Aku seorang gadis remaja, sejak kecil tumbuh dan hidup tanpa seorang ibu, karena ibu sudah kembali ke pangkuan Sang Maha Pemilik. Aku menyadari bahwa apapun ini yang terbaik, Tuhan mengambil dia lebih cepat agar aku menjadi seorang wanita yang kuat, dan tegar yang bisa menjalani berbagai penomena dan problematika hidup.
Di setiap sore, aku biasa gobrol sama Bapak di teras rumah. Bapak bertanya dengan suara yang penuh pengharapan.
"Teh, teteh (panggilan mbak atau kakak perempuan dalam bahasa Sunda) kan sudah besar dan sudah mulai dewasa, bolehkah Bapak bertanya?".(dengan suara yang perlahan tapi pasti).
"Boleh Pak!". sahutku agak penasaran (sambil duduk merapat ke samping Bapak).
"Teh, bolehkah bapak menikah lagi?"
Terhenyak aku dalam diamku, aku menghela nafas, dan aku hanya bisa bilang,
"Nanti teteh pikirkan dulu" sahutku datar dan bingung.
"Ya teh, tolong dipikirkan lagi ya teh", sahut bapak perlahan dengan penuh harapan.
Sejak obrolan sore tadi, masih terdengar jelas harapan Bapak. Ini memang sulit, ketika aku harus berbagi kasih sayang Bapak dengan wanita lain, dan menggantikan posisi mamaku dengan dia. Satu sisi aku juga berpikir, kasihan Bapak yang sudah menemani hari-hariku sampai melupakan kalau Bapak membutuhkan seseorang untuk menjalani hari-hari tuanya, apalagi sebentar lagi akan pensiun.
Perasaan itu bergejolak dalam jiwaku, antara mengizinkan atau melarang Bapak untuk menikah kembali. Semalaman aku tak bisa memejamkan mata sekejap pun, aku gelisah, aku bingung, seakan aku akan kehilangan Bapak untuk selamanya.
Esoknya, Bapak tersenyum melihat aku duduk sendiri dengan mata yang lebab, karena semalam kurang tidur, aku bisa melihat bapak terlihat sedih, tapi masih menyimpan harapan, kalau aku harus menjawab secepatnya.
Setiap berpapasan dengan Bapak, aku berusaha menghindar agar aku tak di tanya, perihal pertanyaan Bapak kemaren. semakin aku menghindar semakin aku bingung, harus jawab bagaimana. Dari jendela kamar aku melihat bapak duduk di kursi teras, pandangannya jauh ke depan tanpa isi, aku tahu Bapak gelisah, menunggu jawabanku.
Tuhan, beri aku jalan terbaik, beri aku keputusan yang tidak menyakiti siapappun.
Dengan berat hati, akhirnya aku memberikan jawaban, dan mengijinkan Bapak untuk menikah lagi
"Pak, Bapak boleh menikah lagi, kalau itu yang terbaik", sahutku di suatu sore.
"Benarkah teh?" tanya Bapak seolah tak percaya dengan jawabanku.
"Ya, Pak", sahutku (walau aku tahu, hati kecilku tak mengijnkan, aku di bayang-bayangi oleh banyak cerita, kalau ibu tiri hanya cinta pada Bapakku saja, seperti syair lagu) hemmm.
Bapakku memeluk erat, dan aku bisa merasakan kalau hati dan perasaan Bapak sedang bahagia.
Di suatu sore, kami kedatangan tamu, dua orang bapak dan seorang perempuan yang berpenampilan sederhana, aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan di ruang tamu, yang aku tahu bi oyok membuat teh dan menyajikan kue buat tamu itu.
Tak berapa lama, aku di panggil Bapak, dan mengenalkan tamu-tamu itu. Dan dugaanku tepat, mereka adalah keluarga dari perempuan yang akan menikah dengan Bapak. Entah apa perasaanku, senang, sedih, atau bagaimana. Aku hanya tersenyum dengan perasaan gak karuan. aku hanya berdoa, Tuhan berikan aku kekuatan , dan seandainya ini yang terbaik, semoga Bapak bahagia.
Setelah kedatangan tamu di sore itu, tidak berapa lama Bapak menikah dengan seorang perempuan yang ada di bagian tamu sore itu.
Mulailah hari-hariku bersama seorang ibu, aku memang manusia biasa apalagi masih remaja. Aku berontak dengan keadaan ku sekarang. Biasanya aku selalu berdua bersama Bapak, makan, nonton tv, dan jalan di sore hari. Kini aku harus berbagi, selalu ada ibuku di kesehariaanku.
Aku marah, aku sedih, dan aku berontak dengan keadaan ini, mulailah aku bermuka masam di depan mereka berdua, tidak mau menurut, tidak mau makan bareng, atau bahkan tidak memperlihatkan batang hidungku di depan mereka, aku mulai main dengan teman-temanku, mulai tidak makan di rumah, atau bahkan aku tidak keluar kamar sama sekali untuk sekedar melihat atau bertemu mereka, Aku tahu mereka khawatir dengan keadaanku, itu terlihat di raut muka Bapak yang selalu merayu aku untuk makan, atau mengajak keluar.
Aku selalu menolak, dan menolak. Aku merasa kalau ibu sudah mengambil Bapak dariku, sudah membuat bapak menjauh dariku, sudah membuat aku menjadi anak yang terlantar, tidak di perhatikan lagi.
Aku mulai tidak betah di rumah, aku hanya main ke rumah teman-temanku, aku tak mengindahkan nasehat orang-orang di sekitarku, aku tak peduli, aku marah dan jengkel.
Karena aku jadi jarang makan, dan pikiranku yang kacau, aku jatuh sakit dan sampai masuk rumah sakit, ketika ibuku melayaniku, memberikan perhatian padaku, aku selalu berontak dan menolak, bahkan aku selalu mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, dengan harapan ibu akan meminta cerai ke Bapak ku.
Karena rasa emosi, sedih yang membuat penyakitku tak kunjung sembuh, maka aku semakin lama tinggal di rumah sakit.
Aku selalu gak peduli dengan perhatian ibuku, rasa benci dan marah jadi satu. Aku lihat Bapak dan Ibuku mulai khawatir dengan kesehatanku yang semakin menurun, Aku lihat guratan sedih di wajah Bapak dan Ibu, mereka selalu menjagaku, apalagi ibuku, dia selalu menjagaku siang dan malam, mulailah hatiku bersahabat, melihat Ibuku selalu dengan sabar melayaniku, selalu diam kalau aku marah atau bahkan membentaknya, aku merasa bersalah sekali.
Apalagi selama aku sakit, dia selalu menemani, menghibur, dan bahkan menyuapiku. pertama aku gak mau, rasa benci yang mengganggu hati dan pikiranku. Tuhan, maafkan aku, ternyata dia sangat baik sekali, walaupun sikapku yang kurang baik pada dia, tapi dia selalu tersenyum dan pancaran matanya sangat menyejukkan sekali.
Dia, tak sedetikpun meninggalkanku ketika sangat marah sekalipun, Tuhan dia begitu baik, tidak pernah membalas sikapku yang tidak baik, dia selalu melayaniku dengan penuh kesabaran dan keibuan.
Dia selalu bertanya,
"Teh, mau makan apa?" sahut Dia dengan lembut
"Gak mau" jawabku dengan nada kesal
"Teh, nanti perutnya sakit!" Dia merayuku dengan penuh pengharapan
"Gak usah pedulikan aku!" jawabku dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
Selalu itu drama yang aku lakukan, dengan harapan dia akan sakit hati, marah, terus akan pergi meninggalkan aku dan Bapak.
Ternyata dugaanku meleset, dia selalu melayani dan tidak membalas semua perlakuan burukku.
Sampai akhirnya, Tuhan membuka hati dan pikiranku, betapa baiknya dia, betapa sayangnya dia padaku. Sesampainya di rumah, sikap dia sangat baik, dia selalu membelaku di depan Bapak. Sampai di suatu hari.
"Bu, maafkan teteh ya, yang selalu bersikap tidak baik pada Ibu!" sahutku dengan perasaan sedih (takut permintaan maafku tidak di terima).
"Tidak apa-apa teh", sahut Dia  penuh kelembutan.
"Aku selalu mebuat ibu kecewa", sahutku sambil memeluk dia.
"Sudah ibu maafkan". Dia menjawab sambil memeluk erat tubuhku.
"Terimakasih ibu", dekapanku semakin erat.
Aku gak mau kehilangan dia, yang sangat mengerti aku, yang selalu ada di kala aku kesepian, dan selalu menghibur ketika aku sedih.
Kini hari-hariku penuh warna, apalagi setelah hadirnya adik kecil yang lucu, aku selalu menjaganya, dan bahkan mengajaknya bermain kalau Ibu sedang sibuk.
Ibu bukan hanya semata seseorang yang mengandung dan melahirkan kita, tetapi seseorang yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatiaanya, ibu bukan hanya sosok yang sama DNA dengan kita, tetapi seseorang yang menyayangi kita dengan sepenuh hati dan jiwa, Ibu bukan hanya hubungan biologis saja, tetapi bisa menjadi sosok yang membanggakan, yang menemani, yang mau berbagi kehidupannya dengan kita.
Dia, walaupun bukan ibu biologisku, bukan yang mengandung ku, bukan yang melahirkan aku, tetapi kasih sayang dan cintanya tak pernah setengah hati.
Tidak kita pungkiri, banyak ibu kandung yang menelantarkan anaknya, bahkan membunuh sebelum dia lahir, jadi bersyukurlah selalu, Tuhan masih memberi kita seseorang yang begitu kasih dan sayang kepada kita, hormatilah, sayangilah, dan cintailah dia seutuhnya.
Terimakasih Ibu, yang sudah menginpirasi banyak hal. Kasih dan sayangmu tak ku ragukan lagi. Selalu aku dengar, banyak doa yang terucap dari bibirmu untukku. Kini setelah aku menjadi ibu, aku mengerti betapa besar cinta seorang ibu kepada anak-anaknya. Hanya doa yang bisa aku panjatkan, semoga Tuhan membalas semua kebaikannmu, dan selalu melindungi sepanjang perjalanan hidupmu. amiin". Â
#BuatIbukuTercintaNenahMaemunah
Profil Penulis: Iin Nuraeni, biasa di panggil Teh Iin.
Bagi penulis, menulis merupakan hobi baru yang menyenangkan karena dapat menebarkan kebaikan serta mencurahkan bermacam ide melalui rangkaian kata dan kalimat. Cerpen pertama penulis adalah "Seminggu Bersama Bapak". Dari cerpen perdana inilah, penulis semakin semangat belajar menulis.
Teh Iin bisa di temui di iinnuraeni2001@gmail.com
                    IG Nuraeni_iin72      FB Teh iin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H