Paul Scrodht, pemimpin dalam studi ini mengatakan, "Kebiasaan ini susah dihilangkan. Karena masing-masing pihak, berpikir bahwa bukan dirinyalah penyebab masalah."
Solusinya, suami istri perlu bekerjasama dalam menyelesaikan setiap masalah yang terjadi. Caranya dengan menggunakan manajemen strategi dalam menyelesaikan konflik.
Memandang pernikahan secara negatif
Pada 1992, Gottman dan ilmuwan lain di Universitas Washington mengembangkan sebuah prosedur, yang mereka sebut sebagai Wawancara Sejarah Lisan.Â
Dalam prosedur ini, mereka mewawancarai beberapa pasangan, tentang berbagai aspek berbeda dalam hubungan mereka. Dengan menganalisis hasil percakapan mereka, para ilmuwan bisa memprediksi, pasangan mana yang sedang berjalan menuju ke perceraian.
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2000 di Journal of Familt Psychology, Â Gottman dan para ilmuan lainnya, melakukan studi pada 95 pasangan pengantin baru pada prosedur Wawancara Sejarah Lisan. Hasilnya, nilai dari setiap pasangan, bisa mengukur kekuatan dan kelemahan dalam pernikahan mereka. Nilai yang didapat, berdasarkan pertimbangan dari hal-hal sebagai berikut:
1. Perhatian yang ditunjukkan kepada pasangan
2. Memandang diri mereka sebagai tim bukan individual dan seberapa besar setiap orang memandang pernikahan sebagai sebuah penyatuan.
3. Seberapa besar kecenderungan setiap individu untuk jujur dan terbuka pada pasangannya
4. Negatifitas
5. Kekecewaan yang dirasakan dalam pernikahan
6. Seberapa banyak pasangan menjabarkan rumah tangga mereka sebagai sebuah kekacauan
Dampak Perceraian
Dalam studi Psikologi yang dilakukan E. Mavis Hetherington dari University of Virginia dan mahasiswa pascasarjana Anne Mitchell Elmore, kebanyakan anak mengalami efek negatif jangka pendek dari perceraian, saat orangtua baru saja bercerai umunya anak akan mengalami kecemasan, kemarahan, keterkejutan dan ketidakkpercayaan.
Hasil penelitian tersebut mengungkap cuma ada sedikit perbedaan terkait prestasi akademik, masalah emosi dan perilaku, kenakalan, konsep diri dan hubungan sosial anak-anak yang orang tuanya bercerai dan yang tidak.
Sementara itu dari studi yang dilakukan Hetherington dkk pada 1985, ketika konflik orang tua tidak ditampilkan di depan anak, anak akan terkejut dan bahkan mungkin ketakutan ketika mendapati kabar orang tuanya akan bercerai.Â
Namun pada anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar, akan lebih terbuka pada perceraian ayah dan ibunya. Akan tetapi tidak semua orang menjadi lebih baik setelah bercerai.Â
Ada yang malah mengalami depresi dan mengalami gangguan kecemasan, sehingga lari ke penyalahgunaan obat. Kalau sudah begini, maka kualitas pengasuhan anak juga akan semakin buruk.