Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rumah Yesus di Kota Santri

4 Desember 2021   11:24 Diperbarui: 4 Desember 2021   11:30 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak hanya dalam mengaji kitab, sehari-hari warga santri, khususnya di Campa dan Pambusuang, terbiasa pula dengan diskusi masalah keagamaan. Jika ada satu isu, mereka bisa melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

Saya tidak pernah menyangka, ketika suatu saat saya berada di sana dan sedang hangat-hangatnya isu tentang "penistaan agama oleh Ahok," ternyata banyak Anangguru menjadikannya bahan untuk diskusi ringan dengan berpedoman pada kitab-kitab klasik. Dan lebih tidak menyangka lagi, kesimpulan beberapa kalangan dari mereka; begitu terbuka dan mencerahkan.

Di Pambusuang, dengan pengajian tasawuf yang kuat, tradisi berdiskusi dan beradu argumen mengenai satu ajaran tasawuf ternyata menjadi kebiasaan di pos-pos ronda, di serambi rumah, bahkan ketika sedang istirahat di kebun.

Kebiasaan berdiskusi dengan pendapat yang beragam inilah yang membuat mereka tidak canggung, ketika muncul orang lain di sekitar mereka dengan keyakinan yang berbeda. Toh selama ini mereka sudah latihan untuk saling berbeda satu sama lain, kendati masih sama-sama Islam, bahkan sama-sama santri.

Dengan tradisi membaca kitab yang cukup kuat, masyarakat juga memiliki perbendaharaan pendapat ulama yang melimpah dalam hal menempatkan agama yang berbeda.  Mereka menjadi tahu bagaimana menempatkan seorang dzimmi (non muslim yang hidup damai dengan Islam) di tengah mayoritas Islam, mengerti bagaimana harus menjaga umat agama lain agar bisa beribadah dengan tenang dan juga paham bahwa tidak boleh menghina keyakinan agama lain, sebab itu sama saja dengan menghina keyakinan kita.

Merujuk pada Milner dan Walzer (2003), ada dua kata kunci untuk mewujudkan toleransi, yakni keadilan (justice) dan kesetaraan (equality). Yang pertama menghendaki sikap dan perilaku adil terhadap kelompok yang berbeda, kendati yang berbeda itu adalah kelompok minoritas dalam satu lingkungan. Yang kedua adalah kesetaraan dalam segenap aspek kehidupan.

Kata keadilan inilah yang sering saya dengarkan diulang-ulang oleh beberapa Annangguru yang saya wawancarai. Terhadap siapa pun Islam harusnya meletakkan keadilan sebagai kata kunci. Sikap yang adil antara lain ditunjukkan dengan memberikan kesempatan pada agama lain beribadah dan mendirikan rumah ibadat.

Muslim santri yang merupakan warga mayoritas di tempat ini, bisa saja sebenarnya menghalangi pendirian rumah ibadat agama lain. Alasannya bisa macam-macam atau bisa dibuat macam-macam, tetapi itu sama sekali tidak dilakukan. Mereka secara sadar tidak mengganggu pendirian Gereja tersebut karena memahami betul, konsep keadilan dalam Islam. 

Seturut kata Andrew Cohen (2004), toleransi pada dasarnya adalah  "tindakan yang disengaja oleh seorang dengan prinsip menahan diri dari campur tangan, sekalipun dia meyakini memiliki kekuatan untuk mengganggu."  Jadi secara sengaja (intent) untuk tidak mengganggu (non interference).  Russel Powel dan Steve Clarke (2002) memperjelas dengan menyebut contoh: "sekelompok penganut Katolik membolehkan agama lain beribadah di lingkungannya, meski dia memiliki kemampuan untuk melarang, sebab mereka mayoritas di tempat itu."

Jika ingin membandingkan dengan muslim santri di Polman ini, maka persis selaras dengan contoh Powel dan Clarke di atas.  Para Muslim Santri itu mayoritas, tetapi membolehkan agama lain mendirikan rumah ibadat dan beribadah secara bebas. Padahal mereka punya kemampuan untuk melarang, toh mereka mayoritas. Tetapi itu tidak dilakukan.

Mereka membolehkan agama lain beribadah secara bebas, karena mereka sadar Islam justru mengajarkan untuk menghargai penganut agama lain. Dari mana kesadaran itu muncul? Tidak lain dari dunia pesantren yang selama ini telah menjadi ruh dalam kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun