Melawan dengan kata-kata, mungkin Widji Tukullah ahlinya. Melalui syair dan puisinya, Ia menantang kekuasaan yang agul. Â Rezim besi orde baru dibuat berang dengan puisi-puisinya yang secara terang benderang dan lugas sedang melakukan perlawanan. Â Simaklah sebait puisinya ini:
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
 Dituduh Subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: Lawan!"
Namun jika  ingin menemukan sosok yang pandai bermain kata-kata untuk mengejek  kekuasaan, mungkin kita perlu melirik komunitas lokal dan para kaum marginal. Tidak seperti Widji Tukul yang dengan sengaja dan lugas merangkai syair-syair puisinya, kemampuan bermain kata-kata dari komunitas lokal ini terbentuk secara kultural. Kemampuan bermain kata-kata itu menjadi budaya bahasa tertentu. Terbentuk dari pengalaman panjang berhadapan dengan penetrasi dan dominasi dari berbagai bentuk kekuasaan.
Baru-baru ini, misalnya, kita disuguhkan tontonan menarik, menggelikan tapi sekaligus mengejek kekuasaan, dari seorang nenek jelata dari Madura. Nenek tersebut, tentu saja dibantu dengan orang lain, muncul di video dalam bahasa Madura mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Situbondo atas bantuan yang diberikan kepada dirinya yang mengalami kesulitan akibat wabah buronan (corona).Â
Ketika ditanya oleh yang memvideokan, apakah memang sudah diberi bantuan. Si Nenek menjawab: "Belum". Â Lalu si nenek menyambung, apa yang dia katakan itu hanya latihan (contoh) agar nanti bisa mengucapkannya kalau betul-betul sudah mendapat bantuan dari pemerintah.
Konon, menurut kabar berita, keesokan harinya, pemerintah setempat pun mendatangi kediaman si nenek untuk memberikan bantuan. Si Nenek dari Madura ini melalui strategi wicara tertentu telah "menyindir" prosedur pemberian bantuan dalam situasi pagebluk  corona saat ini.
Memang hari-hari terakhir ini, santer kabar berita bahwa di beberapa daerah, bantuan dari pemerintah  sering kali nyasar ke orang-orang yang tidak tepat.  Sementara orang yang membutuhkan; para fakir-miskin dan yang  terdampak covid-19,  malah tidak mendapatkan bantuan apa-apa. Kalau masyarakat lainnya bungkam seribu bahasa, si nenek Madura mengejek itu melalui strategi wicara.
Dalam hal permainan wicara ini, rakyat Madura memang ahlinya. Banyak cerita yang menunjukkan bagaimana lawan bicara mereka kelimpungan, ketika beradu kata-kata dengan orang Madura ini. Apa yang disampaikan oleh nenek dalam video tersebut hanyalah salah satu contohnya. Â Â
Kisah  lain, yang sangat masyhur, adalah cerita tentang seorang pejabat yang datang ke Madura. Cerita ini entah benar atau tidak, tetapi sekali lagi menunjukkan strategi wicara orang-orang Madura mengelak dari perintah.
Konon pejabat tersebut meminta orang Madura mengukur tinggi sebuah tiang bendera. Perintah yang sesungguhnya aneh, tetapi apa mau dikata, kalau pejabat yang memerintah, rakyat hanya bisa nunut.
Salah seorang dari orang Madura yang hadir dengan sigap langsung memanjat tiang bendera sambil membawa meteran. Belum sampai di pucuk tiang bendera, Sang Pejabat yang khawatir melihatnya, segera menyuruhnya turun.
      "Untuk apa memanjat tiang bendera?" Tanya sang pejabat
      "Untuk mengukur tinggi tiang bendera ta....ye....pak."  Kata orang Madura dengan logat khas Maduranya.
      "Kamu salah, kalau mau mengukur tinggi tiang bendera, tidak perlu memanjat. Cukup turunkan tiang benderanya, rebahkan ke tanah, lalu ukur" Sang Pejabat memberikan penjelasan.
      "Tak bisa ta..ye... pak, kalau tiangnya kita turunkan ke tanah lalu diukur memanjang, itu bukan mengukur tinggi pak, tapi mengukur panjang."
Sang pejabat tertegun, Ia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban semacam itu. Tetapi akhirnya dia tidak memberikan lagi perintah apa-apa.
Sepintas apa yang diucapkan orang Madura ini adalah cara berkomunikasi biasa yang berlangsung dua arah. Tetapi sejatinya komunikasi ini telah memelesetkan komunikasi dari logika umum. Lawan bicara pun bisa jadi dibuat bingung. Tujuan semula untuk menancapkan kekuasaan lewat cara komunikasi yang terkesan terdidik, ambyar seketika.
Strategi linguistik semacam ini, tentu bukan hanya milik orang-orang Madura semata. Orang-orang Samin atau Sedulur Sikep yang hidup di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Bahasa yang terkesan  kasar dan rendah tetapi efektif digunakan untuk melawan para mandor hutan dan pejabat Belanda.
Sementara di Sulawesi Selatan, terdapat To Lise (Orang Lise) yang bermukim di kecamatan Panca Lautan, Sidenreng Rappang. Mereka menggunakan bahasa bugis yang disebutnya "ada tongeng" (bahasa apa adanya). Orang luar To lise menyebutnya sebagai lecco-lecco ada (bahasa retoris yang tidak masuk akal).
Sebutan orang luar To Lise yang menganggap itu hanya sekedar lecco-lecco ada, tidak lain karena mereka tidak bisa memahaminya sesuai dengan logika umum bahasa yang berkembang di masyarakat.Â
Sebaliknya, melalui cara berkomunikasi ada tongeng ini, To lise sering kali membuat lawan bicaranya tidak bisa melanjutkan perbincangan. Bahkan melalui cara berkomunikasi itu To Lise bisa membuat satu perintah menjadi buyar dan kekuasaan tidak berdaya.Â
Simaklah cerita To Lise ini ketika suatu saat diperintah oleh camat untuk mengumpulkan sapi-sapinya di lapangan. Sapi-sapi tersebut mau diberi cap dan diperjelas administrasinya. Orang-orang Lise mematuhi perintah tersebut, mereka mengumpulkan sapi di lapangan, tetapi para pemiliknya sendiri bubar. Â Petugas yang ingin memberi cap pada sapi-sapi tersebut jadi bingung karena tidak mengerti siapa-siapa saja pemilik sapi di lapangan itu.Â
Ketika pemerintah setempat menanyakan kepada orang Lise, mengapa hanya mengumpulkan sapinya di lapangan dan mereka tidak ada yang hadir? To Lise menjawab polos: "Yang diperintahkan hanya mengumpulkan sapi di lapangan, tidak ada perintah agar pemiliknya juga berkumpul.  Pemerintah setempat hanya bisa melongo dan kala itu program  cap sapi itu pun gagal-ambyar.    Â
Strategi komunikasi To lise  ini tidak terlihat secara kasat mata sebagai resistensi pada sebuah kekuasaan. Pola komunikasi semacam ini adalah resistensi di belakang layar (hidden resistance)  atau semacam ungkapan terselubung (hidden transcripts) sebuah perlawanan,  begitu dalam istilah James C. Scoot.  Komunitas To Lise tidak terang-terangan menolak, apalagi menolak dengan  mengerahkan massa.  Mereka melawan dengan "ada tongeng." Perlawanan yang terselubung dan tidak gegap gempita, tetapi terbukti bisa menawar kekuasaan.
Cara berkomunikasi ala To Lise ini juga digunakan oleh salah seorang pimpinan tarekat yang disesatkan di salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Dalam sebuah forum dialog yang digelar oleh Organisasi Keagamaan Pemerintah, pimpinan tarekat ini ditanya tentang ajarannya. Ia pun menjelaskan beberapa hal termasuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan orang munafik.
Orang munafik, menurut penjelasan pimpinan tarekat ini, ciri-cirinya suka berbohong. Lalu dia memberi contoh orang yang suka bohong, yakni orang yang mengatakan "air sudah jalan" (Di Bugis-Makassar kalau air telah mengalir disebut air sudah jalan).
"Itulah contoh orang munafik". Kata pimpinan tarekat ini. Â
"Mengapa bisa?" Tanya hadirin.
Menurutnya, mustahil air bisa jalan, sebab air tidak memiliki kaki. Dengan demikian orang yang mengatakan "air sudah jalan", sudah pasti bohong. Mendengar penjelasan dari pimpinan tarekat ini, semua yang hadir dalam forum itu pun tertawa sekaligus gemas. Tetapi akhirnya tidak ada lagi yang berminat bertanya, dan forum pun bubar.
Para antropolog sudah lama meyakini bahwa bahasa bagi orang-orang Madura, komunitas Samin, To Lise dan semacamnya, tidak semata-mata digunakan untuk berkomunikasi, tetapi juga menjadi sarana negosiasi, membangun identitas  dan juga merupakan cara agar bisa tetap surfive.
Bagi yang terbiasa melawan dengan terang-terangan, demonstrasi, menggelar aksi massa apalagi yang ingin melakukan revolusi, cara-cara bertahan semacam ini boleh jadi dianggap naif. Tetapi banyak sekali catatan para antropolog, seperti James C. Scott, Steve Crawshaw atau pun John Jackson yang menunjukkan, perlawanan dalam bentuk kebudayaan, semacam cara berkomunikasi To lise ini, yang membuat komunitas bersangkutan bisa menjadi penyintas.Â
Kekuasaan bisa menemui jalan buntu dan perubahan kebijakan mau tidak mau harus dilakukan, karena tindakan-tindakan kecil yang dilakukan oleh komunitas lokal. Saya meyakini hingga detik ini, berbagai komunitas lokal bisa tetap hadir di Indonesia, karena cara-cara bertahan melalui kebudayaan tersebut.
Para komunitas itu tidak perlu menyusun semacam gerakan organik, sebab praktik kebudayaan sehari-harinya adalah bentuk perlawanan itu sendiri. Â Every day form of resistance, begitu James C. Scott menyebutkannya.
Di tengah situasi saat ini, di mana begitu banyak kebijakan pemerintah yang rasa-rasanya tidak berpihak pada rakyat kecil dan masyarakat pinggiran, cara-cara negosiasi kultural ala komunitas lokal ini patut kita simak kembali. Â Sebab bagaimanapun kecilnya ranting yang tertanam kuat di sungai, ia tetap bisa membelokkan arus sungai yang deras. Begitulah, kurang lebih, Â ungkapan Crawshaw. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H