Boleh dikata, sebagai sebuah daerah dengan mayoritas umat Islam, tradisi kepesantrenan telah menjadi ruh dari Polewali Mandar. Tradisi ini diwariskan sundut menyundut mulai dari generasi awal Islam pada abad XVI, oleh Abdurrahim Kamaluddin (dalam versi lain Abdurrahman Al-Adiy atau guru Gaqde) , hingga sampai pada generasi hari ini.
Gereja di Kota Santri
     Â
Namanya Jalan Kartini, tetapi orang lebih mengenalnya sebagai Jalan Baru. Â Memang jalan dua jalur di tempat itu, dibangun belakangan, setidaknya jika dibandingkan dengan jalan poros utama yang membelah kota Polman selama ini.
Selain perumahan penduduk dan sawah-sawah yang membentang cukup luas, kita akan disuguhkan dengan pemandangan Gereja yang berdiri berjejer-jejer di jalan ini. Satu dua saya melihat ada Surau yang menyelinginya, tetapi jumlah Gereja memang cukup banyak. Â Ada Gereja Toraja Mamasa yang menjulang megah, Gereja Katolik, Gereja Petra, Tabernakel, Siloam dan seterusnya. Â
Tentu Gereja tidak hanya di Jalan Baru ini, di tempat yang lain juga bisa kita saksikan Gereja berdiri adem, tanpa diusik oleh masyarakat sekitar yang mayoritas muslim santri. Tercatat ada 46 gereja, dengan penganut agama Kristen 6353 warga dan ada 1316 jemaat Katolik. Â Â Â Â Â
Dengan tradisi keislaman pesantren yang sangat kuat, Polman ternyata sangat terbuka menerima perbedaan. Keberadaan agama-agama lain beserta rumah ibadatnya dapat diterima dengan baik. Â
Mengenai penerimaan atas berdirinya rumah ibadat lain, khususnya Gereja, Â patut mendapat catatan tersendiri. Â Sebab jika hanya semata berpatokan pada regulasi PBM 9 & 8, maka mungkin kita tidak bisa menyaksikan Gereja yang berdiri berderet dan dalam jumlah yang cukup banyak.Â
Jika ditelisik, maka kearifan lokal yang tumbuh dari budaya sipamandaq (satu kesatuan keluarga atas nama kemandaran),  menjadi salah satu kunci toleransi di kota ini.  Saya secara bercanda tapi (sebenarnya) serius, bilang dalam salah satu forum: "ini disebut 'ukhuwah mandariyah' (lain kali kita bahas ini)."  Sudah barang tentu bukan hanya faktor sipamandaq  itu, peran organisasi keagamaan, FKUB dan pemerintah juga tidak bisa disisihkan begitu saja dalam merawat keragaman di kota ini. Â
Namun demikian, ada satu kunci lain yang menjadi fondasi dari toleransi warga itu, yakni tradisi santri dan kepesantrenan. Pada kesempatan ini saya ingin menitik beratkan tulisan ini pada modal tradisi kepesantrenan sebagai kunci penerimaan terhadap keragaman tersebut.
 Tidak seperti yang selama ini diasumsikan oleh beberapa sarjana, khususnya peneliti Barat, yang mana pesantren diletakkan sebagai sarang radikalisme, pesantren di Polman justru menjadi ruang untuk merawat perbedaan. Pesantren-pesantren di Polewali Mandar ternyata dalam mempelajari khazanah keislaman, tidak bersifat doktrinal. Melalui pembelajaran kitab, khazanah keislaman diajarkan dengan pendapat yang beragam. Inilah yang menjadikan santri terbiasa dengan perbedaan.