"Ini saya berikan saja" jawabnya.Â
Sejurus saya terdiam, tapi kemudian saya segera merogoh kembali dompet, menambah Rp.10.000 lagi. Tetapi tangan si nenek bergoyang goyang tanda menolak.Â
"Passadakkaku nak (Ini dermaku nak)" tuturnya dalam bahasa makassar yg kental.
"Nenek tidak rugi?" Tanyaku masih enggan menerima.
"Karaeng Allah Taalapa ambalasaki ri allo ri boko nak" (Biar Tuhan yg membalasnya kelak di hari kemudian nak...). Jawab si nenek cepat.
Betapa ringannya ia memberi, sementara saya, jangankan memberi, untuk membeli sesuatu dari orang kecil seperti ini, di kepalaku masih main hitung-hitungan, dari mulutku masih keluar kalimat tawar-menawar.
Di senja yg semakin memudar itu, saya dipertemukan dengan orang kaya yang sejati. Mungkin ia miskin harta tapi kaya hati.Â
Laisal gina an kasratil maali walakinnnal gina, gina al-nafsi (Bukanlah orang kaya yg banyak hartanya, tetapi orang yg sebenar benarnya kaya adalah yang lapang hatinya).
Boi...jangan sekali kali meremehkan orang yang miskin, boleh jadi merekalah yg menjadi "Tangan di atas", dan justru kitalah "Yang tangan di bawah".
Lamat-lamat, saya ingat satu pesan dalam sultanul injili'i, kalau saya keliru tolong diperbaiki:
"Teako callai tunayya, anjuru ri tukasi-asi, kaniapa tuna na ganna bonena lino". (Jangan pernah menghina orang papa, meremehkan orang miskin, sebab keberadaan mereka menjadikan dunia ini sempurna).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H