Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersiasat dengan Bahasa

21 Mei 2020   10:52 Diperbarui: 11 Juli 2020   10:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutan orang luar To Lise yang menganggap itu hanya sekedar lecco-lecco ada, tidak lain karena mereka tidak bisa memahaminya sesuai dengan logika umum bahasa yang berkembang di masyarakat. 

Sebaliknya, melalui cara berkomunikasi ada tongeng ini, To lise sering kali membuat lawan bicaranya tidak bisa melanjutkan perbincangan. Bahkan melalui cara berkomunikasi itu To Lise bisa membuat satu perintah menjadi buyar dan kekuasaan tidak berdaya. 

Simaklah cerita To Lise ini ketika suatu saat diperintah oleh camat untuk mengumpulkan sapi-sapinya di lapangan. Sapi-sapi tersebut mau diberi cap dan diperjelas administrasinya. Orang-orang Lise mematuhi perintah tersebut, mereka mengumpulkan sapi di lapangan, tetapi para pemiliknya sendiri bubar.  Petugas yang ingin memberi cap pada sapi-sapi tersebut jadi bingung karena tidak mengerti siapa-siapa saja pemilik sapi di lapangan itu. 

Ketika pemerintah setempat menanyakan kepada orang Lise, mengapa hanya mengumpulkan sapinya di lapangan dan mereka tidak ada yang hadir? To Lise menjawab polos: "Yang diperintahkan hanya mengumpulkan sapi di lapangan, tidak ada perintah agar pemiliknya juga berkumpul.  Pemerintah setempat hanya bisa melongo dan kala itu program  cap sapi itu pun gagal-ambyar.        

Strategi komunikasi To lise  ini tidak terlihat secara kasat mata sebagai resistensi pada sebuah kekuasaan. Pola komunikasi semacam ini adalah resistensi di belakang layar (hidden resistance)   atau semacam ungkapan terselubung (hidden transcripts) sebuah perlawanan,  begitu dalam istilah James C. Scoot.  Komunitas To Lise tidak terang-terangan menolak, apalagi menolak dengan  mengerahkan massa.  Mereka melawan dengan "ada tongeng." Perlawanan yang terselubung dan tidak gegap gempita, tetapi terbukti bisa menawar kekuasaan.

Cara berkomunikasi ala To Lise ini juga digunakan oleh salah seorang pimpinan tarekat yang disesatkan di salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Dalam sebuah forum dialog yang digelar oleh Organisasi Keagamaan Pemerintah, pimpinan tarekat ini ditanya tentang ajarannya. Ia pun menjelaskan beberapa hal termasuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan orang munafik.

Orang munafik, menurut penjelasan pimpinan tarekat ini, ciri-cirinya suka berbohong. Lalu dia memberi contoh orang yang suka bohong, yakni orang yang mengatakan "air sudah jalan" (Di Bugis-Makassar kalau air telah mengalir disebut air sudah jalan).

"Itulah contoh orang munafik". Kata pimpinan tarekat ini.  

"Mengapa bisa?" Tanya hadirin.

Menurutnya, mustahil air bisa jalan, sebab air tidak memiliki kaki. Dengan demikian orang yang mengatakan "air sudah jalan", sudah pasti bohong. Mendengar penjelasan dari pimpinan tarekat ini, semua yang hadir dalam forum itu pun tertawa sekaligus gemas. Tetapi akhirnya tidak ada lagi yang berminat bertanya, dan forum pun bubar.

Para antropolog sudah lama meyakini bahwa bahasa bagi orang-orang Madura, komunitas Samin, To Lise dan semacamnya, tidak semata-mata digunakan untuk berkomunikasi, tetapi juga menjadi sarana negosiasi, membangun identitas  dan juga merupakan cara agar bisa tetap surfive.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun