Mohon tunggu...
Iip  Syarip Hidayat
Iip Syarip Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Blogger, Enterprenuer, Konten Kretor dan penulis

email :iipsyarip1@gmail.com Fb. Iip Syarip Hidayat Telp. 085524657568

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Antara Pendidikan, Ladang Sawit, dan Buruh Migran Indonesia

20 April 2018   19:54 Diperbarui: 22 April 2018   10:33 4373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kompas.com/Roderick Adrian Mozes

"Perkebunan kelapa sawit yang begitu terhampar luas sepanjang perjalanan dari area Telupid sampai Tawau, semua digarap oleh orang Indonesia, seandainya orang Indonesia dipulangkan oleh pemerintah dan tak boleh lagi bekerja sebagai buruh sawit di Malaysia, maka bagaimana dengan perekonomian Malaysia? "

Sekolah Indonesia Kota Kinabalu merupakan satu-satunya sekolah luar negeri yang ada di Negeri Sabah, Malaysia.  Semua Sekolah Comunity Learning Center (CLC) yang berada di Sabah baik di perkebunan sawit  maupun di daerah lainya semua berpusat ke SIKK. Tak terkecuali kegiatan Ujian, mulai dari ujian tingkat SD, SMP, SMA, paket A, paket B, dan paket C semua diatur oleh SIKK.  

Sehingga para guru yang bertugas di SIKK harus bekerja ekstra keras untuk menangani semua kegiatan. Dalam kegiatan ujian sekolah saja kami dibagi beberapa tim yaitu tim pembuat soal ujian sekolah, tim packing soal, tim editing soal dan tim distribusi soal.

Sebelum berangkat ke Malaysia, Sengaja saya menyempatkan untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) Internasioal. Saya berpikir pada saat itu ketika sesekali dibutuhkan maka saya tidak perlu pulang ke Indonesia. Sehingga begitu sekolah membutuhkan yang berhubungan dengan transportasi saya terpaksa harus siap. Karena yang pertama ditujuk adalah yang mempunyai dokumen lengkap termasuk SIM. Jika ada kegiatan mendadak seperti mengantar siswa untuk pertunjukan, mengantar tim perpustakaan keliling, dan termasuk mengantar soal saya pun harus selalu siap.

Dalam kegiatan tim distribusi soal saya kebagian tugas mengantar ke daerah Tawau yang jika ditempuh dengan kecepatan rata- rata 100 km/jam adalah sampai 10 hingga 12 jam. Akan tetapi perjalanan mengantar soal ini tidak semudah yang dibayangkan karena harus berhenti di setiap setiap CLC (comunity learning center) yang berada di ladang-ladang sawit. Bukan hanya mengantar tetapi mengambil lembar jawaban ujian sebelumnya.

Pengalaman mengatar soal ke seluruh CLC merupakan pengalaman pertama saya. Sebuah pengalaman menarik bisa berkunjung ke setipa sekolah-sekolah yang berada di kebun sawit. Juga sekaligus bisa dijadikan ajang silaturrahmi dengan guru-guru yang mengajar di CLC. 

Selama perjalanan mengunjungi CLC ke CLC lainya hati saya terus berpikir begitu hebat dengan perjuangan teman-teman guru yang ngajar di ladang-ladang sawit. Mereka seolah diasingkan dari sebuah peradaban. Jika kita lihat dari luar seolah tidak nampak kehidupan. 

ilustrasi: voaindoesia.com
ilustrasi: voaindoesia.com
Sepanjang penglihatan dipenuhi dengan perkebunan kelapa sawit yang  terhampar luas. Dari mulai area Telupid sampai Tawau yang jarak tempuhnya mencapai sepuluh jam semuanya di penuhi dengan kelapa sawit dan tidak ada pohon lain. Bisa dibayangkan betapa luasnya perkebunan sawit di Sabah ini. Ketika masuk kedalam barulah nampak ada kehidupan didalamnya seperti perkampungan di tengah hutan sawit.  

Dari pengalam teman-teman yang mengajar di ladang-ladang sawit saya ikut merasakan betapa berat perjuangan mereka itu sangat hebat. Saya sendiri belum tentu bisa bertahan jika ditugaskan di hutan sawit yang begitu jauh dari perkotaan. Jika sudah berada dil ladang mereka sulit sekali untuk keluar untuk sekedar mencari makanan atau kebutuhan hidupnya. 

Ada beberepa ladang sawit yang mempunyai aturan sangat ketat bahkan untuk keluar pun tidak boleh. Kalau pun keluar ladang di batasi jika lewat dari jam sekian tidak boleh masuk atau pun keluar. Kadang listrikpun mereka dibatasi di jam-jam tertentu mereka bisa menggunakan listrik. Belum lagi pengunaan akses internet pun ada yang sulit dijangkau.  

Yang paling sulit adalah mendapatkan air bersih, air di area ladang  sudah tidak layak untuk diminum. Paling bisa di gunakan untuk mandi dan mencuci saja. Karena sudah mengandung minyak dan zat-zat berbahaya bagi tubuh. Sehingga teman-teman guru di ladang harus membeli air minum dari kota. Dengan perjalanan melewati hutan sawit yang terkadang ditengah perjalanan bertemu hewan-hewan buas seperti babi hutan, gajah, ular dan lainya.

Sepanjang perjalanan, sambil melihat pemandangan kelapa sawit yang terhampar luas saya pun terus berpikir dan berkata-kata sendiri. "Kebun sawit yang begitu terhampar luas sepanjang perjalanan dari area Telupid sampai Tawau itu semua di olah oleh orang Indonesia, seandainya orang Indonesia dipulangkan oleh pemerintah dan tak boleh lagi bekerja sebabagai buruh sawit di Malaysia, maka semua perekonomian malayisa akan lumpuh" dalam pikiranku sambil terus menyetir mobil yang terus melaju.

Memang jika kita lihat semua perkebuanan sawit yang begitu luas semuanya digarap oleh orang Indonesia  terutama dari daerah Sulawesi dan Indonesia bagian timur. Mereka terpaksa harus bekerja sebagai buruh kelapa sawit dengan alasan hanya satu "untuk mencari sesuap nasi". Padahal jika hanya ingin menjadi buruh kasar seperti itu di Indonesia pun banyak dan kenapa mereka tidak mau mengolah apa yang ada di negerinya sendiri. 

Sementara mereka bekerja di negeri orang yang pemerintah Malaysia sendiri tidak begitu peduli dengan pendidikan anak-anak Indonesia, pemerintah Malaysia hanya butuh tenaganya saja.

Sungguh sangat ironi memang, Indonesia yang begitu luas dan subur tetapi masyarakatnya tidak bisa mengolahnya sendiri dan malah memajukan negeri orang lain. Padahal jika dibandingkan dengan Indonesia dari kekayaan alam dan sumber daya manusia sebetulnya Malaysia tidak ada apa- apanya. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang sangat bagus. 

Terlihat begitu banyak orang Indonesia yang bekerja di bebarapa perusahaan bagus di negera- negara lain. Saya sering berbincang dengan orang Malaysianya  sendiri, sebetulnya mereka mengakui akan potensi orang Indonesia. katanya orang Indonesia pekerja keras, ulet dan mau bekerja apapun baik pekerjaan kasar maupun ringan

Di Malaysia yang mengerjakan bangunan, buruh-buruh sawit dan industri kreatif rata-rata dari Indonesia. Sementara orang Malaysia sendiri cenderung lebih memilih pekerjaan yang ringan seperti berdagang, menjadi pegawai kerajaan serta pegawai kantoran. Karena mereka merasa bahwa kerajaan sudah menjamin hidupnya dari mulai rumah, pendidikan dan tunjangan kurang mampu.

Warga Malaysia yang berpenghasilan kurang dari 1000 Ringgit, mereka mendapat bantuan dari pemerintah. Begitu pun sekolah, semua warga bisa bersekolah sampai jenjang SMA serta perguruan tinggi dengan mengajukan pinjaman dari kendaraan. Juga bantuan rumah yang disubsidi oleh pemerintah untuk warga yang berpenghasilan rendah.

ilustrasi: batasnegeri.com
ilustrasi: batasnegeri.com
Kembali lagi kedalam bahasan mengenai pendidikan anak-anak Indonesia di Malaysia. Sekolah-sekolah CLC yang di dirikan di ladang-ladang sawit merupakan sekolah- sekolah yang didanai pemerintah Indonesia bekerja sama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Itupun izin pendiriannya tidak mudah harus terus melobi pihak perusahan. 

Karena seperti yang dikatakan tadi, mereka hanya butuh tenaga untuk bekerja di perusahaan kelapa sawitnya dan tidak peduli dengan pendidikan anak-anak Indonesia. Benar-benar seperti pada zaman kolonialisme Belanda yang orang Indonesianya tidak boleh belajar dan pintar. Mereka berpikir jika orang Indoensia sekolah dan kemudian pintar maka tidak akan mau lagi bekerja sebagai buruh sawit untuk mereka.

Perjalanan mengantar soal cukup menguras tenaga karena lumayan menghabiskan waktu sampai 3 hari dua malam. Saya beserta tim terpaksa harus menginap. Banyak  sekali pelajaran  positif selama melaukan perjalanan mengantar soal ke seluruh CLC yang ada di Sabah dan jumlahnya mencapai  ratusan.  Begitu berat perjuangan teman -teman guru ladang untuk mencerdaskan anak bangsa.  

Puluhan ribu orang Indoensia rela meninggalkan tanah air hanya untuk menjadi buruh kelapa sawit di negeri tetangga dengan alasan untuk mencari sesuap nasi. Padahal negerinya sendiri begitu luas dan subur. 

Jika di perhatikan hidup mereka di Malayisa tidak begitu sejahtera dan enak. Mereka hidup diatur oleh orang lain, mereka diasingkan dari keramaian dan mereka harus berpetak umpet dengan pihak kepolisian Malaysia kerena dokumen tidak lengkap. Gaji mereka pun tida begitu besar rata-rata hanya 800-1500 RM jika di kurskan ke rupiah antara Rp 2.100.000- 4.500.000,' itupun belum termasuk biaya hidup yang lumayan cukup tinggi.

Apakah hanya urusan perut atau sesuap nasikah yang menjadi alasan mereka? 

Apakah Indonesia sudah tidak layak lagi untuk di huni karena  faktor pekerjaan yang sulit didapat, harga-harga terus melambung tinggi dan pemerintahnya kurang peduli terhadap rakyat kecil?

Atau juga mereka sudah terlanjur nyaman hidup di negara tetangga?

Wallohualam.. hanya mereka sendiri yang bisa menjawab.  Yang pasti pendidkikan anak-anak Indonesialah yang benar-benar harus diselamatkan. Karena mereka yang akan menentukan bagaimana Indonesia ke depan. Jika para warga Indoensia beranak pinak di negeri orang sementara anak-anak Indonesia tidak mendapatkan pendidikan dan mereka pulang ke Indonesia atau tetap tinggal di Malaysia dengan tidak memiliki pendidikan, bisa kita bayangkan akan seperti apa orang Indonesia kedepan?  

dokumen pribadi
dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun