Mohon tunggu...
Iis Susiawati Abdullah
Iis Susiawati Abdullah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Praktisi Pendidikan

Pendidikan dan Lingusitik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kritik Sastra Berbasis Teori Psikologi Sastra

25 Januari 2025   14:35 Diperbarui: 25 Januari 2025   14:35 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kritik sastra memiliki peran yang penting dalam menggali dan memahami lapisan makna yang tersembunyi di balik sebuah karya. Sebagai ekspresi kompleks dari pemikiran, emosi, dan budaya, karya sastra tidak hanya berbicara melalui kata-kata, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan yang sering kali tersirat. Kritik sastra membantu pembaca menavigasi dunia simbolik tersebut, membuka peluang untuk memahami karya dengan lebih mendalam, baik dari aspek struktur naratif maupun nilai-nilai yang dikandungnya. Tanpa kritik sastra, banyak makna dalam karya sastra yang berpotensi tidak tersentuh, meninggalkan pembaca hanya di permukaan teks (Luxemburg et al., 1984).

Di antara berbagai pendekatan dalam kritik sastra, teori ekstrinsikalitas menawarkan sudut pandang yang memperluas cakrawala pemahaman. Berbeda dengan teori intrinsikalitas yang fokus pada unsur-unsur dalam teks itu sendiri, teori ekstrinsikalitas mengarahkan perhatian pada faktor-faktor di luar teks, seperti konteks sejarah, budaya, sosial, dan psikologi (Wellek & Warren, 1993). Pendekatan ini memungkinkan karya sastra dilihat sebagai produk dari lingkungan tempat ia lahir, serta sebagai cerminan dari dinamika kehidupan manusia (Abrams, 1999).

Salah satu cabang teori ekstrinsikalitas yang menonjol adalah psikologi sastra. Teori ini menghubungkan dunia sastra dengan dimensi kejiwaan, baik dari perspektif pengarang, karakter dalam cerita, maupun pembaca. Melalui teori psikologi sastra, kritikus dapat menganalisis kondisi psikologis yang melatari penciptaan sebuah karya atau yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya memperkaya interpretasi sastra, tetapi juga memberikan wawasan tentang kondisi mental manusia yang tercermin dalam karya sastra (Pradopo, 2007).

Apa Itu Teori Psikologi Sastra?

Teori psikologi sastra adalah pendekatan dalam kritik sastra yang berfokus pada analisis aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami kondisi mental, motivasi, konflik batin, dan dinamika psikologis yang dialami oleh karakter, penulis, atau bahkan pembaca dalam proses interaksi mereka dengan teks sastra. Teori ini menggabungkan wawasan psikologi dengan studi sastra, memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana pengalaman emosional dan kejiwaan terjalin dalam narasi sebuah karya (Wellek & Warren, 1993).

Pendekatan psikologi sastra sering kali digunakan untuk menganalisis hubungan antara teks dan dunia psikologis penulis, terutama ketika karya tersebut dipengaruhi oleh pengalaman pribadi atau konflik batin yang dialami oleh penulisnya. Selain itu, teori ini juga dapat mengungkap bagaimana struktur psikologis tokoh-tokoh dalam cerita memengaruhi alur, tema, dan makna keseluruhan karya. Misalnya, melalui analisis psikologi, seorang kritikus dapat menafsirkan keputusan-keputusan tokoh dalam cerita sebagai representasi dari mekanisme pertahanan diri atau trauma yang mendasarinya (Pradopo, 2007).

Teori psikologi sastra memiliki perbedaan mendasar dengan teori-teori sastra lainnya. Misalnya, teori intrinsikalitas seperti strukturalisme atau formalisme lebih menitikberatkan analisis pada unsur-unsur internal teks, seperti struktur naratif, gaya bahasa, dan simbolisme, tanpa mempertimbangkan faktor di luar teks. Sebaliknya, psikologi sastra adalah cabang dari teori ekstrinsikalitas, yang justru melihat teks dalam konteks yang lebih luas, termasuk latar belakang psikologis penulis atau dampak emosional yang ditimbulkan teks pada pembacanya (Luxemburg et al., 1984). Dengan demikian, pendekatan ini memberikan keseimbangan antara eksplorasi elemen sastra dan pemahaman terhadap dimensi manusiawi yang melatarbelakanginya.

Dalam praktiknya, teori psikologi sastra dapat diperkaya dengan berbagai konsep dari tokoh-tokoh psikologi seperti Sigmund Freud, Carl Jung, atau Erik Erikson. Misalnya, teori Freud tentang alam bawah sadar sering digunakan untuk menganalisis simbolisme mimpi dalam karya sastra, sementara teori Jung tentang arketipe membantu mengungkap pola-pola universal dalam narasi. Hal ini menjadikan teori psikologi sastra sebagai pendekatan yang dinamis dan beragam, mampu menghubungkan dunia sastra dengan kompleksitas psikologis manusia (Freud, 1919; Jung, 1968).

Aplikasi Teori Psikologi Sastra dalam Kritik Sastra

Teori psikologi sastra dapat diterapkan dengan menganalisis berbagai aspek psikologis yang ada dalam karya sastra, baik yang berkaitan dengan penulis, karakter, maupun pembaca. Salah satu contoh penerapan teori ini dapat ditemukan dalam novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky. Dalam karya ini, karakter utama, Raskolnikov, mengalami konflik batin yang mendalam antara keinginannya untuk melakukan pembunuhan demi tujuan mulia dan rasa bersalah yang terus menghantuinya setelah perbuatannya. Melalui pendekatan psikologi sastra, kita dapat melihat bagaimana Raskolnikov menderita akibat perasaan superioritas yang tidak sehat, yang akhirnya membawa dia pada alienasi sosial dan kegelisahan psikologis (Freud, 1919; Wellek & Warren, 1993).

Contoh lain bisa ditemukan dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Dalam beberapa puisi Chairil, terutama yang berbicara tentang kematian dan eksistensialisme, teori psikologi sastra memungkinkan kita untuk menafsirkan perasaan keterasingan, kecemasan, dan perjuangan individu dalam menghadapi makna hidup. Puisi Aku, misalnya, mencerminkan ekspresi batin yang keras dari seorang individu yang berjuang untuk mengatasi rasa kehilangan dan ketidakpastian eksistensial. Melalui teori psikologi sastra, kita dapat melihat Chairil sebagai sosok yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan sosial zamannya, dan puisi-puisinya dapat dianalisis sebagai bentuk ekspresi dari konflik batin yang lebih besar tentang identitas dan perjuangan hidup (Pradopo, 2007).

Selain itu, teori psikologi sastra tidak hanya berkutat pada karakter dalam karya, tetapi juga dapat mengeksplorasi psikologi penulis itu sendiri. Misalnya, jika kita mengaitkan kondisi psikologis Dostoevsky dengan tokoh-tokoh dalam karyanya, kita dapat melihat adanya kesamaan antara pergolakan batin sang penulis dengan banyak karakter yang dia ciptakan. Dostoevsky sendiri menghadapi depresi dan kecemasan, yang tercermin dalam tokoh-tokoh yang dilanda pertanyaan eksistensial dan moral (Jung, 1968; Wellek & Warren, 1993). Dengan pendekatan ini, kita bisa lebih memahami bagaimana pengalaman hidup penulis memengaruhi penciptaan karakter-karakter yang mendalam dan kompleks.

Pada sisi lain, teori psikologi sastra juga memungkinkan kita untuk mengeksplorasi hubungan antara karya sastra dan pembaca. Setiap pembaca membawa latar belakang psikologis dan emosionalnya sendiri saat berinteraksi dengan sebuah teks. Oleh karena itu, pembaca dapat merespons karya sastra dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi psikologis mereka (Luxemburg et al., 1984). Misalnya, pembaca yang sedang menghadapi krisis pribadi atau emosional mungkin akan merasakan kedekatan yang lebih besar dengan karakter yang mengalami perasaan serupa. Melalui teori psikologi sastra, kita dapat memahami bagaimana karya sastra dapat berfungsi sebagai cermin bagi pembaca, menggugah emosi dan pikiran mereka, serta memungkinkan mereka untuk merefleksikan kondisi psikologis mereka sendiri.

Dengan demikian, aplikasi teori psikologi sastra membuka berbagai perspektif baru dalam menganalisis karya sastra, baik dari sudut pandang karakter, penulis, maupun pembaca. Hal ini memperkaya pemahaman kita terhadap sastra sebagai cermin kehidupan manusia yang penuh dengan kompleksitas psikologis.

Relevansi Teori Psikologi Sastra di Era Kontemporer

Di era kontemporer, teori psikologi sastra semakin relevan karena kemampuan pendekatan ini untuk menggali dan memahami tema-tema kompleks yang banyak dijumpai dalam karya sastra modern. Salah satu tema yang sering muncul dalam karya sastra kontemporer adalah trauma, baik yang bersifat individu maupun kolektif. Karya sastra yang menggambarkan pengalaman traumatik, seperti dalam novel The Road karya Cormac McCarthy atau Beloved karya Toni Morrison, dapat dianalisis dengan pendekatan psikologi sastra untuk menggali dampak psikologis dari peristiwa traumatis pada individu dan masyarakat (Freud, 1919; Jung, 1968). Dalam analisis ini, teori psikologi membantu menjelaskan bagaimana trauma memengaruhi perilaku, hubungan interpersonal, dan perkembangan karakter dalam cerita. Dengan memahami proses psikologis yang terjadi pada tokoh-tokoh yang mengalami trauma, kita bisa lebih mendalam dalam mengapresiasi bagaimana trauma tersebut membentuk narasi dan karakter.

Selain trauma, tema lain yang semakin relevan dalam sastra kontemporer adalah kecemasan dan alienasi, dua konsep yang sangat sering dieksplorasi dalam karya sastra pasca-modern. Karya-karya seperti The Catcher in the Rye oleh J.D. Salinger atau No Exit oleh Jean-Paul Sartre menggambarkan kecemasan eksistensial dan perasaan terasing yang dialami oleh individu dalam dunia yang tampak semakin tidak terjangkau dan terpecah. Teori psikologi sastra membantu mengidentifikasi dan mengartikan perasaan-perasaan ini, dengan menghubungkan emosi dan tindakan karakter dengan teori-teori psikologis, seperti teori kecemasan atau teori alienasi dari Sigmund Freud atau Karl Marx (Luxemburg et al., 1984; Wellek & Warren, 1993). Pendekatan ini memberi wawasan yang lebih dalam mengenai bagaimana tema-tema universal ini tetap relevan dalam menghadapi tantangan mental yang dihadapi masyarakat kontemporer.

Implikasi dari pendekatan psikologi sastra tidak hanya terbatas pada penguraian tema-tema dalam karya sastra, tetapi juga mencakup pemahaman yang lebih luas tentang budaya dan masyarakat masa kini. Sastra selalu berfungsi sebagai cermin sosial, yang mencerminkan perubahan, krisis, dan dinamika kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, teori psikologi sastra memungkinkan kita untuk melihat bagaimana kondisi mental individu, kelompok, atau bahkan seluruh bangsa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi. Misalnya, dalam karya sastra yang menggambarkan ketegangan sosial atau politik, psikologi sastra dapat membantu menghubungkan perasaan ketakutan, kebingungan, atau resistansi yang dihadapi oleh individu dengan faktor-faktor yang lebih besar seperti ketidakpastian global atau perubahan sosial (Abrams, 1999; Pradopo, 2007).

Melalui teori psikologi sastra, kita juga dapat lebih peka terhadap perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat kontemporer. Misalnya, dalam era digital ini, banyak karya sastra yang menggambarkan dampak psikologis dari teknologi, media sosial, atau globalisasi terhadap individu. Teori psikologi sastra dapat membantu menganalisis bagaimana teknologi memengaruhi identitas, hubungan antar individu, dan kesehatan mental, serta bagaimana sastra merefleksikan perubahan-perubahan ini. Dengan demikian, teori psikologi sastra membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang transformasi psikologis yang dialami oleh individu di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks (Bennett & Royle, 2004).

Dengan demikian, teori psikologi sastra memberikan alat analisis yang sangat berharga untuk menginterpretasikan karya sastra dalam konteks masa kini, di mana tema-tema psikologis seperti trauma, kecemasan, dan alienasi semakin menjadi bagian integral dari narasi manusia. Teori ini juga memungkinkan kita untuk menelaah lebih dalam bagaimana sastra mencerminkan dan memengaruhi budaya serta masyarakat, menjadikannya relevan sebagai alat untuk memahami dinamika kehidupan di dunia modern.

Tantangan dan Masa Depan Psikologi Sastra

Meskipun teori psikologi sastra menawarkan pendekatan yang mendalam dalam analisis karya sastra, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam penerapannya. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman tentang psikologi di kalangan kritikus sastra, yang bisa menghambat efektivitas penerapan teori ini. Kritik sastra yang lebih berfokus pada unsur-unsur formal atau struktural dalam teks sering kali mengabaikan aspek-aspek psikologis yang tersembunyi dalam karakter atau hubungan antara penulis, karakter, dan pembaca. Untuk menggunakan psikologi sastra secara maksimal, kritikus sastra perlu memiliki pemahaman dasar tentang teori-teori psikologi, seperti teori perkembangan psikologis atau analisis kepribadian (Freud, 1919; Jung, 1968). Tanpa pengetahuan yang memadai dalam bidang ini, interpretasi psikologis terhadap sebuah karya bisa menjadi dangkal atau bahkan keliru. Hal ini menjadi kendala utama dalam mendorong adopsi psikologi sastra secara luas dalam kritik sastra kontemporer (Wellek & Warren, 1993).

Selain itu, tantangan lainnya adalah adanya kecenderungan untuk mengkaji karya sastra melalui lensa psikologi yang terlalu sempit atau reduktif. Beberapa kritik sastra mungkin cenderung menganggap karya sastra sebagai refleksi langsung dari kehidupan psikologis penulis atau hanya menganalisis karakter-karakter dalam karya sastra berdasarkan teori psikologi tertentu, tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau budaya yang membentuk mereka. Pendekatan seperti ini bisa mengarah pada interpretasi yang terisolasi dan tidak menyeluruh (Pradopo, 2007). Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan psikologi sastra dengan pendekatan lintas disiplin lainnya agar analisis sastra tetap komprehensif dan sesuai dengan kompleksitas yang terkandung dalam teks (Luxemburg et al., 1984).

Namun, meskipun menghadapi beberapa kendala, psikologi sastra memiliki peluang pengembangan yang signifikan di masa depan, terutama dalam hal analisis lintas budaya. Dengan semakin terhubungnya dunia global, karya sastra dari berbagai budaya dapat dianalisis dengan pendekatan psikologi sastra untuk menggali dinamika psikologis yang lebih universal (Bennett & Royle, 2004). Setiap budaya memiliki cara yang unik dalam membentuk individu dan masyarakatnya, dan pendekatan psikologi sastra bisa memberikan wawasan baru mengenai bagaimana nilai-nilai psikologis seperti identitas, kekuasaan, atau keluarga diterjemahkan dalam konteks budaya yang berbeda. Misalnya, karakter dalam sastra Asia, Afrika, atau Amerika Latin sering kali terhubung dengan tradisi, sejarah, atau trauma kolektif yang berbeda, yang dapat dianalisis dengan memperhatikan latar belakang psikologis yang membentuk mereka.

Psikologi sastra juga memiliki potensi untuk mengembangkan metode analisis baru yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana karya sastra modern dan kontemporer merespons perubahan global, seperti pergeseran identitas dalam konteks postkolonial atau dampak migrasi dan globalisasi terhadap individu. Pemikiran-pemikiran psikologis yang berkembang, seperti teori kecemasan global atau psikologi kolektif, dapat digunakan untuk menggali fenomena sosial dan budaya yang lebih luas dalam sastra dunia. Di sisi lain, karya sastra yang muncul dalam berbagai media digital, seperti novel grafis atau sastra internet, memberikan ruang baru bagi psikologi sastra untuk mengeksplorasi hubungan antara psikologi individu dan dunia virtual (Abrams, 1999).

Oleh karena itu, meskipun terdapat tantangan dalam penerapannya, psikologi sastra memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan memperluas wawasan kita terhadap karya sastra dari berbagai budaya. Pengembangan ini membutuhkan kolaborasi antara kritikus sastra, psikolog, dan sosiolog untuk menciptakan pendekatan yang lebih holistik dan lintas disiplin dalam menganalisis karya sastra masa kini.

Psikologi Sastra: Masa Kini dan Masa Depan

Dapat disimpulkan bahwa pendekatan psikologi sastra memberikan manfaat yang sangat signifikan dalam memperkaya pemahaman kita terhadap karya sastra. Melalui teori ini, kita tidak hanya dapat menggali karakter dan motif psikologis di balik tindakan para tokoh, tetapi juga dapat mengeksplorasi hubungan antara kondisi mental individu dengan konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Psikologi sastra membantu kita untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana pengalaman hidup, trauma, kecemasan, atau perasaan terasing tercermin dalam narasi sastra, serta bagaimana karya-karya ini menjadi cermin dari kondisi psikologis zaman dan masyarakat tertentu (Freud, 1919; Pradopo, 2007). Dengan demikian, psikologi sastra memperkaya kritik sastra dengan membuka dimensi baru dalam analisis yang lebih manusiawi, kompleks, dan kontekstual (Jung, 1968).

Melihat relevansi dan potensi besar psikologi sastra, penting bagi kita semua, baik sebagai pembaca maupun kritikus sastra, untuk lebih terbuka terhadap pendekatan kritik sastra yang melibatkan dimensi psikologis. Ketika kita menilai sebuah karya sastra, mari kita tidak hanya terfokus pada struktur atau simbolisme yang ada, tetapi juga memberi perhatian pada bagaimana karakter dan cerita itu bisa mencerminkan dunia batin manusia. Hal ini akan memperdalam apresiasi kita terhadap karya sastra dan memungkinkan kita untuk lebih memahami kompleksitas psikologis yang membentuknya (Wellek & Warren, 1993). Dengan membuka diri terhadap pendekatan-pendekatan baru ini, kita bisa mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang manusia dan dunia, serta meningkatkan kualitas diskursus sastra yang lebih inklusif dan mendalam (Luxemburg et al., 1984).

Referensi

Abrams, M. H. (1999). A Glossary of Literary Terms (7th ed.). Boston: Heinle & Heinle.

Bennett, A., & Royle, N. (2004). An Introduction to Literature, Criticism, and Theory (3rd ed.). Harlow: Pearson.

Freud, S. (1919). The Interpretation of Dreams. New York: Macmillan.

Jung, C. G. (1968). The Archetypes and The Collective Unconscious. Princeton: Princeton University Press.

Luxemburg, J. V., Bal, M., & Weststeijn, W. G. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, R. D. (2007). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, R., & Warren, A. (1993). Theory of Literature. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun