Kritik terhadap sastra imajinatif sering kali mengungkap kedalaman emosi, konflik batin, dan pertanyaan filosofis yang kompleks, sementara kritik terhadap sastra non-imajinatif memberikan pemahaman yang lebih konkret dan nyata tentang sejarah, kebudayaan, atau peristiwa sosial. Keduanya memiliki tempat yang sangat penting dalam membentuk dunia sastra yang kaya dan beragam.
Pandangan Kritikus Sastra tentang Relevansi Keduanya
Banyak kritikus sastra kontemporer menyadari bahwa sastra imajinatif dan non-imajinatif tidak bisa dipisahkan begitu saja dalam proses kritik sastra. Roland Barthes, misalnya, dalam esainya yang terkenal "The Death of the Author", menyatakan bahwa makna sebuah teks tidak lagi ditentukan oleh pengarangnya, melainkan oleh interpretasi pembaca (Silaswati, 2021). Hal ini berlaku baik untuk sastra imajinatif maupun non-imajinatif, karena setiap teks dapat diinterpretasikan dari sudut pandang yang berbeda berdasarkan pengalaman pembaca.
Jacques Derrida, salah satu filsuf post-strukturalis, juga menunjukkan bahwa setiap teks, baik fiksi maupun non-fiksi, memiliki unsur dekonstruktif yang memungkinkan adanya pembacaan berlapis-lapis. Menurut Derrida, kritik sastra harus mampu menggali makna yang tersembunyi di balik teks, terlepas dari apakah karya tersebut fiksi atau non-fiksi (Haryono, 2020).
Dalam konteks sastra Arab, kritikus seperti Taha Hussein dan Muhammad Mandur telah menyoroti pentingnya kritik terhadap karya-karya klasik dan modern, baik imajinatif maupun non-imajinatif (Sulista & Latif, 2020). Mereka percaya bahwa sastra, dalam segala bentuknya, mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya yang mendasari masyarakat, dan kritik sastra adalah alat yang penting untuk mengekspresikan dan mengevaluasi nilai-nilai tersebut.
Jadi, sastra imajinatif dan non-imajinatif adalah dua sisi dari koin yang sama dalam dunia sastra. Sastra imajinatif dan non-imajinatif sama-sama penting sebagai objek kritik sastra, karena keduanya menyediakan sudut pandang yang berbeda tentang pengalaman manusia. Sastra imajinatif membawa pembaca ke dalam dunia simbolik yang kaya dan mendalam, sementara sastra non-imajinatif menawarkan narasi yang lebih faktual dan analitis. Melalui kritik sastra, kedua jenis sastra ini dievaluasi dan ditafsirkan secara kritis untuk menggali makna yang tersembunyi di balik teks.
Kritikus sastra modern menyadari bahwa batas antara fiksi dan non-fiksi sering kali kabur, dan keduanya saling melengkapi dalam memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang dunia dan manusia. Oleh karena itu, dalam dunia kritik sastra kontemporer, penting bagi kita untuk memahami bagaimana kedua jenis sastra ini berfungsi dan saling mempengaruhi, serta bagaimana kritik sastra memainkan peran penting dalam menilai dan mengapresiasi keduanya.
Referensi
Aguoru, A., & Odugbemi, I. (2022). National Character and the Narrative of Self-Image in Mandela's Long Walk to Freedom and Obasanjo's My Watch. Journal of Global South Studies, 39(2), 371--401. https://doi.org/10.1353/gss.2022.0028
Dahlan, M. M. (2020). Inilah Esai: Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor. I: boekoe.
Evans, M. (2020). Nelson Mandela's "Show Trials": An Analysis of Press Coverage of Mandela's Court Appearances. Critical Arts, 34(1), 10--24. https://doi.org/10.1080/02560046.2019.1694557