"Dialah yang tidak bisa disebut namanya anak muda," Jawab lelaki berkulit sedikit legam itu.
Bukan Valdemort tentunya. Tokoh jahat itu hanya ada dalam dongeng Harry Poter. Di kampungku dan sekitarnya, dia yang tidak bisa disebut namanya adalah Nabi Khaidir.
Begitu sampai di puncak, mereka harus menyeberang menuju ke Bawakaraeng, tempat orang sering melaksanakan salat Idul Adha. Bukan perkara mudah untuk menyeberang ke lokasi tersebut. Mereka harus melewati jalan sempit yang di atasnya tebing terjal, sementara di bawahnya adalah jurang yang curam. Angin berputar dari bawah jurang menyapu ke atas.Â
Mereka melewati jalan setapak yang disebutnya jalan "siratal mustaqim" itu dengan berbagai cara. Beberapa berjalan biasa, yang lainnya dengan tertatih-tatih, banyak pula yang harus merangkak. Ini tergantung dari nyali. Tetapi bagi lelaki berkulit sedikit legam, itu tergantung keyakinan dan rasa ikhlas.
Pada saat tiba di satu dataran di salah satu puncak Bawakaraeng, mereka kemudian menghamparkan tikar. Ada pula yang memasang tenda seadanya. Mereka tidak mendirikan kemah yang mirip milik para pendaki profesional, tapi hanya tenda biasa yang dipasang mirip kemah.
Mereka ber-'kemah' mengelilingi satu tugu batu yang disebutnya 'Bakkah' (mungkin kata itu diambil dari kata Kabah). Kendati bernama Bakkah, lelaki berkulit sedikit legam bersama rombongannya tidak menyebut batu itu pengganti kabah di tanah suci.
"Kalau kami menyebutnya Bakkah, tak lain itu hanya pancaran kerinduan kami pada Kabah, tak ada niat untuk mengganti Kabah di tanah suci," Begitu katanya.
Adapun tugu batu itu, seturut keterangan para pendaki resmi, adalah tanda untuk mengukur ketinggian puncak gunung Bawakaraeng. Konon dulunya dipasang oleh kompeni.
Tidak ada yang tahu persis bagaimana kompeni meletakkan tugu batu itu di atas puncak gunung. Cerita yang masyhur, tugu itu dijatuhkan dari atas pesawat dan dengan perhitungan tertentu bisa menancap tepat di puncak tersebut.
Malam yang dingin dilalui dengan rangkaian salat. Mereka salat dalam alam yang terbuka, di tengah dinginnya udara yang menusuk-nusuk dan dalam keheningan yang begitu syahdu. Mereka bisa menatap langit begitu dekat.Â
Dalam keheningan yang mencengkau itu, mereka seakan merasakan kecilnya seorang hamba di hadapan Tuhannya. Di saat yang sama mereka merasakan kenikmatan spiritual yang merasuk sukma. Keharuan merambat dalam jiwa, merasuk ke mata hati yang paling dalam.