Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tari Pakarena dari Ritual ke Seni Pertunjukan, Siapa yang Diuntungkan?

20 Desember 2017   14:02 Diperbarui: 7 Februari 2018   17:31 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Pakarena. Pusakapusaka.org

Gendang dipukul bertalu-talu dalam irama tunrung pakanjara (pukulan gendang dengan cepat) mengiringi munculnya penari  di atas panggung. Pukulan masih dipukul dengan cepat, namun penarinya membawakan tarian ini dengan anteng nan anggun. Gerakan tangan dan badan penari nampak rancak mengikuti arah empat mata angin.  Pandangan mata penari menyapu ke depan.  

Boleh jadi pakem-pakem tarian ini sudah terpahat sedemikian rupa dalam bilik ingatan para penari, sehingga tarian ini seiras-seirama tanpa perlu ada penari yang menjadi patokan.  Sesayup sampai  Bunganna Ilalang Kebo, lagu Makassar yang mengiringi tarian ini.  Lagu berirama empuk, sangat lazim bagi penari, dan mudah dipelajari.  Penabuh gendang pun tak kalah memukaunya. Dengan kemampuan terlatih, mereka mampu menyesuaikan pukulan dengan tari dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

Inilah tari Pakarena yang tampil di Istana Negara  pada tanggal 17 Agustus 1953 dan ini pulalah tari Pakarena yang ikut serta dalam misi kesenian Indonesia keluar negeri. Meskipun pada saat tampil diluar negeri waktunya dikurangi dari 25 menit menjadi 10 menit.

Nun jauh di pelosok-pelosok kampung di daerah Gowa, di sebuah tempat yang bernama Kalase'rena. Pakarena tampak dimainkan oleh beberapa seniman kampung. Pukulan gendang terdengar bertalu-talu. Para penari memainkan tarian mereka tanpa peduli dengan irama gendang. Penabuh gendang sendiri tidak sedikitpun mempedulikan gerak tari dan perubahan-perubahan yang terjadi. Gerakan tari antara satu dengan yang lainnya kadang tidak berkesesuaian, pandangan mata mereka tertuju ke lantai dengan khusyuk. 

Ketika penari sudah duduk diam seakan tarian telah usai, penabuh gendang masih dengan khusyuk menabuh gendangnya.  Para juru gendang seolah tidak tahu dan tidak peduli bahwa para penari sudah usai menari. Tak lama pukulan gendangpun berhenti. Wajah penabuh gendang yang terdepan yang mereka sebut Anrong Guru nampak serius, sikap khusyuknya  penuh khidmat. Penari yang sebelumnya sudah berhenti, bersikap yang sama. Tari pakarena ini memang tidak terlihat rancak. Penari dan juru gendang lebih terlihat seperti orang yang keranjingan daripada menampilkan sebuah tarian  dengan estetika yang terukur sedemikian rupa. Tapi semua yang menyaksikannya justru merasakan suasana syahdu, sakral dan penuh dengan nuansa mistis. Tari pakarena ini memang tidak tampil dalam panggung pertunjukkan, tetapi tarian ini adalah sebuah ritual kampung untuk memuja Yang Kuasa atas nikmat dan rakhmat yang diberikan-Nya.

Kini ketika tari pakarena telah muncul sebagai entertaiment dan dikenal di Indonesia maupun manca negara, mungkin sudah jarang orang yang mengenang tari Pakarena yang dilakukan orang-orang kampung dipelosok Gowa tadi.  Pementasana Pakarena yang terakhir ini memang hanya dilakukan pada saat ada acara-acara ritual, sebagai tanda kesyukuran kepada Yang Maha Kuasa, selain itu biasa juga ditemukan pada acara sunatan atau perkawinan.

Jika boleh saya katakan, semua tarian Pakarena saat ini yang muncul di panggung pertunjukan selalu mendasarkan dirinya pada Pakarena yang muncul pada tahun 1953 tadi.  Mungkin dalam titian sejarah, terjadi satu dua  perubahan mengikuti perkembangan zaman dan pasar namun patokannya tidak pernah lepas dari Pakarena 1953 itu.

Pada tahun 1953 itulah,  tari pakarena kembali muncul dalam panggung pertunjukan .  Tokoh seniman yang terlibat saat itu adalah Ibu Nani Sapada, Fachruddin dg Romo, Mappaselleng dg Maggau dan Abd Madjid dg Siala. Merekalah para maestro yang dianggap berhasil mengangkat Pakarena dari dunia ritual ke panggung pertunjukan.  Dari sana pulalah tari pakarena yang tadinya hanya dikenal di kampung  menjadi tersohor di tingkat Nasional, bahkan mulai masyhur di arena internasional.

Tak ada yang abadi di dunia ini, demikan halnya pakarena dalam versi ritual. Zaman terus meleset dan memaksa  perubahan-perubahan di tubuh tarian  pakarena.  Perubahan pakarena yangmengarah pada  entertaiment ini meski hampir disetujui secara bulat  namun tetap mengundang perdebatan yang menarik.

Di kabupaten Gowa misalnya, pihak Parawisata merasa perubahan yang dilakukan pada pakarena adalah satu kebutuhan.  Perubahan dan pengembangan tari adalah satu kemestian, begitu kata Hasnah Sambolege. "Pakarena harus tertata secara apik, enak ditonton dan memenuhi selera pasar".  Demikian katanya lagi.  Lantas ibu yang merupakan Kadis Parawisata Gowa pada era 2005-an, kalau tidak salah,   memungkas ucapannya; "pakarena  bisa menguntungkan dan menambah pendapatan daerah bila dikembangkan dengan baik dan tidak hanya dikurung dalam arena ritual. 

Atas nama pengembangan inilah di kabupaten Gowa dilakukan pembinaan terhadap sanggar-sanggar seni yang sudah terorganisir dan terdaftar di Kabupaten. Sanggar-sanggar seni itu, demikian Muh Rusli, sejawat Hasnah,  diberikan dana pembinaan setiap tahunnya.   Dari sanggar-sanggar itu diharapkan muncul kreasi pakarena yang bisa memesona para penonton, khususnya dari manca negara.

Di tempat yang berbeda,  Abd Karim,   Kep Seksi pembinaan  seni Tradisi Departemen Kebudayaan dan Parawisata Sul-sel, dengan tandas bilang; "tradisi yang ditampilkan oleh seniman-seniman lokal sekarang kurang peminatnya. Dalam beberapa pertunjukan, penonton kurang, bahkan yang diundang sekalipun tidak datang.   Berbeda  kalau yang mementaskan seni tradisi kita orang dari barat penonton biasanya banyak yang datang".   

Menurut pria yang juga seniman ini, penyebabnya bisa jadi karena ; pertama orang barat mampu memberi kreasi yang baik pada kesenian itu.  Yang kedua suasana eksotis muncul dari kesenian yang ditampilkan oleh orang barat. Karena itu kreatifitas dan kemampuan memunculkan keeksotisan dari kesenian yang ditampilkan harus terus dikembangkan.  

Namun tampaknya di departemen Kebudayaan dan Parawisata ini terjadi juga ambivalensi. Hal ini terjadi antara lain disebabkan karena bergabungnya departemen kebudayaan dan Parawisata. Kata Abd Karim;  "pihaknya sendiri yang awalnya dari departememen Kebudayaan sering menandaskan bahwa mestinya pihak parawisata perlu membedakan mana yang bisa dikembangkan untuk pertunjukan yang berorientasi pasar dan mana yang tidak". 

Abd Karim yang sekaligus juga tokoh dari Tolotang ini kadang berbeda pendapat dan kebijakan dengan beberapa rekannya di Pariwisata yang terlalu berorientasi pada komodifikasi ritual. Sayangnya suara dia kadang tidak didengar. " Ya....saya memang orang pemerintahan, tapi hanya berada di tingkat bawah, suara saya kadang tidak didengar".

Di tengah keinginan untuk mengkomodifikasi ritual itu, H.Sirajuddin Bantam seorang seniman Pakarena dan budayawan yang berasal dari Gowa sedikit pesimis, menurutnya pengembangan dan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini hanya mementingkan sisi pertunjukannya saja, mereka tidak memperhatikan nilai-nilai yang dikandung dalam kesenian seperti pakarena ini.  Pengembangan pakarena lebih dititikberatkan pada posisi jualannya atau  untuk kepentingan mengangkat citra daerah saja.  Sementara Pemerintah sendiri tidak mengambil nilai-nilai yang dikandung pada pakarena dalam menjalankan sistem pemerintahan.  Kebanyakan pemerintah memiuh dari nilai yang dikandung oleh pakarena ini. 

H.Sirajuddin juga tidak sepenuhnya yakin bahwa  kebijakan pengembangan pakarena yang dilakukan oleh pemerintah adalah memang untuk kepentingan kesenian dan para senimannya.   Pemerintah baru tiba-tiba peduli kalau lagi ada festival, misalnya festival kraton atau menjelang pilkada.  Selanjutnya para seniman pakarena kembali terkucil di sudut-sudut kampung. 

Tentu mengkreasi pakarena bukanlah sesuatu yang diharamkan, namun jangan sampai lupa bahwa masyareakat di kampong menjadikan pakarena ini sesuatu yang terhormat karena ia adalah bagian dari ritual.  Maka, demikian Sirajuddin,  seniman-seniman pakarena di kampung dihormati oleh masyarakat, posisinya pada saat ada acara-acara tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya.

H.Sirajuddin sendiri dalam memperkenalkan Pakarena ke publik , berusaha melakukan sendiri. Dia berusaha mendokumentasi karya-karya keseniannya lalu mengirimkannya ke berbagai kalangan termasuk manca negara. Hasilnya tanpa melalui birokrasi negara, dia bisa membawa Pakarena ke beberapa negara. 

Tentu saja dia dan seniman-seniman kampung yang bersamanya, juga mengkreasi Pakarena ini, namun H.Sirajuddin tahu betul yang mana bisa di kreasi dan yang mana seharusnya tidak bisa dikutak-katik. Menurutnya Pakarena yang bernuansa ritual yang disertai dengan royong, tak perlu di bawah kemana-mana untuk dipertunjukkan. Yang demikian itu  adalah hal-hal yang bersifat privat antara masyarakat kampung dengan Sang pencipta. 

Yang boleh dibawah keluar dan dipertunjukkan yang memang dulu dianggap hiburan masyarakat yaitu pakarena Bone Balla, yaitu pakarena yang di pertunjukkan kerajaan untuk menyambut tamunya.  Ada kalanya orang-orang barat mau melihat "aslinya" yang ritual, namun pada saat seperti itu dia bisa berkelit, bahwa yang dia sedang tampilkan juga asli. "Saya biasa tegaskan pada mereka, kalau mau lihat yang ritual silahkan datang ke kampung saya". Kata Sirajuddin Bantam.

Gambar diambil dari stromwechseln.info
Gambar diambil dari stromwechseln.info
Nasib Seniman Pakarena di Kampung

Lantas ketika pakarena muncul di panggung hiburan ,  berkembang dan ditonton oleh orang banyak, dielu-elukan oleh  pemerintah daerah dan seniman-seniman kota, di manakah tempat para  seniman pakarena yang berasal dari kampong? Apakah mereka juga merasakan kebanggaan yang sama?  Mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak seperti yang dirasakan  oleh para seniman kota yang hidup di sanggar-sanggar dan mendapat pembinaan?

Ternyata jauh panggang dari api. Nasib mereka malah mengiriskan. Seperti yang dituturkan oleh H.Sirajuddin, para seniman Pakarena dari kampong-kampung hidupnya miskin, ekonomi mereka tidak mampu menopang keluarga. Pendapatan dari pementasan pakarena yang dilakukan dari kampong ke kampong sama sekali tidak bisa menjamin asap masih bisa mengepul di dapur. Banyak dari mereka yang memilih banting seni  menjadi petani. Tak sedikit memilih jadi buruh bangunan. Hanya dengan cara itulah kehidupan mereka bisa berlanjut. Dapur bisa ditopang. Sementara berkesenian tidak memberikan jaminan pada mereka bisa survive. 

Dalam event bergensi mereka jarang dilibatkan. Mereka dianggap bukan seniman yang memahami estetika Pakarena.  Ritual pakarena yang biasa mereka lakukan bukan sesuatu yang elok untuk  dipertunjukkan. Tarian mereka  kuno dan miskin kreasi yang inovatif.  Begitulah ungkapan para pejabat seni dan seniman kota.    AM Muchtar salah satu pengurus Dewan Kesenian Makassar (DKM), bilang begini;  "apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal, apakah itu tarian ataupun nyanyian yang berorietasi religius tidak bisa digolongkan sebagai kesenian karena itu dilakukan sebagai bagian dari kepercayaan dan kewajiban".

Di kabupaten Gowa sendiri menurut Dra Hasnah (wakadis parawisata) para seniman-seniman Pakarena yang dari kampong ini hanya dilibatkan pada acara "Assingara bulan" yang diadakan setahun sekali. Mereka dilibatkan pada acara ini untuk menampilkan kesenian mereka. Pada acara semacam itu seniman kampong ini kadang tidak mendapatkan bayaran. Meskipun menurut Dra Hasnah mereka cukup bangga karena dapat tampil.

Ada kalanya seniman kampong dibawa serta dalam pertunjukan-pertunjukan dan festival-festival yang besar. Namun dalam event semacam itu mereka hanya merasakan kebanggaan dan kesempatan jalan-jalan.  Setelahnya mereka kembali harus mnemikirkan bagaimana keluar dari belenggu kemiskinan. Tak jarang di antara seniman kampong yang diajak malah merasah risih dan tertekan, soalnya mereka harus diatur untuk memaikan pakarena sesuai dengan pakem-pakem yang telah ditentukan oleh pihak parawisata atau sanggar-sanggar seni yang ada di kota. 

Para seniman Pakarena ini pun tidak mendapatkan sama sekali uang pembinaan, soalnya mereka dianggap bukan Sanggar seni yang terorganisir dan terdaftar. Bahkan menurut H. Sirajuddin, Ketika para seniman kampung ini pun harus berhadapan dengan kalangan agamawan yang tidak setuju dengan pertunjukan pakarena , mereka harus menyelesaikannnya sendiri. Tak ada perhatian dari pemerintah yang selama ini telah menampilkan pakarena kemana-mana dan menjadikannya satu kebanggaan.

Hal yang sama diungkapkan Dg Mile, menurutnya dia dan teman-temannya yang berasal dari kampung,   hanya dipanggil pada saat penyambutan tamu tertentu. Kadang juga saat  acara Hari Ulang Tahun Daerah.  Setelah itu mereka tidak pernah lagi dilirik.  "Jangankan memberi uang pembinaan, ikut serta menyelesaikan problem kami ketika berhadapan dengan tekanan dari kalangan organisasi agama tertentu tidak pernah dilakukan". Begitu Lelaki berkumis tebal ini bilang.

Suatu kenyataan yang cukup memilukan. Para seniman kampung yang telah menjaga agar pakarena ini bisa bertahan sampai sekarang, nyatanya saat ini ibarat si anak hilang dari kampungnya. Mereka teralienasi dari kesenian yang mereka jaga dengan segenap jiwa. 

Komodifikasi mungkin telah membuat tari pakarena masyhur di mana-mana, tapi di saat yang sama telah meminggirkan para seniman kampung, sang penjaga pakarena selama ini.

Lalu bagaimana para seniman Pakarena yang berasal dari kampung, menyikapi hal ini ? .  

H.Sirajuddin menemupuh cara tampil mandiri  tanpa campur tangan pemerintah. Dalam berbagai event ketika dia dipanggil, dia pertegas untuk keperluan apa dia tampil dan sejauh mana kegiatan tersebut berguna bagi komunitas seni.

Lain lagi dengan Dg Mile, setiap dia dipanggil oleh pihak Parawisata, biasanya dia berupaya berkelit untuk tidak hadir.  Caranya bisa dengan mengadakan pula acara ritual  di kampungnya. Bisa juga dengan alasan sedang menghadiri acara sunatan dan pengantin. Kalaupun tidak bisa menolak maka dia akan pertegas pula bahwa dia hadir dengan persyaratan dia dan kawan-kawannya tidak boleh diterlantarkan.  

Dg Mile juga dalam berbagai kesempatan berusaha tampil sendiri tanpa berurusan dengan negara.  Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau bekerja sama dengan LSM tertentu yang mereka tahu memang punya kepedulian dengan kesenian rakyat. " Selama ini saya lebih senang berhubungan dengan Latar Nusa (LSM yang bergerak di bidang kesenian dan kebudayaan) ketika mau menampilkan kesenian Pakarena baik di dalam maupun di luar negeri. Tuturnya.

Para seniman kampung ini pada dasarnya  sadar,  proses komodifikasi yang dilakukan negara sama sekali tidak menguntungkan posisi mereka. Proses ini hanyalah akal-akalan seniman-seniman kelas menegah yang hidup di kota dan kalangan tertentu di pemerintahan. Namun mereka juga sadar betul, tidak mungkin mereka melakukan perlawanan secara langsung terhadap proses ini. "Kami bisa berbuat apa? Kami hanyalah rakyat kecil," ucap Dg Mile.  

Namun dalam ketidakberdayaan itu terkadang mereka bisa memunculkan perlawanan yang kreatif. Kadang tetap tampil, tapi ketika sudah dipanggung mereka mampu menjaga otonomi mereka.  Aturan yang  diterapkan sebelum tampil, misalnya pukulan gendang harus seirama dan tarian harus rancak berestetika ,  mereka abaikan. Bahkan tak jarang pilihan untuk tidak mau tampil atau bahkan tidak mau berkesenian  mereka lakukan. Kenyataan ini bolehlah kita maknai macam-macam, namun satu pesan yang jelas yang ingin mereka sampaikan: "Kami lebih baik diam dan tak berkesenian lagi, daripada berkesenian tapi kenyataannya hanya menjadi jualan".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun