Mohon tunggu...
Iin Nadliroh
Iin Nadliroh Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan (Fakultas Tarbiyah) -

Mahasiswa Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resepsi Mewah Bukan Jaminan Hidup Bahagia

25 September 2018   17:47 Diperbarui: 26 September 2018   14:00 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilansir dari artikel tirto.id, riasan wajah yang mangling harus sepaket dengan baju pengantin yang super megah nan elegant. Jangan tampil cuma sederhana, bisa-bisa pengantin kalah saing dengan tamu undangan. 

Catering dan dekorasi ruangan juga tidak boleh disepelekan, harus enak, unik dan cantik. Jangan sampai tamu undangan yang sebagian besar tidak dikenal mempelai itu pulang dengan mengingat apalagi menggunjing atau mencela pesta pernikahan kita.

Percaya atau tidak tapi memang inilah kenyataannya, bahkan di tempat tinggal saya juga mengalami hal serupa. Banyak orang rela menggeluarkan uang kelewat lebih untuk mewujudkan impian pernikahan mewah yang diidam-idamkan selama ini. Jika kurang, berutang tak mengapa. Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa "menikah cuma sekali seumur hidup, jadi wajar jika jorjoran saat resepsi".

Sebenarnya banyak hal yang harus kita persiapkan sebelum melaksanakan pernikahan, sebut saja persiapan pranikah. Resepsi mewah itu mah urutan ke 10 bahkan 100 kalo menurut saya. 

Persiapan pranikah misalnya bagaimana kita menyatukan pendapat karena menikah itu untuk sekali seumur hidup kita harus benar-benar mengetahui calon imam kita mulai dari sifat, sikap, kebiasannya dan lain sebagainya. 

Menikah juga menyatukan dua pendapat yang berbeda dan bertolak belakang, jika dalam sebuah pernikahan tidak adanya sikap menghargai dan menghormati pendapat pasangan, maka bukan kebahagiaan yang kita dapat tapi kesengsaraan. Karena setiap hari kita selalu berselisih faham tidak ada yang mau mengalah dan tidak ada yang bisa mengontrol egonya masing-masing. Belum lagi jika sudah mempunyai anak. 

Beban jelas bertambah, kita harus mulai memikirkan kebutuhan anak bukan hanya orangtuanya saja. Mulai dari bagaimana cara kita mendidik, mengajarinya, pola asuhnya akan dibesarkan model apa anak kita nanti dan lain sebagainya.

Sebenarnya apasih tujuan utuama pernikahan itu? Tujuan utama pernikahan dalam islam yaitu melaksanakan tuntunan para Rosul, menguatkan ibadah, menjaga kebersihan dan kebaikan diri, mendapatkan ketenangan jiwa, mendapatkan keturunan, investasi akhirat, menyalurkan fitrah dan membentuk peradaban. 

Tujuan pernikahan secara umum untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah.

Setelah menikah Anda akan memiliki keluarga, di dalam keluarga pasti ada ayah (kepala keluarga), ibu (ibu rumah tangga/yang mengurusi rumah dan mengurus anak) dan anak-anak. 

Anak adalah karunia yang harus kita rawat dan didik secara baik. Namun apa jadinya jika dalam sebuah keluarga ada kerikil-kerikil kecil yang menyebabkan perselisihan dan berakibat perpisahan dengan mengorbankan anak-anak Anda yang tidak bersalah itu. Lalu bagaimana cara kita menyelesaikan masalah dalam keluarga tersebut?

Masalah-masalah Dalam Keluarga

Saya mengambil satu masalah yang sedang hangat diperbincangkan di Negara kita. Pusat Penelitian dan Pemgembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan, angka perceraian di Indonesia dalam lima tahun  terakhir terus meningkat. 

Pada tahun 2010-2014, dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15% diantaranya bercerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun 2014 mencapai 382.231, naik dibandingkan pada tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus.

Saat ini ada 5% pernikahan usia di bawah 15 tahun dari 42%pernikahan di kelompok usia 15-19 tahun. Selain ketidakmatangan emosi, tingginya angka perceraian merupakan kontribusi dari perempuan yang ingin melepaskan diri dari pernikahan dini. Pernikahan dini menyebabkan pasangan yang belum siap menikah tidak menganggap pernikahan sebagai sebuah yang sacral, sehingga perceraian adalah jalan keluarnya.

Penyebab Perceraian

Ketidakcocokan, cinta yang hilang, atau salah satu pihak terpikat pada orang lain, menjadi hal yang sering terjadi sebagai penyebab perceraian. Berikut ini 7 hal yang sering menjadi penyebab perceraian:

Menikah di usia remaja atau di atas 32 tahun
Penelitian menyebut, mereka yang menikah saat remaja (di bawah usia 20 tahun) atau di pertengahan usia 30 tahunan, memiliki risiko tinggi untuk bercerai. Dibandingkan mereka yang menikah di usia 20 tahunan akhir atau awal 30 tahunan. Risiko ini sangat tinggi pada pasangan yang menikah ketika masih sama-sama remaja.

Berdasarkan penelitian yang dipimpin Nicholas Wolfinger, seorang profesor di Universitas Utah. Ia menemukan bahwa menikah setelah melewati usia 32 tahun, kemungkinan seseorang untuk bercerai meningkat 5% setiap tahun. 

Sementara itu, sebuah studi lain yang diterbitkan pada 2015 di jurnal Economic Inquiry, mengungkapkan kecenderungan bercerai meningkat jika dengan tingginya jarak usia antar pasangan.

Laporan Megan Garber dalam The Atlantic, menyebut bahwa studi ini menemukan jarak usia satu tahun, membuat kemungkinan pasangan bercerai 3%. Beda usia 5 tahun meningkatkan risiko cerai hingga 18%. Dan perbedaan usia hingga 10 tahun atau lebih, kecenderungan untuk bercerai 39%.

Suami tidak punya pekerjaan tetap
Sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan di Harvard mengungkap bahwa masalah keuangan rumah tangga bukanlah penyebab pasangan bercerai. Namun yang jadi penyebab terbesar adalah  kondisi pekerjaan suami.

Studi yang diterbitkan di the American Sociological Review ini, menyatakan bahwa suami yang tidak punya pekerjaan tetap memiliki risiko cerai 3,3% dalam jangka waktu setahun. Sedangkan pasangan dengan suami yang memiliki pekerjaan tetap, hanya memiliki risiko 2,5%. 

Peneliti dalam studi ini mengatakan, bahwa lelaki adalah pencari nafkah utama keluarga bisa memengaruhi kestabilan rumah tangga. Sehingga jika suami tidak punya pekerjaan tetap, rumah tangga bisa bermasalah.

Putus sekolah
Sebuah survei jangka panjang yang dilakukan sejak 1979 (the National Longitudinal Survey of Youth), menyebut bahwa pasangan tidak lulus sekolas di jenjang SMA, menghadapi pola perceraian yang sama.

Kemungkinan perceraian pada pasangan yang memiliki pendidikan tinggi 30% lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak lulus SMA. Peneliti menganggap, rendahnya tingkat pendidikan akan memengaruhi pemasukan keluarga. Sebab, mereka yang tidak lulus SMA cenderung lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Sehingga membuat kebutuhan rumah tangga sulit dipenuhi, dan pernikahan bahagia pun sulit dicapai.

Memandang rendah terhadap pasangan
John Gottman, seorang psikolog di Universitas Washingnton, mendeskripsikan penyebab perceraian yang sangat akurat tersebut terbagi ke dalam 4 hal yang memicu pertengkaran, hingga perpisahan. Karenanya sebisa mungkin 4 hal ini dihindari oleh suami istri:
1. Memandang  suami atau istri sebagai seseorang lebih rendah dari diri Anda. Ini kesalahan fatal yang bisa memicu perceraian.
2. Kritik berlebihan. Misalnya, selalu mengomentari karakter dan perilaku pasangan. Siapa yang tahan menjalani pernikahan jika setiap tindak tanduk dikomentari tanpa pernah dihargai?
3. Bersikap defensif (pembelaan) bila ada masalah, tidak pernah merasa bersalah dan selalu menyalahkan orang lain ketika menghadapi situasi sulit.
4. Suka memotong pembicaraan atau menghentikan percakapan karena tak ingin mendengar pendapat dari pasangan.

Terlalu mesra saat masih pengantin baru
Terlalu mesra di awal pernikahan, membuat pasangan tidak siap jika kemesraan berganti dengan ketegangan. Inilah penyebab perceraian yang sering luput dari perhatian.

Seorang psikolog bernama Ted Huston, mengikuti 168 pasangan selama 13 tahun. Sejak hari pernikahan dan seterusnya. Ted bersama timnya melakukan banyak wawancara pada setiap pasangan, selama penelitian ini dikerjakan. 

Salah satu temuan dari penelitian ini, pada pasangan yang bercerai setelah 7 tahun menikah atau lebih, cenderung memperlihatkan kemesraan yang berlebihan, dibandingkan pasangan yang rumah tangganya berjalan langgeng dan bahagia.

Pasangan sangat bahagia di awal pernikahan, memiliki kecenderungan untuk bercerai karena mereka tidak mampu menghadapi ketegangan yang terjadi dalam pernikahan. Percaya atau tidak, pasangan yang melangsungkan pernikahan dengan dosis keromantisan dalam batas normal (tidak kurang atau berlebihan) rumah tangga mereka cenderung lebih awet.

Enggan menyelesaikan masalah
Sebuah penelitian tahun 2013, yang dipublikasikan di Jorunal of Marriage and Family. Menemukan bahwa sikap suami yang sering menghindari penyelesaian masalah, menjadi penyebab perceraian paling sering terjadi. Kesimpulan ini berdasarkan wawancara dari para peneliti, kepada 350 pasangan pengantin baru yang tinggal di Michigan, Amerika Serikat.

Sementara itu studi lain yang dipublikasikan pada 2014 di jurnal Communication Monographs. Menyatakan bahwa pasangan yang berada pada kebiasaan enggan menyelesaikan masalah, merasa tidak bahagia di dalam pernikahannya. Terutama jika satu pihak menekan dan pihak lainnya hanya diam. 

Paul Scrodht, pemimpin dalam studi ini mengatakan, "Kebiasaan ini susah dihilangkan. Karena masing-masing pihak, berpikir bahwa bukan dirinyalah penyebab masalah."

Solusinya, suami istri perlu bekerjasama dalam menyelesaikan setiap masalah yang terjadi. Caranya dengan menggunakan manajemen strategi dalam menyelesaikan konflik.

Memandang pernikahan secara negatif
Pada 1992, Gottman dan ilmuwan lain di Universitas Washington mengembangkan sebuah prosedur, yang mereka sebut sebagai Wawancara Sejarah Lisan. 

Dalam prosedur ini, mereka mewawancarai beberapa pasangan, tentang berbagai aspek berbeda dalam hubungan mereka. Dengan menganalisis hasil percakapan mereka, para ilmuwan bisa memprediksi, pasangan mana yang sedang berjalan menuju ke perceraian.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2000 di Journal of Familt Psychology,  Gottman dan para ilmuan lainnya, melakukan studi pada 95 pasangan pengantin baru pada prosedur Wawancara Sejarah Lisan. Hasilnya, nilai dari setiap pasangan, bisa mengukur kekuatan dan kelemahan dalam pernikahan mereka. Nilai yang didapat, berdasarkan pertimbangan dari hal-hal sebagai berikut:
1. Perhatian yang ditunjukkan kepada pasangan
2. Memandang diri mereka sebagai tim bukan individual dan seberapa besar setiap orang memandang pernikahan sebagai sebuah penyatuan.
3. Seberapa besar kecenderungan setiap individu untuk jujur dan terbuka pada pasangannya
4. Negatifitas
5. Kekecewaan yang dirasakan dalam pernikahan
6. Seberapa banyak pasangan menjabarkan rumah tangga mereka sebagai sebuah kekacauan

Dampak Perceraian

Dalam studi Psikologi yang dilakukan E. Mavis Hetherington dari University of Virginia dan mahasiswa pascasarjana Anne Mitchell Elmore, kebanyakan anak mengalami efek negatif jangka pendek dari perceraian, saat orangtua baru saja bercerai umunya anak akan mengalami kecemasan, kemarahan, keterkejutan dan ketidakkpercayaan.

Hasil penelitian tersebut mengungkap cuma ada sedikit perbedaan terkait prestasi akademik, masalah emosi dan perilaku, kenakalan, konsep diri dan hubungan sosial anak-anak yang orang tuanya bercerai dan yang tidak.

Sementara itu dari studi yang dilakukan Hetherington dkk pada 1985, ketika konflik orang tua tidak ditampilkan di depan anak, anak akan terkejut dan bahkan mungkin ketakutan ketika mendapati kabar orang tuanya akan bercerai. 

Namun pada anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar, akan lebih terbuka pada perceraian ayah dan ibunya. Akan tetapi tidak semua orang menjadi lebih baik setelah bercerai. 

Ada yang malah mengalami depresi dan mengalami gangguan kecemasan, sehingga lari ke penyalahgunaan obat. Kalau sudah begini, maka kualitas pengasuhan anak juga akan semakin buruk.

Bagi anda yang merencanakan pernikahan megah, jangan khawatir. Belum tentu kesimpulan itu berlaku pada Anda. Yang perlu anda khawatirkan adalah bagaimana anda membina rumah tangga setelah pernikahan, karena itu bukan perkara mudah. Setelah berkeluarga tanggungjawab Anda akan lebih besar, apalagi jika sudah mempunyai anak. 

Alasan utama menikah adalah berkomitmen, jika ada suatu permasalahan itu sebenarnya adalah bumbu-bumbu penguat hubungan Anda. Perceraian bagaimanapun tetap akan menyisakan luka baik bagi anak maupun orangtua. Jika memang perceraian adalah jalan satu-satunya, maka Anda dan pasangan sebaiknya melakukan pendekatan yang dapat membantu anak dalam melalui situasi yang sulit ini.


Daftar Rujukan: 1 2 3 4 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun