Senja ini, aku termenung di depan teras sambil aku lihat kalender yang tergantung di pojok teras, kuamati deretan anggka dan mata ini tertuju ke tanggal yang berwarna merah, kapan waktu libur tiba?, yaaa waktunya mudik kalau sudah tiba Bulan Ramadan, dan senja ini hari pertama bulan Ramadan Abah sudah dua kali menelpon ku, kapan aku pulang? Aku belum bisa menjawab, karena aku belum tahu kapan tiba libur hari raya.
Aku duduk dengan pandangan tak menentu, antara haru, dan gembira, bagaimana tidak Aku terharu sekali dengan permintaan Abah, kalau aku harus cuti kerja, jadi bisa pulang lebih awal,  sebuah permintaan yang sulit aku terima, karena Aku dan Ayahnya anak-anakpun bekerja, dan  anak-anak belum ada yang libur sekolah, Abah adalah sosok yang selalu menginpirasi, ucapannya yang lemah namun tegas, bahasanya yang santun penuh nasihat baik, dari bibirnya selalu terucap dzikir, sorot matanya yang meneduhkan, sungguh sosok yang membuatku bangga, tak terasa air mata menetes di pipi,  maafkan anakmu yang tak berguna ini, aku hanya bisa mengunjungimu ketika libur, Aku terlalu pongah dengan kesibukanku, aku tak peduli dengan rasa rindumu, aku yang tak peduli dengan kekhawatiranmu, maafkan Aku Abah.
Suara teriakan Diva membuyarkan lamunanku, segera Aku usap perlahan tetes airmata kerinduan ini, Aku tak mau anak-anaku tahu kalau Aku menangis, Aku alihkan perhatianku pada Diva, Dia yang berambut  ikal menambah kelucuannya, wajahnya yang mirip Abah, kata orang takut gak diakui cucunya, apalagi dengan suaranya yang jawa banget, Diva juga yang dipanggil Abahku "Juminten", Dia berlari ke arahku, sambil duduk di sebelahku, dan berseru...
"Bun, lebaran masih lama?" tanya Diva sambil menyentuh tanganku.
"Masih lama Non! Puasa baru dapat satu hari" jawabku sambil tersenyum kecil.
"Bun, nanti pulang ke rumah Eyang yah?" rajuknya sambil bejalan ke kamar.
Kembali Aku pandang kalender yang tergantung, kapan ya aku bisa menemui Abah? Beliau yang kini tinggal seorang diri, dan ditemani adikku yang paling kecil. Sejatinya Abah harus ditemani oleh anak perempuannya, namun bagaimana lagi, anak perempuan dengan kodratnya harus mengikuti apa kata suaminya, karena surganya seorang istri ada pada ridho suaminya, apalagi sejak kami menikah, dan sejak putri ketiga kami masuk sekolah taman kanak-kanak, dengan anjuran suami Aku bekerja dan kini menjadi abdi negara, nah dengan demikian Aku tak bisa seenaknya izin atau tidak masuk kantor untuk urusan pribadi. Aku hanya bisa menghubungi Abah melalui telpon.
Ini hari pertama bulan Ramadan, Â dering telpon sudah berbunyi, Aku lihat nama adikku yang membersamai Abah di Bandung, aku angkat dan...
"Assalamualaikum  Nadia" terdengar suara Abah dengan suara yang berat.
"Waalaikumsalam Abah" Jawabku dengan nada kaget, gak biasanya Abah telepon sendiri, biasanya adikku yang telepon.
"Abah bagaimana kabar" tanyaku dengan nada senang.
"Abah sehat, kamu sama anak-anak bagaimana kabar?" jawab ayah dengan penuh semangat.
"Alhamdulillah sehat semua" percakapanpun berlangsung lama, Aku dan anak-anak sangat rindu sama Abah, demikianpun sama Abah, aku mendengar suranya riang pertanda Abah bahagia. Dan aku berjanji lebaran tahun ini akan pulang, dan seperti biasanya Aku akan bertanya pada Beliau, mau dibawain oleh-oleh apa?, dan untuk hadiah lebaran mau di belikan apa?, soalnya Abah suka agak susah dan maunya milih sendiri, dan untuk hadiah lebaran tahun ini pun nanti saja kalau sudah di rumah Abah, Abah mau milih, ini pertanda kalau Aku harus mudik tahun ini.
Bulan Ramadan yang penuh berkah dan hikmah, apapun akan menjadi ibadah, kebahagaiaan dalam keluarga bisa terasa di saat berbuka dan makan sahur, tarawih dan tadarus, semua kegiatan menambah kebahagiaan kami, bagaimana kami mendidik putra-putri kami, tidak lepas dari nasehat dan ilmu dari Abah, Abah yang keras namun lembut, Abah yang displin, bagaimana Abah membiasakan kami sejak kecil,untuk menjadikan rumah sebagai sekolah dasar bagi kami dan anak-anak, apalagi Aku sebagai Ibu, Abah selalu bilang kalau Ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya al-ummu madrasatulul-ulla, masih Aku ingat dan akan terus Aku ingat kata-kata bijak Abah, bagaimana Abah mendidik kami dengan keteladanan Rasulullah, mulai berbicara, makan, belajar, dan bahkan hal- hal yang menyertai ibadah pun seperti menutup aurat, siapa mahram dan siapa muhrim, itu sangat luar biasa, sampai Abah menjelaskan setiap perintah dengan disertai dalil sebagai dasar hukumnya, Abah adalah guru besar kami putra-putri Beliau, semoga semua kebaikan Abah buat kami, Allah balas dengan berjuta-juta kebaikan yang menyertainya.
Tidak terasa bulan istimewa ini akan meninggalkan kami, sedih sekali, namun bahagia buat Diva dan Dimas, bagaimana tidak?, kami akan segera ke rumah eyang. Setelah waktu libur tiba, persiapan sudah kami lakukan jauh-jauh hari, mulai hadiah lebaran buat adikku dan istrinya, dua keponakanku, Bi Oom dan Mang Hadi, mereka yang selalu setia menemani Abah, Mang Dede marbot setia di masjid milik Abah, dan terpenting oleh-oleh buat Abah, rasanya jiwa ini sudah ada di pelukan Abah, hemmmm, perjalanan yang jauh dari ujung timur Pulau Jawa sampai ujung barat Pulau Jawapun, serasa menyenangkan sekali.
                            ***
Alhamdulillah kami sampai di rumah Abah, rumah besar itu penuh kenangan, masih tetap bercat hijau, balai besar nan kokoh pun masih berdiri, hamparan rumput hijau, rangkaian bunga dan tanaman obat berjejer di balik pagar besi, rapi, asri, dan meneduhkan, semuanya menandakan penghuninya yang mencintai alam, ramah, bersih, dan entah apalagi yang bisa Aku gambarkan rumah masa kecilku, tak banyak berubah memang, ketika Aku turun dari mobil, sosok yang tak asing bagiku menyambut dengan senyuman dan tetesan air mata, merentangkan kedua tangannya yang siap menyambut  dan memeluk kami, pelukkan erat tanpa kata hanya airmata saksi bahwa kami rindu serindu-rindunya.
"Abah sehat" pelukkanku semakin erat.
"Alhamdulillah sehat" sambil melepaskan pelukan dan membimbing kami masuk ke dalam.
Rumah ini sejak dua puluh tahun aku tinggal dan hanya setahun sekali Aku menengoknya, tak banyak berubah, deretan poto pernikahan putra-putri Abah yang tertata rapi, pun deretan foto wisuda putra-putri dan bahkan foto semua cucu Beliaupun  masih rapi, bahkan semakin bertambah koleksinya. Suasana rumah ini yang membuat Aku rindu, rumah yang penuh cerita, dan akhirnya kami duduk bersama bercerita sampai tiba waktu maghrib, Bi Oom yang sudah Aku pesankan untuk masak kesukaan kami. Hidangan berbuka sudah siap di meja makan.
Aku tahu Abah kesepian di akhir perjalanan hidupnya, Aku tak ingin melewatkan sedetikpun waktu agar selalu bersama Beliau, Aku ingin menebus kesepian Abah, yang selama ini Abah rasakan.
Esok harinya, setelah pengajian subuh, aku mendekati Abah, dan
"Abah, selain hadiah tadi malam, Abah mau beli apalagi?" tanyaku sambil duduk memegang tangan Abah.
"Abah sudah punya sorban merah, beli di Mekkah waktu haji dulu" cerita abah.
"Abah mau koko dan sarung merah tua seperti sorban" pintanya sambil beranjak ke arah lemari untuk mengambil sorban merah tua.
"Siap Abah" jawabku penuh semangat, kini jelas sudah permintaan Abah.
                       ***
Setelah pekerjaan membersihkan rumah tuntas, Aku bergegas mengambil motor matic kepunyaan Abah, Abah masih jago mengendarainya, terutama buat menghadiri pengajian, Masya Allah ta barakallah, semangatnya yang luar biasa dalam mengembangkan syiar  Islam di zaman yang sudah seperti ini, perlu diacungkan dua jempol, luar biasa sekali.
Dengan berbekal foto sorban merah tua, Aku berkeliling mengelilingi pasar sampai pertokoan mencari dua benda pesanan abah, koko dan sarung merah tua, sangat sulit sekali, demi Beliau sang Maha Guru, dengan rasa haus yang menggelitik kerongkonganku, tak Aku hiraukan, tujuan utamaku menemukan baju koko dulu. Keluar masuk toko busana muslim, dan akhirnya aku menemukan, dengan penuh semangat Aku lanjutkan  berburu sarung merah tua, setiap kotak Aku buka, hampir semua toko Aku telusuri dan bahkan Aku bongkar demi sebuah sarung merah tua, dengan doa yang terus aku panjatkan semoga Allah memudahkan urusanku ini, setelah kesabaran dan Aku sangat letih sekali, Aku bersandar di sebuah toko terakhir, walau aku sudah pasrah, dan berencana nanti malam aku pergi keluar kota mencarinya, sedangkan besok sudah hari raya.
"Mbak mencari apa?" sapa seorang pelayan kepadaku.
"Sarung warna merah tua mas" jawabku dengan suara ogah-ogahan karena aku sudah capek dan menyerah.
"Baik mbak, saya carikan ya, mbak duduk saja disini" pintanya sambil menyodorkan kursi plastik.
Alhamdulillah, dengan Kemurahan Allah, mas pelayan toko itu bisa menemukan apa yang aku minta tadi.
Tanpa pikir panjang Aku beli, Aku gak peduli harganya yang terpenting permintaan Abah. Dengan rasa bahagia aku pacu sepeda maticku dengan kecepatan tinggi, aku ingin melihat senyum  Abah, Aku ingin membahagiakan Abah,walau apa yang sudah aku lakukan ini tak ada artinya dibanding perjuangan Beliau untukku.
Aku bersyukur masih bisa melihat senyum Abah, Aku peluk Beliau dengan penuh kehangatan, besok lebaran Aku ingin menemani Beliau.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha Illallah Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillailham. Gema Takbir bersahutan dari masjid dan musala. Menambah haru, suka, gembira menyambut hari yang fitri.
Keesokkan harinya setelah selesai menjalankan sholat Iedul Fitri, dan Beliau masih diberikan kesempatan untuk menyampaikan sepatah dua patah kata penutup sebelum doa, Beliau mengeluh sakit kepala, dan mulailah beliau sakit yang menurut medis hanya sakit biasa, Beliau hanya ingin di temani oleh kami dan seluruh penghuni rumah, di sela-sela sakit Beliau, Beliau selalu bertanya...
"Kapan pulang?" tanyanya sambil menggenggam jemariku.
Kugenggam tangan yang dulu kokoh, yang dulu selalu menggendongku, yang dulu begitu kuat menuntun bahkan berjuang untuk kehidupanku, airmata tak bisa aku tahan, mengalir deras sederas rasa sedihku, Abah semakin lama suaranya semakin terbata-bata, banyak pesan yang keluar dari bibirnya yang terus menggumamkan tasbih, tahlil, takbir, Aku genggam erat, dan Aku tak tahu kalau itu genggaman tangan Abah yang terakhir, Aku lihat Beliau tersenyum, dan tersenyum, sambil perlahan melepaskan genggamanku, innalillahi wa inna ilaihi raji'un, Beliau kembali ke pangkuan Sang Pemilik, Beliau menghadap-Mu dengan senyuman, tangiskupun pecah melangit, memanggil Abah yang kini sudah kembali.
Hari nan fitri, Abah kembali, disaat sanak saudara sedang berkumpul, menikmati suka cita hari yang fitri, engkau kembali diwaktu yang tepat, ketika semua dosa telah termaafkan, ketika rindu sudah terobati, ketika pesan sudah tersampaikan, ketika engkau kembali, berjuta doa mengantarmu menuju surga-Nya yang abadi, selamat jalan Abah, ilmu dan hikmahmu semoga bisa bermanfaat bagi umat, dan bisa jadi penerangmu sebagai wasilah menghadap Sang Maha Abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H