Tahukah anda, siapa para Bissu itu ? Jika mengikuti pandangan Matthes, maka Ia adalah orang suci yang akar katanya dari 'bessi' (suci).  Digelari demikian, karena mereka tidak haid dan dan tidak mengeluarkan darah kotor, meski jiwa dan tampilannya perempuan. Puang Matoa Saidi (almarhum) menegaskan identitas Bissu ini dengan mengatakan  "Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunrai toi" (laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan).Â
Lazimnya para Bissu ini memang calabaiatau waria, namun diantaranya juga ada perempuan. Itulah mengapa Identitas  Bissu ini dianggap melampaui 5 identitas gender yang diakui masyarakat Bugis; Uroane (pria), Makkunrai (wanita), Calabai (waria), calalai (perempuan berjiwa dan berkarakter laki-laki) dan Bissu itu sendiri yang menghimpun identitas sebelumnya.  Bissu juga di posisikan sebagai ahli spritual Kuno, yang mengerti bahasa langit dan paham dengan perbintangan (kutika). Â
Dengan demikian, dari uraian singkat di atas, teranglah bagi kita, bagaimana posisi calabai atau waria, demikian halnya calalai (perempuan berjiwa dan berkarakter lelaki) dalam masyarakat Bugis. Â
Mereka jelas adalah identitas-identitas gender yang diakui. Bahkan posisi mereka, utamanya Bissu-calabai amatlah penting dalam kebudayaan Bugis. Para Bissu-calabai-lah yang memegang peranan dalam berbagai ritual adewatang (ketuhanan) dan upacara adat di masyarakat maupun di kerajaan.Â
Para Bissu-calabai ini pulalah yang mendapat tugas terhormat mendidik pangeran-pangeran istana agar paham tata kerajaan dan adat istiadat. Â Dan sekadar untuk kita ketahui, belum ada yang tercatat dalam sejarah, para pangeran itu kehilangan karakter maskulinitasnya akibat bergaul rapat dan diasuh oleh para calabai ini.Â
Sungguhpun demikian, tidak berarti komunitas Bissu dan para calabai sama sekali tidak mendapatkan tekanan apa-apa dari masyarakat Bugis. Purifikasi agama dan modernisasi telah mengantar mereka pada babak baru kehidupan yang patetis. Â
Komunitas Bissu maupun calabai membangun berbagai strategi dan siasat untuk bertahan dalam sistuasi muram tersebut. Mereka memainkan tarian yang kadang luwes, namun sering pula tegas, baik dalam panggung pertunjukan maupun senyatanya kehidupan. Perlahan mereka diterima kembali oleh masyarakat dan menemukan kembali panggungnya. Â
Gerakan DI/TII & Operasi Mappatoba; Mendung di Tengah Para Bissu dan CalabaiÂ
Pada tanggal 7 Agustus 1953 , Kahar Muzakkar memproklamirkan daerah sulawesi-selatan  sebagai bagian dari DI/TII. Mulai tahun itulah, sampai sekitar tahun 1965, DI/TII Kahar Muzakkar melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.  Rentang tahun itu, pemberontakan berjalan bersisian dengan purifikasi Islam. Negara Islam yang dibayangkan oleh DI/TII cenderung anti terhadap segala yang berbau kebudayaan dan tradisi masyarakat.Â
Bissu dan calabai adalah salah satu korban dari proses purifikasi itu. Mereka diburu dan ditangkapi. Para calabai pilihannya dua, menjadi lelaki kembali atau dibunuh. Para Bissu yang kebanyakan calabai mengalami tekanan yang lebih dahsyat lagi. Sebagai calabai mereka dianggap telah menyalahi kodrat sekaligus ajaran agama. Â Sementara di saat yang sama para Bissu ini dianggap sebagai penyembah berhala, penjaga ritual kuno dan dan perawat tradisi feodalisme.Â
Dua hal itulah yang menjadikan Bissu sebagai salah satu target yang paling dicari oleh gerombolan DI/TII. Mereka diburu sampi ke hutan-hutan. Bissu Saeke, salah satu Bissu yang lolos dari DI/TII, seperti dituturkan Puang Matoa Saidi, harus lari meninggalkan kampung halamannya.Â