Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Klepon (Onde-onde) Pernah Musyrik

25 Juli 2020   17:22 Diperbarui: 25 Juli 2020   17:13 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kue klepon tidak Islami: Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami."

Begitulah bunyi meme yang muncul disertai dengan gambar kue klepon. Dalam meme itu tertulis nama Abu Ikhwan Azis. Tidak tunggu waktu lama, meme ini segera banjir komentar dan viral di jagat media sosial.

Tanggapan atas meme viral ini beragam bentuknya. Ada yang mengejeknya sebagai sikap puritan yang berlebihan, mabuk agama, tetapi juga ada yang melihatnya sebagai false flag. Dalam pandangan yang terakhir ini diasumsikan, meme itu justru sengaja disebar oleh kaum yang anti terhadap kelompok syar'i untuk menjatuhkan citra kelompok  tersebut.

Apa pun perdebatan tentang meme itu, saya cukup menikmati viralnya perdebatan soal onde-onde ini  sebagai satu hal yang cukup menghibur. Tetapi benarkah klepon ini tidak islami atau tidak syar'i? Saya malah ingin katakan, kudapan yang di Bugis-Makassar ini disebut onde-onde atau umba-umba, dulunya, bukan sekedar tidak syar'i, tetapi malah pernah jadi musyrik.

Nah loh...., baru tahu kan bahwa penganan satu ini pernah jadi musyrik. Bagaimana bisa bah.....kue jadi musyrik.  

Baiklah, saya ceritakan kisahnya. Dulu dalam masyarakat Bugis-Makassar memiliki kepercayaan tentang adanya makhluk-makhluk to tenri ita (makhluk tak kasat mata). 

Mereka disebut dengan bermacam-macam nama. Ada longga, memmang, lamporo dan seterusnya. Itu di Bugis-Makassar, entah di daerah lain. Mereka ini adalah makhluk tak kasat mata yang sering usil terhadap manusia. Tidak hanya usil, makhluk-makhluk itu sering sekali mendatangkan musibah atau sakit pada orang-orang tertentu.

Agar makhluk ini tidak melakukan keisengan yang berbahaya, manusia lantas melakukan ritual persembahan. Ritual itu disebut dengan ritual massompa. Ritual ini, semacam ritual bujuk rayu terhadap makhluk to tenri ita ini agar tidak berbuat hal-hal yang merugikan manusia. 

Halilintar Latief, budayawan Sulawesi-selatan, menyebut ritual itu semacam cara menyogok para makhluk tak kasat mata agar tetap tenang-tenang saja. Mirip nyogok pada seorang pejabat agar usaha lancar-jaya atau semacam jatah preman-lah....

Dalam ritual massompa itu disiapkanlah berbagai sesajian yang akan dipersembahkan pada makhluk to tenri ita.  Sesajian itu antara lain: beberapa makanan, binatang yang disembelih, kepala kerbau dan darah binatang. Termasuk di dalamnya adalah beberapa kudapan. Salah satu kudapan itu adalah onde-onde atau umba-umba alias klepon.

Jika boleh meminjam istilah Roberton Smith, maka ritual semacam ini disebut dengan upacara bersaji. Sebuah ritual yang secara sengaja menyajikan sesajenan dan di antara sesajenan itu adalah darah yang sengaja dipersembahkan pada makhluk gaib atau kekuatan tertentu yang tidak terlihat.

Terang benderang kan wahai akhi dan ukhti....onde-onde terbukti ikut serta dalam ritual yang ada bau-bau kemusyrikannya.  Jelas sudah beliau, si onde mande eh...onde-onde itu adalah pelaku atau setidaknya mendukung sebuah kemusyrikan terjadi.

Tetapi dulu ulama kita arif bijaksana. Onde-onde tidak buru-buru dituduh musyrik. Tidak dipublikasikan ke mana-mana bahwa si onde-onde ini tidak syar'i. Pelan-pelan onde-onde malah diajak hijrah.

Caranya gimana? Ulama kita tidak membuat hijrah fest atau semacamnya. Wadah sama sekali tidak diubah. Ulama-ulama kita tetap mempersilahkan melakukan ritual, tetapi makanan-makanan, termasuk si onde-onde tidak lagi menjadi sesajenan untuk dipersembahkan. Seluruh makanan dimakan bersama oleh khalayak yang hadir dalam ritual.

Agar tidak diganggu makhluk halus, warga diajak berdoa. Berdoa pada Tuhan seru sekalian makhluk, termasuk makhluk to tenri ita. Tetapi doa-doa yang diajarkan melalui simbol-simbol, bukan doa-doa dalam bentuk teks Arab. Ulama kita paham, warga bisa repot lidahnya jika langsung diminta hafal doa sebelum makan. Maka seluruh ornamen yang hadir dalam upacara itu, memiliki simbol-simbol yang mengandung makna pengharapan. Termasuk dalam hal ini makanan dan kudapan.

Karena itu, jika Anda melihat orang Bugis Makassar naik rumah baru lalu di palang kayunya digantung sesisir pisang, sebutir kelapa dan gula, maka itu bukan lagi makanan yang akan dipersembahkan pada makhluk tak kasat mata. Semuanya itu telah menjadi simbol pengharapan. Semacam doa tanpa kata-kata. 

Sesisir pisang, misalnya, maknanya adalah supaya rezeki yang punya rumah bersisir-sisir datangnya (melimpah ruah). Kelapa bermakna, agar hidup si empunya rumah lezat bagai santan. Sementara gula artinya, semoga perjalanan hidup yang punya rumah senantiasa semanis gula.

Lalu bagaimana dengan onde-onde? Onde-onde pun demikian. Bahkan mulai dari pembuatannya sudah memiliki makna yang dalam. Lihatlah ketika onde-onde diturunkan ke tempat untuk memasaknya, mulanya kecil, tetapi lama-lama mengembang. Itulah mengapa di Makassar disebut juga umba-umba. Maknanya apa? Tidak lain agar yang punya hajatan semakin berkembang kehidupannya menjadi lebih baik.

Sementara itu bagian dalam onde-onde adalah gula yang legit, luarnya adalah kelapa yang gurih. Sekali lagi hal itu menyiratkan simbol agar hidup yang dijalani selalu terasa nikmat. Manis di dalam lezat di luar.

Perubahan dari ritual yang selalu mementingkan adanya persembahan terhadap makhluk tak kasat mata, menjadi semacam simbol permohonan, itulah yang disebut dengan assenu-senureng. Karena itulah ritual-ritual selamatan di Bugis-Makassar sering kali juga disebut assenu-senureng.

Assenu-senureng ini sudah islami sekali, karena memang merupakan hasil dari sebuah proses transformasi dari ulama terhadap ritual lokal. Bukankah dengan demikian telah terjadi islamisasi budaya? Untuk hal ini perlu penjelasan lain. Soalnya di saat yang sama, tradisi lokal sendiri melakukan semacam negosiasi dan resistensi tertentu.  Tetapi untuk sementara kita tidak akan jelaskan di sini.

Kita kembali ke assenu-senureng  yang dikatakan tadi telah menjadi islami. Mengapa Islami? Merujuak pada penjelasan salah seorang Kiai (kali ini sengaja saya tidak kutip namanya), dulu Nabi Muhammad SAW juga sering melakukan hal semacam ini. Ketika ada yang naik rumah baru misalnya, Nabi SAW biasanya mengajak orang yang memiliki nama bagus. 

Orang inilah yang diminta Rasulullah sebagai orang pertama masuk dalam rumah tersebut. Hal ini tentu adalah simbol permohonan, agar yang punya rumah senantiasa mendapatkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana nama orang yang pertama menjejakkan kaki di rumahnya. Bukankah apa yang dilakukan oleh Nabi SAW itu tidak lain adalah assenu-senureng?

Kalau assenu-senureng dapat ditemukan jejaknya pada sunnah Nabi SAW, maka ritual yang telah berubah menjadi assenu-senureng itu bukankah sudah sangat syar'i?  Kalau demikian, maka onde-onde yang hadir sebagai pendukung utama ritual assenu-senureng ini, telah bergeser menjadi pendukung kegiatan syar'i.   

Yang luar biasa dari onde-onde ini adalah posisinya kini yang selalu hadir dalam ritual syukuran, dan selamatan. Begitu pun onde-onde telah menjadi pendukung utama  acara keagamaan, misalnya akikah, selamatan naik haji, syukuran masuk bulan Ramadhan, peringatan Asyura, Maulid Nabi SAW, Isra mikraj, menyambut bulan Muharram dan seterusnya.

Dalam masyarakat Bugis-Makassar, Onde-onde menjadi tujuh kudapan yang semestinya ada dalam satu ritual selamatan, syukuran ataupun acara keagamaan itu. Ia selalu bersisian dengan cucuru bayao,  sawalla, beppa oto', katirri sala, pejja-pejja dan beppa oto. 

Dengan demikian teranglah sudah wahai akhi dan ukhti,  onde-onde ini telah mengalami hijrah.  Ia tidak lagi menjadi pendukung acara-acara yang berbau khurafat dan musyrik. Sebaliknya kini si onde-onde menjadi penunjang utama acara-acara keagamaan. Apalagi yang ritual musyrik tadi telah berubah menjadi ritual syar'i yang bernama assenu-senureng.

Tetapi masa sih klepon alias onde-onde pernah jadi musyrik? Bukankah selama makanan itu halalan tayyiba (halal dan baik bagi seseorang), maka semua itu sudah islami?

Saya juga bingung, kenapa saya menyebutnya pernah musyrik!!       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun