Tangan perempuan bercadar yang memegang surat dan novel itu, bergetar hebat. Emosi yang membelit sanubarinya, akhirnya tak tertanggungkan. Tumpah menjadi air mata. Isi suratnya tak ada yang bermasalah. Semata ajakan hidup bersama. Tetapi, novel itulah sumber masalahnya.
Secara vulgar, novel tersebut menggambarkan hubungan manusia beda kelamin. Jelaslah sudah permintaan hidup bersama, yang disertai novel tersebut, tak lain adalah bentuk pelecehan terhadap dirinya sebagai perempuan. Tidak sampai di situ. Yang makin menusuk perasaannya adalah, novel tersebut terang-terangan melecehkan jalan spiritual yang dipilihnya. Yaitu, mengenakan busana muslim lengkap dengan cadarnya.
Namun yang memesona dari perempuan bercadar ini adalah sikapnya menghadapi pelecehan melalui tulisan tersebut. Alih-alih melaporkan tindakan pria yang mengiriminya sepucuk surat dan novel tersebut. Si perempuan bercadar justru membalasnya dengan surat pendek dan juga sebuah novel karyanya sendiri.
Suratnya hanya berisi kalimat singkat. Kalau tidak salah berbunyi: "Dalam hidupku sekarang ini, hidup bersama bukan lagi menjadi tujuanku."
Sementara novelnya sendiri, yang ditulis dengan letupan perasaan meluap-luap, tidak hanya menggugah si pria yang melecehkannya hingga mesti meminta maaf berkali-kali. Tetapi juga membuat pembaca lain di laman blog yang memuat ceritanya itu, mendukung perempuan bercadar ini sepenuhnya.
Si perempuan bercadar menemukan peluru paling tepat untuk menghadapi orang yang melecehkannya, yaitu peluru tinta. Ketika sang pria menusuk kehormatannya melalui pena, ia membalasnya dengan peluru yang sama. Sang perempuan bercadar ternyata berhasil. Ia menang dalam pertempuran menghadapi peluru tinta tersebut.
Ketika saya membaca cerita ini, tanpa sengaja dari satu blog, pikiran saya langsung bertanya-tanya: Apa yang bakal terjadi andaikata si perempuan bercadar memilih melawan dengan cara lain. Melaporkan kepada yang berwajib, misalnya. Atau, dengan cara meminta ormas tertentu untuk merazia peredaran novel tersebut.
Mungkin si pria usil tersebut akan dihukum, bukunya dilarang beredar, tetapi belum tentu sang pria akan meminta maaf secara tulus kepadanya. Belum tentu pula, buku tersebut tak bisa dibaca lagi oleh orang lain.
Cerita ini menunjukkan kepada kita, bagaimana seharusnya melawan satu tulisan atau buku yang kita tidak sepakati. Jalan yang ditempuh, tidak lain harus menggunakan peluru yang sama. Menggunakan cara lain, misalnya dengan merazia, memberedel atau meminta penulisnya dihukum, sebenarnya hanya kesia-siaan.
Tulisan atau buku adalah salah satu senjata paling ampuh di dunia ini. Ia bagai peluru canggih yang bisa menembus dinding baja sekalipun. Memengaruhi kesadaran orang, yang bahkan berada di negeri paling jauh. Karena itu, sekuat apa pun satu lembaga kekuasaan berusaha menghentikan tulisan atau buku, tetap saja ia akan menemukan jalan untuk sampai kepada pembacanya.