SASTRA IMAJINATIF DAN NON IMAJINATIF: MENGAPA KEDUANYA PENTING DALAM KRITIK SASTRA?
Â
Sastra selalu menjadi cerminan dari realitas kehidupan manusia, sekaligus wadah untuk menyampaikan ide-ide, perasaan, dan nilai-nilai yang mendalam. Dalam dunia sastra, terdapat dua kategori utama, yakni sastra imajinatif dan sastra non-imajinatif (Hula, 2020). Dalam kategori Prof. Sukron Kamil, menjadi al-adab al-washfi dan al-adab al-insya'i (Kamil, 2012). Keduanya memiliki tempat yang signifikan dalam kajian sastra, terutama dalam kritik sastra. Mengapa kedua jenis sastra ini sama-sama penting? Bagaimana kritik sastra dapat mengakomodasi keduanya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita telaah lebih dalam peran dan karakteristik masing-masing.
Apa Itu Sastra Imajinatif dan Non-Imajinatif?
Untuk memahami pentingnya kedua jenis sastra ini, kita perlu terlebih dahulu memahami perbedaannya. Sastra imajinatif adalah karya sastra yang bersifat fiksi, di mana unsur cerita, karakter, dan dunia yang dibangun oleh penulis tidak harus merujuk pada kenyataan atau peristiwa yang nyata (Wahyudi & Anggaira, 2020). Karya-karya ini dapat berupa cerita fiksi seperti novel, cerpen, puisi, atau drama. Dalam sastra imajinatif, unsur narasi, karakter, dan dunia yang diciptakan tidak harus berlandaskan pada kenyataan faktual. Sebaliknya, sastra non-imajinatif adalah karya yang berbasis fakta dan realitas, yang tidak memberikan ruang untuk fiksi atau rekaan (Halimatusa'diah, 2021). Jenis sastra ini lebih bersifat informatif dan analitis, sering kali menyajikan fakta sejarah, biografi, atau refleksi ilmiah. Bentuk-bentuk seperti esai, laporan jurnalistik, autobiografi, dan karya ilmiah termasuk dalam kategori ini.
Contoh Kasus dalam Sastra Imajinatif dan Non-Imajinatif
Contoh karya sastra imajinatif yang sering menjadi objek kritik adalah "Seribu Satu Malam" (Mayasari, 2023; Suyadi, 2019). Karya ini menampilkan dunia fiksi yang penuh dengan cerita-cerita rakyat yang berkembang di Timur Tengah. Namun, kritik sastra terhadap "Seribu Satu Malam" tidak hanya menyoroti alur cerita yang menarik, tetapi juga makna simbolis dan alegoris yang tersembunyi di dalamnya. Cerita-cerita dalam kumpulan ini sering digunakan oleh para kritikus untuk mengeksplorasi tema kekuasaan, gender, dan kebebasan.
Sebagai perbandingan, sastra non-imajinatif seperti biografi "Nelson Mandela: Long Walk to Freedom" memberikan kesempatan kepada para kritikus untuk menilai akurasi dan objektivitas narasi (Aguoru & Odugbemi, 2022). Dalam biografi ini, para kritikus mungkin mengkaji bagaimana peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Mandela disajikan (Evans, 2020), serta apakah penulis mampu menghadirkan tokoh dengan cara yang jujur dan tanpa bias. Kritik terhadap karya non-imajinatif seperti ini fokus pada keandalan fakta, ketepatan informasi, serta kejelasan tujuan dari karya tersebut.
Analisis Kritik terhadap Sastra Imajinatif
Sastra imaginatif sering kali menjadi objek kritik yang lebih mendalam karena kerumitannya dalam menyampaikan makna. Kritik sastra jenis ini biasanya lebih berfokus pada unsur-unsur estetika, simbolisme, dan kreativitas bahasa (struktur naratif). Dalam kritik terhadap karya seperti "Seribu Satu Malam", kritikus cenderung mengeksplorasi bagaimana cerita-cerita di dalamnya membentuk struktur naratif yang kaya dengan makna tersirat. Misalnya, kisah-kisah yang disampaikan oleh Shahrazad tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai metafora untuk perjuangan kekuasaan dan cara perempuan menggunakan kecerdasan untuk bertahan hidup dalam masyarakat patriarkal.
Karya-karya Shakespeare, seperti "Hamlet" dan "Macbeth", juga menjadi contoh utama bagaimana kritik sastra terhadap sastra imajinatif berfokus pada pengembangan karakter dan tema universal (Nuryanto, 2023). Kritik terhadap "Hamlet", misalnya, sering mengeksplorasi kompleksitas karakter Hamlet dan pergulatan batinnya dalam menghadapi dilema moral. Di sini, kritik sastra bekerja untuk menelusuri kedalaman karakter, memeriksa tema-tema seperti kesetiaan, ambisi, dan kematian, serta bagaimana Shakespeare menggunakan bahasa puitis untuk mengekspresikan hal-hal tersebut.