Mohon tunggu...
Iis WKartadinata
Iis WKartadinata Mohon Tunggu... Guru - guru dan pencinta buku

guru dan pencinta buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memanusiakan Guru

18 Mei 2022   09:54 Diperbarui: 18 Mei 2022   10:24 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MEMANUSIAKAN GURU

Iis Wiati kartadinata

Guru adalah mahluk dengan serangkaian tantangan, namun dia juga mahluk ciptaan Tuhan dengan kelebihan karena memiliki kemuliaan frofesi. Guru bertanggung jawab atas tuntutan negara, masyarakat, dan kemajuan zaman. Bukan main hebatnya! 

Semua sadar penuh, seseorang dengan tingkat jabatan tertinggi di negeri ini hingga orang yang tak punya jabatan sekalipun, tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan mahluk yang bernama guru. (Ya, maaf, kecuali yang memang belum pernah menjadi siswa). 

Namun kadang ada pula yang merasa tidak sadar akan hubungan yang pernah terjalin itu. Kadang ada orang tua yang khilaf bahwa dirinya pernah memiliki seorang guru. Maka sering terjadi kasus penistaan terhadap guru yang dilakukan oleh sebagian orang tua yang kecewa akan cara guru mendidik anaknya. Bahkan penistaan oleh anak didiknya sendiri. (Saya meniru kata 'penistaan' karena sedang marak dan rasanya pas untuk konteks ini)

Guru tidak sekadar jadi tumpuan, tetapi juga jadi sasaran segala persoalan atau tempat pembuangan akhir segala yang melibatkan dominasi akhlak manusia. Memang iya, segala persoalan yang berkaitan dengan keruntuhan moral anak sekolah pasti lensa masyarakat tertuju pada guru. 

Gurulah yang bertanggung jawab. Jadilah guru adalah mahluk ciptaan Tuhan yang harus sempurna. Bukan yang paling seksi seperti kata Ahmad Dhani. Sempurna ilmu dan sempurna akhlaknya.

-Guru sebagai sosok yang harus sempurna dalam pandangan siswa

Sering terdengar ocehan siswa di kantin, di angkutan umum, di ruang-ruang belajar les, hingga cuitan-cuitan di media sosial tentang guru. Ada guru yang mengajar dengan cara tidak enak, suka marah, banyak ngasih tugas, menerangkan terlalu cepat, hingga mulut yang tidak sedap baunya. 

Tapi guru yang baik pun tidak jarang jadi bahasan mereka. "Ngajarnya sih enak, Cuma..." Jadi ingat puisi "Tapi" karya Sutardji Calzoum Bachri. Puisi serba ketidakpuasan manusia akan segala yang diterima. 

Dengan kata lain, guru adalah mahluk yang sempurna harus menyenangkan siswa di mana pun tempatnya. Guru harus selalu tersenyum, tak boleh ada masalah. Guru harus selalu pintar, tak boleh punya penyakit lupa. Guru harus bersih dari ujung kepala hingga kaki, lebih-lebih guru harus selalu berpenampilan menarik. 

Guru harus siap menjadi teman curhat, tak jarang (seringnya) di saat guru itu sendiri sedang punya masalah yang lebih berat.

Begitu kompleksnya persoalan yang kerap dihadapi siswa yang juga menjadi tanggung jawab penanganan guru. Dalam hal ini bahkan guru mendadak lupa dengan kesulitan hidupnya sendiri. Bagaimana mungkin guru membiarkan siswa bermasalah menyelesaikan masalahnya sendiri. 

Maka sejak pagi (bahkan sebelum jam kantor hingga sore yang tidak pernah dihitung lembur) guru siap bergerak ke kelas-kelas. Persoalan yang dihadapi itu mulai persoalan pribadi siswa dengan temannya, masalah orang tuanya, masalah ekonomi keluarga, masalah pembiasaan buruk yang sulit dihindari karena latar belakang keluarganya, seperti merokok. 

Ditambah lagi masalah narkoba, pergaulan bebas, dan pengaruh media sosial yang menggurita. Ini berimbas pada prilaku siswa di sekolah yang menjadi sajian sehari-hari guru di samping harus mengajar.  

Tapi terkadang itu dilupakan. Kompleksitas persoalan siswa yang layaknya gunung es seolah-olah hanya ditimpakan pada guru. Karena terlihat, seakan-akan guru lebih tahu persoalan siswa dibanding orang tuanya sendiri. Ini terbukti pada setiap kasus pasti sekolah memanggil orang tua, bukan sebaliknya. 

-Guru dalam pandangan orang tua

Sangat jarang, pada saat penerimaan raport orang tua yang menanyakan, bagaimana nilai karakter anak mereka. Bagaimana perubahan prilaku anak mereka. Atau bagaimana sikap anak mereka. Pasti yang mereka tanya adalah berapa jumlah nilai berupa rangkaian angka. 

Bagaimana mereka bisa menguasai bidang ilmu tertentu. Apakah anak mereka bisa memungkinkan masuk perguruan tinggi negeri pavorit (jika itu SMA). Tak pernah ada orang tua yang menanyakan, sudah jujurkah anak mereka, sudah disiplinkah mereka, sudah menjadi manusia yang bertanggung jawabkah anak mereka? 

No! Jika ada, sudah pasti yang berkelindan antara guru dan orang tua adalah melakukan kontrol yang manis berkaitan dengan akhlak anak-anak mereka di rumah.

Persoalan nilai yang dipertanyakan orang tua berimplikasi pada usaha anak mereka di sekolah. Siswa "tertentu" ada yang hanya mulai mengejar angka-angka di raport, sehingga tidak jarang mereka menghalalkan segala cara, seperti menyontek, atau melakukan kecurangan ketika ujian. 

Dalam hal ini guru harus bekerja keras. Pertama ketika mengawas ujian. Tak jarang siswa yang membawa lebih dari satu HP untuk cadangan. Karena yang satu dimasukkna ke dalam tas untuk dikumpulkan. Harap tahu, di HP tidak saja mereka mencari jawaban atau menyimpan jawaban untuk disebarkan, tapi terkadang juga info-info bocoran jawaban ujian. 

Contoh lain berpura-pura ke kamar kecil, padahal di sana mereka membuka kertas sontekan, atau bahkan menyimpan buku pelajaran. Ini lebih mudah dibanding sekedar bisik-bisik atau melempar kertas saat ujian. 

Guru sebagai pengawas harus ekstra sanggup melakukan pengawasan dari segala penjuru. Karena ada saja, otak anak ketika ujian tidak saja dipakai untuk belajar, tapi sebagian dari mereka juga dipakai untuk menciptakan taktik bagaimana mereka bisa mengisi jawaban ujian dengan cantik meskipun curang. 

Saya sering berkata pada siswa bahwa nilai kecil tidaklah dosa, tapi ketidakjujuran yang membawa mereka tidak mencium bau surga.

Tapi kata-kata itu menjadi tidak penting karena mereka menuntut nilai, dan menjadikan angka tinggi di raport sebagai dewa. Ini serius.  Naif, rupanya tujuan pendidikan untuk mengubah tingkah laku siswa menjadi omong kosong karena pada akhirnya siapa pun memuarakan akhir penilaian pada angka.

Ok, kurikulum sudah berganti, dengan melahirkan sebuah seting dimana selain ada angka juga guru diwajibkan menulis nilai-nilai karakter pada raport. Namun itu pun menjadi an sich. Apalagi sistem  malah meminta nilai berupa angka-angka pada setiap kompetensi dasar yang dimiliki siswa. Sekali lagi, tetap saja ada angka menjadi patokan.

-Guru dalam pandangan masyarakat

Meskipun sudah modern, di masyarakat guru tetap dipandang sebagai bentuk pribadi yang berbeda. Rasanya ada jarak yang memisahkan profesi-preofesi lain dengan guru. Meskipun di masyarakat pun norma sudah mulai bergeser, sehingga guru tidak lagi seperti dulu dihormati dan khusus. 

Sehingga kalau ada seorang guru yang melakukan tindakan salah, sekalipun bukan tindakan amoral, hal itu dianggap kesalahan yang biasanya dibahas habis oleh orang-orang di sekitarnya. 

Masyarakat menuntut guru menjadi contoh dalam kehidupan sosial. Di warung guru malu untuk mengutang, di tetangga seorang guru malu untuk bergosip, atau lebih sederhana, seorang guru akan lebih malu jika anaknya berbuat salah dibandingkan orang lain yang bukan guru.

-Guru dalam pandangan pemerintah

Guru adalah satu-satunya mahluk yang diharapkan bisa mengubah peradaban. Sekolah adalah lembaga satu-satunya yang diharapkan bisa mengubah tatanan kehidupan. Dan muaranya adalah guru profesional. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2015 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. 

Payung yang melingkupinya adalah kurikulum. Di sinilah 'papuket'nya guru. 

Payung yang menjadi naungan guru untuk terjun ke area siswa selalu berganti bentuk dan rupa. Ok, semua karena sesuai tuntutan zaman. Payung berbahan tipis dan bergagang lentur sudah tak pantas melindungi diri pada saat hujan lebat dan angin kencang. Ya, begitupun kehidupan sekarang. 

Pemerintah merasa, kurikulum yang ada sebelum dan sebelumnya tidak cocok lagi untuk dipakai sebagai payung saat sekarang. Imbasnya, guru harus melakukan rangkaian pelatihan. 

Tak jarang malah meninggalkan kelas untuk satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Lalu siswa protes dan sampailah ke orang tua. Maka tersebarlah bahwa sekolah anu gurunya jarang masuk. Ini kenyataan.

Bukan itu saja, guru pun tak mau kalah harus memiliki nilai raport. Maka ketika nilai raport merah dalam data Sim Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, gemparlah media dan penghobi menggugat guru, bahwa guru tidak layak mengajar. Lalu saling mempertanyakan tunjangan yang selalu menjadi bahan perbincangan. 

Dikemanakan itu? Seharusnya tunjangan digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Bukan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ufh, layaknya guru bukan mahluk ciptaan Tuhan yang punya keinginan.

Implikasinya lahirlah beragam pelatihan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Pemerintah telah gencar mengadakan program pelatihan PKB yang imbasnya untuk meningkatkan nilai raport guru. Guru diharapkan memiliki nilai dengan warna-warna hitam. 

Maka tak kenal waktu, guru terus digenjot untuk menyegarkan ilmunya. Bahkan pelaksanaannya di saat hari libur. Guru mempelajari modul-modul yang terkadang isinya ada bagian yang masih perlu pengeditan. Barangkali akan lebih bermanfaat kalau pelatihan itu berbentuk pemerolehan ilmu-ilmu pendidikan mutakhir dengan mendatangkan para pakar pendidikan yang ahli dalam hal pembelajaran aktif, kreatif, dan paling modern. 

Lalu mengubah paradigma bahwa pendidikan tidaklah untuk mengotak-kotakkan siswa berdasarkan angka-angka. Karena pada dasarnya setiap siswa adalah istimewa. 

Karena dengan begitu, masih ada anggapan bahwa yang nilai matematikanya jelek adalah siswa yang tidak pintar. Tak peduli dia jago musik atau olah raga.

Untunglah sudah banyak di negara ini sekolah-sekolah modern yang meskipun relatif mahal memposisikan siswa sebagai mahluk ciptaan Tuhan dengan rangkaian kepandaian sendiri-sendiri. Sebagai mahluk pribadi dengan keistimewaan masing-masing. 

Jadi sebenarnya, guru tak pernah mengkotak-kotakkan siswa dengan menggunakan angka. Tapi payung yang menelikungnya telah memaksa dia menjadikan angka sebagai laporan utama kepada orang tua, sesuai dengan pertanyaan yang kerap terlontar pada saat penerimaan raport anak-anak mereka juga. Bagaimana mengubahnya? 

Karena tujuan akhir pendidikan sesungghnya bukan mengutamakan kepintaran semata tapi perubahan tingkah laku, baik ilmu maupun akhlaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun