indonesia, sadar atau tidak, masih berangkat dari paradigma semacam ini.   

Pada titik yang lain, moderasi beragama ini bahkan dianggap sebagai alat pemerintah untuk mengawasi masyarakat. Semacam panopticon, demikian istilahnya jika kita ingin meminjam  teori Bentham bersaudara. Moderasi beragama menjadi semacam alat normalizing judgment. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun