Ignatius Yohanes demikianlah namanya. Pria berkacamata dengan serban yang dililit di kepala. Tampil di depan umat Islam dan mengaku seorang mualaf. Walaupun mualaf, tetapi gayanya sudah meyakinkan. Mirip seorang dai kondang atau seorang ustaz. Ini soal penampilan ya....! Soal ilmu saya tidak paham, saya tidak pernah mengorek hal itu lebih dalam.
Namun, konon, Ia tak hanya mengaku seorang mualaf.  Yohanes juga mengaku lulusan sebuah sekolah di Vatikan. Lebih istimewa lagi, ia mendaku anak seorang Kardinal. Maksud dari pengakuannya itu tak sulit diraba.  Tentu ia ingin menunjukkan bahwa dirinya  adalah orang istimewa di Kristen.  Bukan Kristen kaleng-kaleng. Dengan demikian dia sangat paham Kristen dan karena itu jika dia menjelek-jelekkan agama, yang konon pernah dianutnya itu, maka sangat otoritatif , faktual dan dahsyat.
Segerombolan umat Islam pun terpukau dibuatnya. Mereka seakan menemukan senjata untuk membongkar borok agama umat lain. Yohanes pun dipanggil ke mana-mana. Mendadak jadi dai kondang. Â
Hingga akhirnya beberapa orang mengungkap kejanggalan dari pengakuan Yohanes ini. Dia Kristen tapi mengaku anak kardinal. Bukannya kardinal itu gelar rohani dalam Katolik. Bukankah pula para kardinal itu hidupnya selibat, jadi bagaimana caranya ujuk-ujuk punya anak?
Ignatius Yohanes tidak sendiri dalam hal ini. Sederet nama mualaf seiras seirama dengan Yohanes. Mereka pindah agama, mengaku di agama sebelumnya adalah orang terpandang, kemudian sibuk mencaci maki agama yang dianut sebelumnya. Nama-nama seperti Irene Handoko, Bangun Samudra dan Yahya Waloni adalah sebagian di antaranya.
Namun perilaku ini bukan hanya terjadi pada diri mualaf. Beberapa orang Islam yang pindah ke Kristen atau Katolik juga berlagak serupa. Saat pindah ke rumah baru, rumah lama dicaci maki. Ibarat habis manis sepahnya dibuang. Â Seperti halnya sebagian umat dalam Islam, beberapa umat di Kristen atau Katolik pun menyambut semringah mereka yang pindah agama lalu mencaci agama sebelumnya.Â
Umat beragama telah sering diperingati. Telah banyak ulasan, berjibun artikel dan berkali-kali petuah dari tokoh agama; Â "Jangan mudah percaya dengan mulut orang-orang yang baru pindah agama, lalu memburuk-burukan agama sebelumnya." Mereka dianggap hanya cari nama, Â dapat panggung, lalu meraih untung.
Namun seperti anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, begitulah sebagian dari umat ini. Mereka tidak peduli dengan kejanggalan, peringatan dan kemungkinan terjadinya pecah belah umat. Â Mereka tetap antusias mendengarkan.
Sampai di sini, saya teringat dengan secuplik kisah Minke dalam Bumi Manusia-nya Pram itu. Fragmen ketika Robert Suurhof mengajak Minke ke rumah Annelis untuk berkenalan. Robert Suurhof adalah seorang Indo Belanda dan Minke adalah pribumi. Suurhof mengajak Minke ke rumah Annelis tidak lain karena dia butuh objek yang bisa diperolok-olok. Dengan adanya Minke yang bisa dia jatuhkan, baik dari segi penampilan maupun keturunan, Suurhof merasa dirinya akan cemerlang di mata Annelis.
Jangan-jangan sebagian umat beragama dihinggapi penyakit Suurhof ini. Untuk meninggikan agamanya, maka mereka perlu agama lain yang bisa direndahkan. Agar agamanya terkesan cemerlang, adiluhung, kudus dan sederet istilah hebat lainnya, mereka butuh objek yang bisa diolok-olok.
Sikap semacam ini, khususnya di Islam yang saya kenal, justru tidak dibenarkan. Mengolok-olok agama lain atau sesembahan agama lain, justru bisa berakibat umat agama lain akan berbalik mengolok-olok agama kita.  Ibn Katsir menafsirkan surah Al-An'am  ayat 108 yang melarang mengolok-olok sesembahan agama lain dengan mengatakan: andai pun mengolok-olok agama lain mendatangkan manfaat, maka mudaratnya tetaplah lebih besar. Karena itu mengolok-olok (sesembahan) agama lain tidak dibenarkan.
Kecemerlangan Islam justru terlihat dari sifat dasarnya yang menyelamatkan, damai dan santun. Â Menjadi Islam, artinya memiliki komitmen untuk menebarkan kedamaian (rahmat) bagi seluruh mayapada ini.
Seseorang yang berikrar memeluk agama Islam seharusnya meninggikan agamanya dengan menunjukkan bahwa agama ini adalah agama yang luhur. Kalau Anda yakin agama ini luhur, tentu tidak perlu mencari objek untuk dijelek-jelekkan. Cukup Anda ikut serta berperan menyingkap keagungan agama ini.
Karena itu, bagi mualaf, bantulah Islam ini untuk menyingkap tirai-tirai yang menutupi kecemerlangannya. Jika Anda memiliki ilmu, amalkan ilmu itu untuk menggali pengetahuan dalam Islam. Cerdaskanlah umatnya dan bangunlah peradabannya.
Jika Anda tidak memiliki cukup ilmu seperti yang saya sebut tadi, cukup tunjukkan kesejukan dan kedamaian agama Islam. Â Imam Al-gazali menyantakan: "an-nazhara ila kaffati khalqillah ta'ala bin ain ar-rahmah wa tark al-mamarah" (Tataplah seluruh makhluk Allah dengan mata kasih sayang dan hindarilah perdebatan (olok-olok) dan pertentangan).
Saya hanya heran dengan kebiasaan segelintir mualaf yang hobi mencaci maki agama sebelumnya. Apa sih yang menjadi motivasinya? Bukankah seseorang yang dapat hidayah, seharusnya tidak perlu lagi mengingat masa lalunya. Â Kalau hanya ingin mencari Tuhan, bukankah seharusnya setelah berada di rumah yang diyakini Tuhan berada di situ, seharusnya Anda berasyik-masyuk dengan Tuhan. Untuk apa mengingat makhluknya lagi? Apalagi jika ingatan itu hanya menimbulkan kebencian.
Jangan-jangan orang semacam itu tidak sedang mencari Tuhan. Siapa tahu mereka hanya mencari nama, ingin terkenal lalu dapat panggung. Jika itu yang menjadi motivasinya, maka pantaslah jika pindah agama itu tercela dalam semua agama. Â
Islam menjuluki mereka murtad. Orang murtad konsekuensinya gawat.  Mereka masuk dalam gerbong dosa-dosa berat. Bahkan di dunia pun, orang murtad bisa dihukum mati, begitu konfirmasi beberapa literatur fikih. Dalam ajaran Kristen orang murtad  akan membuat Allah murka. Dosa mereka tidak terampuni.
Bisa jadi konsekuensi berat terhadap orang pindah agama ini, bukan semata-mata persoalan teologi.  Bahkan mungkin juga  teologi bukan alasan utama. Tetapi konsekuensi berat itu dijatuhkan, karena sering kali motivasi orang pindah agama, bukan karena mencari kesejatian diri. Bukan pula ingin menemukan Tuhan yang sejati. Tetapi pindah agama hanya karena motivasi duniawi.Â
Mereka yang pindah agama karena motivasi duniawi, maka orientasinya adalah materi dan panggung ketenaran. Â Biasanya mereka dengan orientasi inilah, yang mudah mengejek dan menistakan agama sebelumnya. Ujung dari sikap ini adalah: perbedaan semakin mengeras dan pecah belah umat tidak bisa dihindari. Â Kalau begitu akhirnya, masihkah kita akan gembira jika ada yang menjadi mualaf?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H