Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siasat di Tengah Tarian Para Bissu (Catatan Untuk LGBT di Indonesia)

21 Desember 2017   09:41 Diperbarui: 21 Desember 2017   10:02 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket Foto: Tarian maggirik ( Foto diambil dari http://v1.makassarterkini.com)

Kelompok pertama adalah mereka yang identitas gendernya orowane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan) dengan orientasi heterosexual, sementara kelompok terakhir adalah para calabai, calalai dan Bissu dan mereka yang memiliki orientasi sexual homo.  Penentuan kelompok yang normal dan abnormal dilakukan melalui mekanisme normalizing judgment,salah satu instrumen yang oleh Foucault (1984) dianggap penting dalam mendisiplinkan masyarakat.

Institusi yang paling efektif melakukan normalizing judgment ini tak lain adalah agama dan institusi pengetahuan. Melalui agama; calabai, calalai dan Bissu di definisikan sebagai kelompok pelanggar agama.  

Mereka disepadankan dengan kaum Nabi Luth para pendosa dengan sexualitas menyimpang. Hadist-hadits nabi yang menyudutkan mereka  didendangkan berulang-ulang. Bahkan beredar cerita di masyarakat yang dianggap bersumber dari kitab-kitab otoritatif; bertemu apalagi bergaul   dengan kelompok Bissu, Calabai dan calalai ,  membuat ibadah kita tidak diterima selama 40 hari. Aktifitas kebudayaan mereka, khususnya Bissu di tempatkan dalam jurang kemusyrikan.

Di saat yang sama ilmu medis dan psykologi menyebarkan pengetahuan bahwa kelompok semacam itu adalah penyakit fisik dan kejiwaan. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini harus di obati, ditampung dan dikarantina. 

Mereka dipandang menjijikkan dan penuh kengerian. Pola ini persis dengan cara-cara eropa abad pertengahan (sekitar abad ke-12) memperlakukan orang berpenyakit lepra. Demikian halnya perlakukan terhadap orang-orang miskin abad 15 dan abad 16 di tempat yang sama. Mereka, sebagaimana calabai dan Bissu, juga dipandang penyakit, menjijikkan dan mengalami anathematisasi.  Foucault dengan terang benderang telah mengagak-agihkan ini, salah satunya dalam bukunya yang monumental Madness and civilisation (1967).

Dalam sistuasi demikian, lantas bagaimana kelompok ini, khususnya Bissu menempatkan dirinya?. Kali ini mereka tidak lagi berlari menghindar. Namun yang membuat saya kagum, alih-alih melawan frontal, mereka malah tidak memilih untuk mengambil posisi berseberangan dengan kelompok yang menyingkirkan tersebut. 

Bissu tidak melakukan perlawanan vis a vis dengan para kelompok yang mendiskriditkan , tetapi mereka masuk dalam irama discources yang dicuatkan agamawan dan ilmuwan tersebut. Memang tentu saja, sekali waktu, irama itu mereka sela dengan gendang yang mereka tabuh sendiri.

Di tengah kuatnya upaya memusyrikkan aktivitas mereka misalnya, beberapa Bissu malah naik haji. Sebutlah sebagi misal; Haji Solehah, Haji Saeke, keduanya dari Soppeng serta Dg Tawero dari Bone .  Bahkan Haji Saeke dan Haji dg Tawero keduanya adalah  Puang Matoa,  pemimpin kalangan Bissu dari Soppeng dan Bone.  Upacara ritual dibentangkan dengan simbol-simbol yang Islami. Jika sebelumnya dalam pertunjukan tari ritual mereka mengenakan pakaian ala putri-putri kerajaan bugis kuno, tahun-tahun itu dan sesudahnya mereka mulai mengenakan pakaian yang bercirikan Islam.

Dalam satu ritual melepas nazar yang dilakukan oleh Haji Nawir, yang tanggalnya dicatat dengan baik oleh Halilintar (2009)  , yaitu pada 1-3 September 1999, para Bissu tampil dengan busana putih-putih. Serban putih melilit dikepala menggantikan mahkota ala putri kerajaan, pakaian juga demikian di ganti dengan pakaian putih-putih.   Tarian maggirik yang dipentaskan waktu itu diselubungi dengan nuansa putih yang memancarkan magis Islami.  

Mereka menepis tuduhan musyrik dan penyembah berhala dengan menunjukkan bahwa mereka adalah penganut Islam yang baik, sangat baik  malah, karena telah menyempurnakan rukun Islamnya. Upacara-upacara dan ritual adat mereka maknai sebagai bagian dari rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam upacara dan ritual itu para Bissu bersanding dan bukan bertanding dengan para Imam Kampung. 

Jika para Bissu mengatur tata cara ritual serta berdoa dengan bahasa bugis kuno maka Imam Kampung akan melantungkan doa-doa dalam bahasa Arab, doa yang lazim dan karib ditelinga kaum muslim.  Ritual Mappeca-sura (perayaan Asyura) yang kental nuansa Islamnya mentas berbarengan dengan masonggka-bala (upacara tolak bala). Dalam upacara itu lagi-lagi Bissu memilih bergandengan tangan dengan kalangan agamawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun