Al-yadul ulya khairun minal yadi sufla;Â
Menjadi orang kaya yang dermawan lebih baik daripada orang miskin yg meminta-minta. Kurang lebih begitulah makna yang bisa dikembangkan dari hadits di atas.Â
Tentu tepat belaka hadis tersebut, orang yang paling ideal hidup di kolong langit ini adalah mereka yang memiliki kemampuan sekaligus bisa menolong orang lain dengan kemampuannya tersebut.
Namun hidup ini tidak selamanya linear antara ajaran dan kenyataan, antara ujaran dan perbuatan. Sering kali malah berlaku sebaliknya. "Orang kaya sulit memberi, sebaliknya si miskin yang gemar menderma."
Begitulah yang saya saksikan di senja hari itu. Di bawah siraman sinar mentari yg semakin lesu, di tepi jalan, di atas trotoar, seorang perempuan tua penjual asongan, terlihat menjajakan dagangannya berupa beberapa bungkus kudapan yg tak seberapa.Â
Perempuan tua yang sudah terlihat ringkih dengan pakain usangnya itu, tidak berteriak menjajakan dagangannya, hanya matanya yg menatap penuh harap pada orang yg lalu lalang.
Saya menghampirinya. Menunjuk sebungkus penganan.Â
"Rp. 10.000 " Katanya.
Sudah banalnya, di benak saya acap kali muncul keinginan untk menawar. Pikiran ala-ala kapitalis ini seakan telah tertanam di alam bawa sadar saya. Tetapi kali ini saya benamkan dalam-dalam kebiasaan itu dan tanpa menawar saya langsung mengambilnya. Tak dinyana ia menambahkan 1 bungkusan dengan jenis kudapan yg lain.Â
"Saya hanya beli satu nek'' ucapku menampik.
"Ini saya berikan saja" jawabnya.Â
Sejurus saya terdiam, tapi kemudian saya segera merogoh kembali dompet, menambah Rp.10.000 lagi. Tetapi tangan si nenek bergoyang goyang tanda menolak.Â
"Passadakkaku nak (Ini dermaku nak)" tuturnya dalam bahasa makassar yg kental.
"Nenek tidak rugi?" Tanyaku masih enggan menerima.
"Karaeng Allah Taalapa ambalasaki ri allo ri boko nak" (Biar Tuhan yg membalasnya kelak di hari kemudian nak...). Jawab si nenek cepat.
Betapa ringannya ia memberi, sementara saya, jangankan memberi, untuk membeli sesuatu dari orang kecil seperti ini, di kepalaku masih main hitung-hitungan, dari mulutku masih keluar kalimat tawar-menawar.
Di senja yg semakin memudar itu, saya dipertemukan dengan orang kaya yang sejati. Mungkin ia miskin harta tapi kaya hati.Â
Laisal gina an kasratil maali walakinnnal gina, gina al-nafsi (Bukanlah orang kaya yg banyak hartanya, tetapi orang yg sebenar benarnya kaya adalah yang lapang hatinya).
Boi...jangan sekali kali meremehkan orang yang miskin, boleh jadi merekalah yg menjadi "Tangan di atas", dan justru kitalah "Yang tangan di bawah".
Lamat-lamat, saya ingat satu pesan dalam sultanul injili'i, kalau saya keliru tolong diperbaiki:
"Teako callai tunayya, anjuru ri tukasi-asi, kaniapa tuna na ganna bonena lino". (Jangan pernah menghina orang papa, meremehkan orang miskin, sebab keberadaan mereka menjadikan dunia ini sempurna).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H