Lantas ketika pakarena muncul di panggung hiburan ,  berkembang dan ditonton oleh orang banyak, dielu-elukan oleh  pemerintah daerah dan seniman-seniman kota, di manakah tempat para  seniman pakarena yang berasal dari kampong? Apakah mereka juga merasakan kebanggaan yang sama?  Mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak seperti yang dirasakan  oleh para seniman kota yang hidup di sanggar-sanggar dan mendapat pembinaan?
Ternyata jauh panggang dari api. Nasib mereka malah mengiriskan. Seperti yang dituturkan oleh H.Sirajuddin, para seniman Pakarena dari kampong-kampung hidupnya miskin, ekonomi mereka tidak mampu menopang keluarga. Pendapatan dari pementasan pakarena yang dilakukan dari kampong ke kampong sama sekali tidak bisa menjamin asap masih bisa mengepul di dapur. Banyak dari mereka yang memilih banting seni  menjadi petani. Tak sedikit memilih jadi buruh bangunan. Hanya dengan cara itulah kehidupan mereka bisa berlanjut. Dapur bisa ditopang. Sementara berkesenian tidak memberikan jaminan pada mereka bisa survive.Â
Dalam event bergensi mereka jarang dilibatkan. Mereka dianggap bukan seniman yang memahami estetika Pakarena.  Ritual pakarena yang biasa mereka lakukan bukan sesuatu yang elok untuk  dipertunjukkan. Tarian mereka  kuno dan miskin kreasi yang inovatif.  Begitulah ungkapan para pejabat seni dan seniman kota.   AM Muchtar salah satu pengurus Dewan Kesenian Makassar (DKM), bilang begini;  "apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal, apakah itu tarian ataupun nyanyian yang berorietasi religius tidak bisa digolongkan sebagai kesenian karena itu dilakukan sebagai bagian dari kepercayaan dan kewajiban".
Di kabupaten Gowa sendiri menurut Dra Hasnah (wakadis parawisata) para seniman-seniman Pakarena yang dari kampong ini hanya dilibatkan pada acara "Assingara bulan" yang diadakan setahun sekali. Mereka dilibatkan pada acara ini untuk menampilkan kesenian mereka. Pada acara semacam itu seniman kampong ini kadang tidak mendapatkan bayaran. Meskipun menurut Dra Hasnah mereka cukup bangga karena dapat tampil.
Ada kalanya seniman kampong dibawa serta dalam pertunjukan-pertunjukan dan festival-festival yang besar. Namun dalam event semacam itu mereka hanya merasakan kebanggaan dan kesempatan jalan-jalan. Â Setelahnya mereka kembali harus mnemikirkan bagaimana keluar dari belenggu kemiskinan. Tak jarang di antara seniman kampong yang diajak malah merasah risih dan tertekan, soalnya mereka harus diatur untuk memaikan pakarena sesuai dengan pakem-pakem yang telah ditentukan oleh pihak parawisata atau sanggar-sanggar seni yang ada di kota.Â
Para seniman Pakarena ini pun tidak mendapatkan sama sekali uang pembinaan, soalnya mereka dianggap bukan Sanggar seni yang terorganisir dan terdaftar. Bahkan menurut H. Sirajuddin, Ketika para seniman kampung ini pun harus berhadapan dengan kalangan agamawan yang tidak setuju dengan pertunjukan pakarena , mereka harus menyelesaikannnya sendiri. Tak ada perhatian dari pemerintah yang selama ini telah menampilkan pakarena kemana-mana dan menjadikannya satu kebanggaan.
Hal yang sama diungkapkan Dg Mile, menurutnya dia dan teman-temannya yang berasal dari kampung,  hanya dipanggil pada saat penyambutan tamu tertentu. Kadang juga saat  acara Hari Ulang Tahun Daerah.  Setelah itu mereka tidak pernah lagi dilirik.  "Jangankan memberi uang pembinaan, ikut serta menyelesaikan problem kami ketika berhadapan dengan tekanan dari kalangan organisasi agama tertentu tidak pernah dilakukan". Begitu Lelaki berkumis tebal ini bilang.
Suatu kenyataan yang cukup memilukan. Para seniman kampung yang telah menjaga agar pakarena ini bisa bertahan sampai sekarang, nyatanya saat ini ibarat si anak hilang dari kampungnya. Mereka teralienasi dari kesenian yang mereka jaga dengan segenap jiwa.Â
Komodifikasi mungkin telah membuat tari pakarena masyhur di mana-mana, tapi di saat yang sama telah meminggirkan para seniman kampung, sang penjaga pakarena selama ini.
Lalu bagaimana para seniman Pakarena yang berasal dari kampung, menyikapi hal ini ? . Â
H.Sirajuddin menemupuh cara tampil mandiri  tanpa campur tangan pemerintah. Dalam berbagai event ketika dia dipanggil, dia pertegas untuk keperluan apa dia tampil dan sejauh mana kegiatan tersebut berguna bagi komunitas seni.